Oleh: Abu Muhtadi,Lc
Istilah Islam Nusantara merupakan reinkarnasi dari istilah “Islam Liberal”, “Islam Moderat”, “Islam Indonesia” dan berbagai label yang disifatkan kepada “Islam” telah dianggap gagal oleh pengusungnya dan tidak laris lagi di kalangan masyarakat.
Para pengusung dan pendukung ide Islam Nusantara ini menggunakan berbagai argumentasi untuk meyakinkan masyarakat. Banyak media massa memberikan ruang yang cukup luas bagi mereka untuk menyampaikan idenya tersebut, agar proyek Islam Nusantara ini berhasil meyakinkan masyarakat.
Islam Nusantara adalah Proyek
Islam Nusantara terus diopinikan, bukan hanya didukung oleh individu tapi diusung juga oleh ormas Islam bahkan difasilitasi oleh lembaga Negara, bukan cuma sekedar gagasan tapi praktekpun mereka lakukan untuk mengokohkan ide Islam Nusantara. Mereka pun para pengusungnya terus menjadikan Islam Nusantara sebagai tema kajian dan penelitian di berbagai lembaga pendidikan dan pemerintahan dalam rangka melancarkan proyek Islam Nusantara, misalnya penelitian oleh kementerian agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dengan biaya 50 juta untuk 10 orang.
Sebagai proyek yang besar, harus memiliki daya jual yang tinggi agar dapat diterima oleh semua kalangan dari berbagai latar belakang, harus memiliki kerangka pemikiran dan dasar agama yang kokoh dan kuat agar mampu bertahan dan mengakar. Diantara konsep pemikiran yang menjadi landasan proyek Islam nusantara ini adalah:
Pertama: Islam nusantara adalah wujud kearifan lokal Indonesia. Kearifan lokal ini merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat-istiadat di Tanah Air. Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah. Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang khas ala Indonesia (Republika.co.id, 10/03).
Tentu pemikiran ini perlu dikritisi, karena al-Quran diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak ada kekhususan bagi orang Arab, Eropa, Asia, dan sebagainya. Begitu juga Rasulullah SAW diutus bagi seluruh alam, tidak ada kekhususan bagi bangsa tertentu. Allah SWT berfirman :
] شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ …. (١٨٥)[
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)….” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)
] وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٢٨) [
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (Q.S. Saba’ [34]: 28)
] وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (١٠٧)[
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya’ [21]: 107)
Islam tidak menafikan kearifan lokal, budaya dan adat-istiadat, bahkan mengakomodasinya selama tidak menyalahi syariah, akan tetapi Islamlah yang lebih tinggi menjadi standar bagi adat istiadat dan budaya lokal bukan sebaliknya Islam disesuaikan dengan budaya lokal. Misalnya, memakai kopiah pada saat shalat dibolehkan sebagaimana sorban, karena hal tersebut hukumnya mubah. Namun, memakai jilbab (milhafah [baju kurung/abaya]) merupakan kewajiban bagi setiap Muslimah yang akil baligh (lihat: QS al-Ahzab [33]: 59). Karena itu jilbab tidak boleh diganti dengan sarung dan kebaya karena pertimbangan budaya lokal di daerah maritim dan agraris.
Perlu pula ditegaskan bahwa Islam bukan produk budaya Arab. Meskipun al-Quran dan al-Hadits berbahasa Arab, isinya bukan budaya Arab, melainkan perintah Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Karena itu sistem peradilan Islam, sistem pendidikan Islam, hingga sistem pemerintahan Islam berupa Khilafah Islamiyah bukanlah produk budaya Arab. Semua itu merupakan perintah Allah SWT yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits.
Kedua: Islam Nusantara adalah perwujudan Islam yang bersifat empirik. Yaitu Islam yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia (Oman Fathurrahman, Nu.or.id, 22/04).
Tentu gagasan ini perlu dikritisi karena tidak sesuai dengan realita. Faktanya, di dalam Islam, sesuatu yang bersifat normatif tidak terpisah dengan empiriknya. Misalnya, secara normatif setiap Muslim harus taat dan tunduk kepada Allah SWT secara totalitas. Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan secara empirik supaya sifat normatif ini bisa diimplementasikan, yaitu melalui penegakan institusi Daulah Islamiyah di Madinah untuk menerapkan syariah Islam secara kaaffah.
Artinya, agar setiap Muslim bisa taat dan tunduk kepada Allah SWT secara totalitas maka syariah Islam harus diterapkan secara kaaffah. Untuk menerapkan syariah secara kaaffah diperlukan institusi negara. Alasannya, banyak hukum syariah yang tidak bisa dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya negara, misalnya sistem peradilan Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem politik luar negeri, dan sebagainya. Karena itu sesuatu yang normatif dalam Islam (fikrah/konseptual) tidak terpisah dengan empiriknya yaitu metode (thariqah) untuk menerapkan fikrah/konsep tersebut. Allah SWT berfirman :
] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً …. (٢٠٨) [
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (kâffah)…”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 208)
] لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ … (٢١)[
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan (contoh) yang baik bagimu…” (Q.S. Al-Ahzâb [33]: 21)
Ketiga: Islam Nusantara adalah bentuk alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang lebih “moderat” dan “toleran”. Dimana saat ini kondisi Timur Tengah diwarnai konflik berkepanjangan. Karena itu menurut mereka, Timur Tengah tidak layak dijadikan acuan keberislaman kaum Muslim dunia terlebih khusus Indonesia, Justru Indonesialah, yang semestinya menjadi kiblat peradaban Islam karena Islam di Indonesia dianggap lebih moderat dan bisa diterima oleh banyak pihak.
Ungkapan ini perlu dikritisi, Pasalnya kondisi Timur Tengah yang terus bergolak penyebabnya bukanlah karena faktor Islam, tapi karena strategi penjajah Barat menjadikan Timur Tengah menjadi arena pertarungan kepentingan kekuasaan antara Inggris, Amerika, Rusia dan Prancis. Sebagai contoh, konflik yang sedang terjadi di Yaman sekarang ini. Konflik tersebut sebenarnya bukanlah konflik Syiah-Sunni, tetapi pertarungan Amerika dengan Inggris untuk merebut kue kekuasaan di Yaman. Allah SWT menjelaskan konspirasi strategi mereka dalam Al-Qur’an sebagaimana Firman-Nya;
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ (٣٠)
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya”. (Q.S. Al-Anfâl [8]: 30).
Keempat: Islam Nusantara adalah sebuah keniscayaan untuk membendung bahaya Islam Trans-Nasional. Mereka menganggap bahwa kelompok atau gerakan yang didirikan dari timur tengah dan mendakwahkan Islam dicap sebagai aliran Islam Trans-Nasional. Padahal mereka seakan lupa bahwa Islam sendiri berasal dari Timur Tengah, bukan ‘produk’ asli Indonesia. Kalau mereka konsisten mestinya shalat, shaum, zakat dan haji mereka sebut juga sebagai produk Trans-Nasional. Sejarah juga mencatat, bahwa Islam masuk ke negeri ini dibawa oleh ‘orang luar’ yaitu Wali Songo.
Jadi Islam itu memang sejak dulu bersifat Trans-Nasional, mulai didakwahkan secara lintas negeri dari pusat Daulah Islamiyah di Madinah hingga akhirnya menembus wilayah Romawi, Persia, Afrika Utara, Eropa, Asia dan seterusnya hingga di Nusantara ini. Faktanya, tidak ada yang salah dengan Islam Trans-Nasional sehingga harus dibendung dengan Islam Nusantara. Memang demikianlah semestinya karakteristik dakwah Islam yang harus diemban oleh kaum Muslim ke seluruh dunia, melintasi sekat-sekat wilayah geografis. Justru ide Islam Nusantara yang bersifat kewilayahan terbatas itulah yang berbahaya karena pada akhirnya akan mengerdilkan Islam itu sendiri dan merupakan proyek untuk menghalangi bersatunya ummat Islam di seluruh dunia dalam naungan khilafah Islamiyah berdasarkan metode kenabian.
Islam Nusantara Menghalangi Bersatunya Ummat Islam di Seluruh Dunia
Bersatu ummat Islam di seluruh dunia dalam wadah konstitusi Negara Khilafah Islamiyah berdasarkan metode kenabian adalah sebuah keniscayaan, khilafah merupakan janji Allah SWT dan kewajiban agung bagi seluruh kaum muslimin serta berita gembari dari Rasulullah SAW, keharumannya semakin dekat dan dirindukan, gaung khilafah menjadi tema perbincangan di khalayat ramai. Khilafah Islamiyah yang akan menerangi dunia ini dengan syariat Allah SWT, Ibarat bayi yang sebentar lagi akan lahir, namun kelahirannya harus melalui proses alami, tidak boleh dipaksakan kelahirannya dengan diinduksi.
Dalam kondisi demikianlah, banyak pihak berusaha menghalangi kelahiran Khilafah Islamiyah berdasarkan metode kenabian dengan segala cara, dan ingin membunuhnya sebelum lahir seperti adanya proyek “Islam Nusantara” di Indonesia, “Islam Tunisia”, “Islam Inggris” dan sebagainya yang bertujuan menghalangi lahirnya khilafah sebagai wadah berstunya ummat Islam di seluruh dunia, bahkan ada pihak yang berusaha mensesarnya agar lahir sebelum waktunya seperti muncul ISIS di Timur Tengah.
Gagasan Islam Nusantara yang sedang berkembang merupakan bagian dari politik belah-bambu atau stick and carrot yang memang merupakan strategi penjajah untuk melemahkan kaum Muslim. Sebagaimana diketahui, mereka juga telah membuat kutub kaum Muslim melalui pelabelan modernis-tradisionalis, radikal-moderat, spiritual-politik, kultural-struktural, formalis/literalis-substansialis, termasuk Islam esoteris (Islam hakikat) dengan Islam eksoteris (Islam syariah), termasuk ide Islam Nusantara berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim, negeri Muslim akan dipecah-belah melalui isu kedaerahan, ada Islam Nusantara, Islam Timur Tengah, Islam Turki, dan sebagainya. Tujuannya adalah menghalangi bersatunya ummat Islam di seluruh dunia dalam naungan khilafah Rasyidah.
Selanjutnya mereka memberikan dukungan baik opini maupun dana bagi kelompok-kelompok liberal, modernis, moderat, esoteris dan sebagainya, sekaligus menekan kelompok-kelompok yang mereka beri predikat fundamentalis, radikal, eksoteris dan sebagainya. Mereka juga memberikan ruang politik, publik dan ketokohan kepada mereka yang pro Barat-AS sekaligus menyempitkan ruang politik dan publik bagi mereka yang pro syariah dan Khilafah. Mereka pun melakukan stigmatisasi terhadap ide syariah dan khilafah. Misalnya mengidentikkan gerakan syariah dan Khilafah sebagai sumber anarkisme dan berpotensi menyulut konflik horisontal di masyarakat yang tidak cocok dengan kultur di Nusantara.
Strategi ini termasuk salah satu yang direkomendasikan oleh Ariel Cohen kepada AS dalam menghadapi gerakan Islam yang mengusung syariah dan khilafah. Cohen pernah mempublikasikan hasil risetnya itu yang dibiayai oleh The Heritage Foundation dengan judul ‘Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia’ (lihat: www.heritage.org). Menurut Cohen, salah satu cara melawan kelompok Islam radikal adalah dengan cara membenturkan kelompok tersebut dengan kelompok Islam moderat.
Itulah rencana jahat mereka, tak henti-hentinya berusaha menghalangi tegaknya syariat Allah I dalam bingkai khilafah rasyidah. Patut diingat bahwa segala upaya menghambat apalagi menghalangi tegaknya janji Allah I dan Rasul-Nya di muka bumi ini pasti akan berakhir dengan kegagalan dan akan mendapatkan siksa yang setimpal. Allah I berfirman :
]أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللَّهُ بِهِمُ الأرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ (٤٥)[
“Maka Apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari”. (Q.S. An-Nahl [16]: 45). []