Terkait keukeuh-nya Menteri ESDM Sudirman Said membela Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menyelesaikan target proyek listrik 35 ribu MW pada 2019, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL) Engkus Munarman menyatakan hubungan Jusuf Kalla dan Sudirman Said bukan sekadar relasi antara Wakil Presiden dan Menteri ESDM.
“Sudirman sudah lama menjadi ‘penjaga gawang’ kepentingan bisnis keluarga Kalla!” ujarnya kepada mediaumat melalui surat elektronik, Senin (14/9).
Engkus juga mengingatkan betapa gigihnya Sudirman membela pembangunan proyek gas alam cair atawa LNG Receiving Terminal di Bojanegara, Jabar. “Proyek senilai Rp6,8 Triliun itu merupakan kerjasama antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Bumi Sarana Migas. Nah, perusahaan mitra Pertamina itu dimiliki oleh Solihin Jusuf Kalla,” beber Engkus.
Dikaitkan dengan posisinya sebagai Menteri ESDM yang diraihnya atas rekomendasi JK, maka terjawab sudah kenapa Sudirman ngotot. Dia, lanjut Engkus, ingin memberi ‘upeti’ kepada sang majikan agar posisinya aman. Untuk mengamankan posisinya, beberapa pekan silam, dia bahkan mengangkat karib JK sejak SMA, Tanri Abeng menjadi Komisaris Utama Pertamina beberapa minggu lalu, menggantikan Sugiharto.
“Akhirnya memang terbukti, jurus upeti itu terbukti ampuh. Sudirman lolos dari tebasan pedang reshuffle,” ungkapnya.
Membahayakan PLN
Menurut Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, berdasarkan kajian dari tim ahlinya, kalau program 35.000 MW dipaksakan, maka akan membahayakan keuangan PLN. Bahkan bisa berujung pada kebangkrutan. Lewat kajian tersebut, dengan asumsi ekonomi tumbuh 7,1%, diketahui kebutuhan riil listrik pada saat beban puncak sampai 2019 adalah sebesar 74.525 MW. Pada 2015, beban puncak mencapai 53.856 MW. Saat ini pembangunan pembangkit listrik yang tengah berlangsung sebesar 7.000 MW. Jika program listrik 35.000 MW dipaksakan ditambah 7.000 MW yang tengah berlangsung, maka akan ada ketersediaan kapasitas pembangkit sebesar 95.586 MW sampai 2019.
Padahal, kebutuhan sampai 2019 pada beban puncak hanya 74.525 MW. Itu pun dengan asusmsi ekonomi tumbuh 7,1%. Padahal sekarang saja ekonomi Indonesia hanya tumbuh kurang dari 5%. Maka akan ada kapasitas yang idle sebesar 21.331 MW. Sesuai aturan yang ada, PLN harus membeli listrik yang dihasilkan swasta. “Inilah yang Menko Maritim dan Sumber Daya maksudkan bisa membuat PLN bangkrut,” simpul Engkus.
Menurutnya, Rizal Ramli tidak mengada-ada. Asal tahu saja, sesuai ketentuan yang ada, PLN diwajibkan membeli 72% listrik yang dihasilkan swasta, baik digunakan PLN maupun tidak digunakan. Itu artinya, ada kewajiban PLN untuk membeli listrik swasta sebesar tidak kurang dari US$ 10,763 miliar per tahun. Hitung-hitungannya 21.331 MW x 8760 jam x 0,72 x US$80/MW = US$10.763.110.565. Bayangkan, PLN harus membayar US$10,763 miliar/tahun!
“Sayang sekali, hitung-hitungan logis sepert ini sepertinya tidak masuk dalam benak Wapres JK. ‘Lucu’nya lagi, Sudirman Said juga ikut-ikutan kehilangan nalar karena membela JK,” pungkas Engkus. (mediaumat.com, 15/9/2015)