Penggusuran mempunyai konotasi menghilangkan bangunan atau apa saja yang berdiri di atas tanah untuk dikosongkan, atau dikembalikan pada peruntukannya. Penggusuran biasanya dilakukan dengan paksa, karena para pihak yang menduduki atau menggunakan tanah tersebut tidak bersedia mengosongkan, atau mengembalikan status tanah sesuai dengan peruntukannya. Eksekutornya tentu adalah negara, dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Penggusuran yang dilakukan oleh negara, bisa karena dua faktor: Pertama, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan asal. Kedua, perluasan lahan untuk kemaslahatan umum atau negara.
Peruntukan tidak Semestinya
Dalam konteks yang pertama, bisa terjadi karena konversi lahan. Hutan digunduli dijadikan permukiman. Daerah resapan air dan hutan lindung dialihfungsikan sebagai bangunan. Daerah aliran air dan sekitarnya, seperti bantaran kali, digunakan sebagai tempat tinggal. Pantai direklamasi untuk bangunan, dan sebagainya. Ini semua merupakan faktor pertama, pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Secara umum, lahan-lahan tersebut termasuk hak milik umum, yang tidak boleh diprivatisasi untuk kepentingan individu. Secara fungsional, lahan-lahan tersebut juga mempunyai fungsi alami, baik sebagai resapan air, aliran air, maupun yang lain. Karena itu, pemanfaatan lahan umum untuk kepentingan pribadi jelas menyalahi hukum syara’, baik ada atau tidak adanya izin dari penguasa. Selain itu, ini bisa merusak ekologi, yang bisa berdampak pada terjadinya banjir, dan berkurangnya debit air tanah.
Dalam kondisi seperti ini, tugas negara dan penguasanya adalah memastikan tidak adanya pelanggaran, baik yang dilakukan individu maupun penguasa. Karena itu, tugas negara dan penguasa adalah melakukan penertiban, dengan mengembalikan lahan-lahan tersebut sesuai dengan ketentuan dan peruntukannya. Siapapun yang melakukan pelanggaran, baik individu rakyat maupun pejabat negara, harus ditindak.
Tindakan yang dilakukan oleh negara, tentu bisa dilakukan bertahap, dari level yang paling ringan hingga paling puncak, yaitu menghilangkan dengan paksa. Antara lain, dengan melakukan penggusuran bangunan di atasnya.
Perluasan Lahan
Berbeda dengan faktor yang kedua, perluasan lahan untuk kemaslahan umum. Dalam konteks ini, karena lahan tersebut bukan milik umum atau milik negara, sebaliknya milik pribadi, maka negara tidak bisa melakukan tindakan paksa. Nabi SAW bersabda, “La yahillu li imri’in an ya’khudza ‘asha akhihi bighairi thayyibi nafsihi.” [Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya, tanpa kerelaannya] [HR al-Baihaqi].
Larangan ini menjelaskan, bahwa tindakan paksa mengubah kepemilikan individu menjadi milik umum, atau milik negara, hukumnya haram. Ketika ‘Amru bin al-‘Ash menjadi Wali Mesir, hendak memperluas masjid, namun terhalang rumah orang Yahudi, maka beliau berencana menggusur rumah tersebut. Tetapi, orang Yahudi ini tidak terima, lalu mengadukan kasusnya kepada Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab. ‘Umar pun memberi peringatan yang keras kepada ‘Amru bin al-‘Ash.
Hal yang sama terjadi di zaman Nabi SAW. Ketika penduduk Madinah membutuhkan sumber air bersih, satu-satunya sumber air bersih yang tersedia dan memadai saat itu dikuasai dan dimiliki oleh orang Yahudi. Sumur ini pun tidak diambilalih begitu saja oleh Nabi, tetapi dibeli. Awalnya, karena orang Yahudi ini tidak mengizinkan dibeli semua, maka dibeli sebagian. Sampai akhirnya, orang Yahudi ini merelakan sumurnya dibeli semua oleh ‘Utsman bin ‘Affan atas titah baginda SAW. Andai saja dalam kondisi seperti ini boleh mengambilalih dengan paksa, tentu Nabi SAW pun melakukannya.
Dengan kata lain, meski tindakan paksa yang dilakukan oleh negara atau penguasa ini untuk kemaslahatan publik, tetapi jika tindakan tersebut dilakukan terhadap individu atas hak milik pribadinya, tetap tidak boleh. Sampai orang tersebut benar-benar ridha, baik dengan kompensasi maupun tidak.
Tindakan Paksa
Dengan begitu, tidak serta merta, meski untuk kemaslahatan publik, rakyat bisa dipaksa, kecuali dalam kondisi yang pertama. Ketika mereka menguasai dan mamanfaatkan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Hanya saja, tindakan paksa ini tidak bisa dilakukan begitu saja, dan tiba-tiba tanpa proses yang dilakukan sebelumnya. Karena tindakan yang hendak dilakukan ini menyangkut hajat hidup orang banyak, maka negara dan penguasanya harus menempuh beberapa hal sebagai berikut:
- Memberikan penjelasan kepada para pihak yang terkait mengenai status lahan, bangunan, serta dampaknya terhadap ekologi dan kepentingan umum, sampai akhirnya mereka sadar, dan dengan suka rela bersedia meninggalkan lahan tersebut.
- Memindahkan mereka ke tempat yang layak huni, manusiawi dan syar’i. Masing-masing keluarga satu hunian, baik dengan skema hibah, sewa maupun beli, sesuai dengan kondisi masing-masing.
- Mendata secara akurat seluruh harta benda milik pribadi, baik berupa bangunan maupun aset yang lain. Dalam hal ini, negara akan memilah, mana warga yang menguasai dan mendirikan bangunan di atas lahan milik umum tersebut dengan izin penguasa, dan mana yang tidak. Meski adanya izin penguasaan tersebut masih mengandung syubhat, namun ini bisa dijadikan dasar untuk menghitung status bangunan atau aset yang ada. Berbeda dengan penguasaan yang dilakukan tanpa izin, maka status ghashab bisa diberlakukan kepada yang bersangkutan. Dengan begitu, status bangunan dan asetnya, masing-masing tidak sama.
- Bagi yang mengantongi izin, meski statusnya syubhat, negara bisa saja memberikan kompensasi atas bangunan dan aset yang dihilangkan dengan paksa. Adapun bagi yang tidak mengantongi izin, negara tidak perlu memberikan kompenasi, karena status penguasaan dan pemanfaatannya dihukumi ghashab. Imam al-Qurthubi berpendapat, “Jika di atas lahan yang dighashab itu dibangun [bangunan] atau ditanam [tanaman], maka bangunan dan tanaman itu wajib dirobohkan dan dicabut.”
- Kompensasi yang diberikan, perhitungan besar dan kecilnya tidak dikembalikan kepada para pihak, baik pihak warga maupun negara, tetapi pihak ketiga, yaitu Ahl al-Khibrah [pakar]. Sebab jika dikembalikan kepada warga, pasti akan meminta kompensasi yang setinggi-tingginya. Begitu juga sebaliknya. Berbeda, jika yang menentukan adalah pihak ketiga.
Tindakan paksa ini dilakukan bukan karena sentimen suku, kelompok dan agama. Tetapi, murni karena negara harus menegakkan ketentuan hukum sebagaimana mestinya. Termasuk mengembalikan lahan dan fungsinya sebagaimana peruntukannya, demi kemaslahatan bersama. Negara juga tidak akan pandang bulu. Siapapun yang melakukan pelanggaran, bisa dikenai tindakan paksa.[]