Lingkaran Setan Pemberantasan Korupsi

korupsiTujuh belas tahun sudah reformasi bergulir. Akan tetapi, PR besar menyangkut peberantasan korupsi kian hari malah semakin akut. Bahkan semangat untuk menuntaskan PR besar ini kian hari kian meredup. Penerapan sistem demokrasi liberal pasca reformasi justru membuat kasus-kasus korupsi menjandi Lingkaran setan yang tak bisa diputus. Persoalan penegakan hukum malah akhirnyan semakin ruwet.

Ditunjukkan dengan tumpang tindih kewengan antar lembaga penegak hukum. Mekanisme pengadilan sangat tidak efektif dan efisien karena prosesnya begitu rumit dan bertele-tele, dan berujuang tanpa kepastian. Politik saling sandra pejabat, seperti tampak dalam kasus cicak vs buaya satu dan dua. Penegakan hukum akhirnya sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Kelemahan dan kasus hukum pihak lain lantas dijadikan alat tawar-menawar demi kepentingan masing-masing. Ditambah lagi dengan niatan presiden yang kian dipertanyakan sebagai memimpin pemberantasan korupsi. Mutasi Komjen Pol Budi Waseso dari jabatan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah salah satu contoh paling mutakhir. Jenderal bintang tiga itu digeser dari jabatannya justru di saat Polri tengah berusaha membongkar kasus-kasus korupsi di perusahaan milik negara.

Seruan “putus satu generasi koruptor” saat ini memang tak lagi banyak terdengar. Contohnya, UU Lustrasi Nasioal yang dulu pernah diusulkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD untuk memangkas satu generasi koruptor dengan cara melarang orang yang pernah terlibat korupsi duduk di pemerintah atau politik, selama misalnya 10 tahun. Contoh lain adalah undang-undang pengampunan yang juga pernah diusulkannya; semua yang korupsi serentak diampuni, tapi setelah diberi ampunan terbukti dia korupsi lagi, dihukum mati. Akan tetapi, semangat dan upaya ke arah sana telah padam ditelan zaman. Harapan itu tak mungkin bisa dilakukan selama tak diikuti dengan perubahan sistem demokrasi dan mental pejabat yang sudah sama-sama bobrok.

Khilafah memutus “tali korupsi”

Ada dua kebijakan yang bisa ditempuh saat khilafah berdiri untuk memutus lingkaran setan korupsi ini. Pertama, tidak mengungkit kembali seluruh akad-akad muamalah dan persolan hukum yang telah diputus dan telah tuntas pelaksanannya di era sebelum Khilafah. Kecuali bila akad-akad muamalah dan keputusan hukum tersebut masih memiliki pengaruh yang bertentangan dengan hukum Islam saat khilafah berdiri, seperti akad riba yang masih berlanjut atau pernikahan pada lebih dari empat perempuan.

Dengan kebijakan ini, seluruh kasus korupsi yang telah dijatuhi hukuman di era sebelum Khilafah tidak akan diungkap kembali. Rasulullah SAW bersabda,

الْإِسْلَامَ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ

Sesungguhnya Islam menutupi apa yang sebelumnya

Meski demikian, seorang yang telah tuntas masa hukumannya, maka ia berkewajiban di hadapan Allah SWT untuk mengembalikan harta yang dikorupsinya. Sebab, itu merupakan haq maliyah yang tidak bisa digugurkan dengan hukuman di dunia. Rasulullah SAW bersabda,

إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم ألحن بحجته من بعض فمن قضيت له بحق أخيه شيئا بقوله فإنما أقطع له قطعة من النار فلا يأخذها.

“Sesungguhnya kalian berselisih kepadaku, mungkin sebagian kalian lebih fasih argumentasinya dari sebagian yang lain. Barangsiapa yang telah aku putuskan perkaranya, dengan memiliki hak saudaranya dengan ucapanya, maka sesungguhnya aku putuskan baginya sepotong api neraka, maka jangan mengambilnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa sekalipun peradilan Islam atau bahkan Rasulullah SAW yang telah memutuskan satu perkara, maka hal itu tidak mengahalalkan apa yang diharamkan. Oleh sebab itu, siapa saja yang diuntungkan atau dimenangkan dalam pengadilan dunia, maka sesungguhnya putusan pengadilan itu tidak lantas menghalalkan apa yang diharamkan baginya. Begitu para koruptor yang diputus bebas, maka ia tetap berkewajiban untuk mengembalikan uang yang dikorupsinya.

Kedua, memberikan pengampuanan terhadap siapa saja yang melakukan korupsi dan bersedia untuk mengakui kesalahannya, serta mengembalikan uang hasil korupsi tersebut kepada negara. Hal itu bisa dilakukan pada tenggat waktu tertentu. Namun siapa saja yang tidak mengakui kesalahannya dalam tenggat waktu tersebut, maka dengan bukti yang diperoleh, negara akan menjatuhi hukum yang seberat-beratnya hingga hukuman mati. Mengingat kasus korupsi merupkan persoalan ta’ziriyyah, penentuan kadar hukumannya diserahkan kepada Khalifah, sebatas pada jenis hukuman yang dibolehkan syari’at, mulai yang paling ringan berupa nasihat, hingga yang peling berat hukuman mati.

Dua kebijakan ini akan efektif dilakukan karena Khilafah akan mengiringi penegakan hukum tersebut dengan perubahan sistem dan mental para penegaknya. Dalam hal ini, ada beberapa hukum Islam yang paling krusial yang menentukan kemampuan Khilafah kelak.

Pertama, Islam menjadi kepemimpinan menjadi bersifat fardiyyah (individual), yaitu di tangan Khalifah. Dengan begitu, Khalifah akan memiliki kekuaatan yang cukup untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, termasuk masalah korupsi.

Kedua, dalam Islam, institusi peradilan adalah satu. Sehingga tidak adanya tumpang tindih kewenangan dan kasus-kasus hukum bisa cepat diselesaikan.

Ketiga, Islam menjamin kepastian hukum dengan menghilangkan pembagian jenjang pengadilan.

Keempat, Islam mengajarkan bahwa setiap kasus hukum tidak boleh ditangguh-tangguhkan, sehingga tidak terjadi penumpukan kasus, apa lagi dijadikan alat untuk menjatuhkan pihak lain.

Kelima, Islam tidak hanya mengatur mekanisme peradilannya, tetapi juga membersihkan para pemangkunya dengan berbagai kriteria yang ekstra ketat. Selain kriteria muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu, dan adil [al-Kasani, Bada’i as-Shana’i, Juz VII/2-4], untuk jabatan tertentu seperti Qadhi Qudhat dan Qadhi Madzalim, misalnya, tidak boleh dijabat oleh perempuan karena merupakan bagian dari pemerintahan, dan atau bersentuhan langsung dengan pemerintahan. Untuk Qadhi Madzalim harus seorang mujtahid [Zallum, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam].

Lebih dari itu, ada kriteria umum yang harus dimiliki oleh semua hakim, yakni kelayakan dan ketakwaan. Islam menetapkan akhlak para qadhi, antara lain harus berwibawa, menjaga muru’ah (harga diri), tidak banyak berinteraksi dengan orang, senda gurau dengan mereka, menjaga ucapan dan tindak tanduknya [‘Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’, hal. 55]. Para qadhi dipilih dari orang-orang yang tegas tetapi tidak kasar, lembut tetapi tidak lemah, cerdas, sadar, tidak lengah dan tertipu ketika memutuskan, bersih hatinya, wara’, bijak, jauh dari sikap tamak, baik terhadap materi maupun jabatan. [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/21].

Keenam, Islam juga menetapkan hukum-hukum tertentu terhadap para penegak hukum, agar ia benar-benar dapat berkonsentrasi dalam menjalankan tugasnya, seperti larangan mendapatkan hadiah, larangan menyibukkan diri dalam aktivitas yang bisa melalaikan tugasnya, termasuk berbisnis dan sejenisnya, dll. [as-Samnani, Raudhatu al-Qudhat, Juz I/658].

Pendek kata, bila Islam tidak dieterapkan secara kaffah, maka pemberatasan korupsi merupakan angan-angan belaka. Memutus satu generasi hanya jargon yang tidak akan pernah terwujud, buktinya suara itu semakin hari semakin usang. Sebaliknya, dengan penerapan Islam secara paripurna dalam bingkai daulah Khilafah, penyakit akut ini bisa diobati dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia bisa diwujudkan. Wallahu a’lam. [Abu Muhtadi, Lc/Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*