Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Jumat sore 11 September 2015, sebuah crane (pengangkat beban) dari 200 crane yang dipasang untuk konstruksi besar-besaran di Masjidil Haram roboh. Lebih dari 100 orang tewas, dan ratusan lainnya luka-luka. Pada saat itu memang kondisi di Makkah sedang terjadi hujan badai bercampur es dan kecepatan angin mencapai 60 km/jam. Bahkan ada saksi mata mengatakan, sebelum robohnya crane itu, ada petir menyambar. Belum diketahui apakah crane yang roboh itulah yang tersambar petir. Saat ini, gubernur Makkah sedang memerintahkan investigasi menyeluruh.
Tentu saja ada orang yang mencoba mengail di air keruh. Kalangan pembenci Islam mengatakan, ini adalah “karma” atas serangan teroris Muslim pada 11 September 2001 atas gedung WTC di New York. Kalangan pembenci Jokowi mengatakan, ini adalah “sial” yang dibawa Jokowi, yang memang pada hari itu baru mendarat di Jeddah untuk kunjungan kenegaraan ke Saudi. Ada juga orang yang langsung menuduh pemerintah Saudi memang teledor. Konon standar keamanan di sana cuma ada di industri energi atau konstruksi terkait energi. Tentu saja tuduhan ini dijawab oleh pembela Saudi dengan mengatakan bahwa semua ini qadha (takdir), dan yang tewas itu toh mendapatkan syahid sesuai hadits Nabi.
Yang bijaksana, kita sebaiknya tidak mencampuradukkan tiga hal yang berbeda: (1) Perbuatan Allah; (2) Sikap korban; (3) Kewajiban penguasa.
Allah tentu saja Maha Tahu, apa hikmah di balik hidup dan mati, di balik badai dan angin sepoi-sepoi, dan kenapa dari 200 crane di seputar masjidil haram cuma satu yang robohnya dikehendaki. Allah punya kehendak, dan kehendakNya pasti terjadi.
Korban dan keluarganya juga diajak bersabar dan berbesar hati, karena yang tewas itu, mereka meninggal di tempat yang mulia, di musim haji yang mulia, di hari Jumat yang mulia dan oleh kejadian yang dihitung dengan syahid sama mulianya.
Tetapi kewajiban penguasa tetaplah kewajiban penguasa. Mereka secara berjenjang akan tetap dihisab di akhirat nanti dan juga diminta tanggung jawabnya di dunia. Apakah mereka telah menerapkan SOP konstruksi di sana dengan benar? Apakah perusahaan yang mendapatkan pekerjaan itu dipilih dengan prosedur lelang yang benar? Apakah orang yang mengoperasikan alat berat itu memang cakap? Apakah kewajiban majikan pada pekerja itu telah terpenuhi? Apakah maintainance peralatan itu dijalankan dengan ketat? Dan seterusnya.
Tidak pantas, ketika tangung jawab penguasa dipertanyakan, dijawab dengan apa sikap korban, atau dijawab bahwa itu sudah kehendak Allah. Rasulullah pun tidak pernah mengajarkan seperti itu.
Dari sisi teknologi, crane termasuk teknologi yang tua. Cikal bakal pengangkat beban sudah ada sejak zaman Babylonia kuno. Dulu bahkan ada raja Babylonia yang ingin membangun menara sampai ke langit. Tentu saja dia membutuhkan alat semacam crane, walaupun saat itu masih sangat primitif.
Sejarah Islam mencatat tokoh-tokoh dunia mekanika, seperti Ja’far Muhammad ibn Mūsā ibn Syākir (800-873).
Al-Biruni dan belakangan al-Khazini mengembangkan metode eksperimental dalam statika dan dinamika, kemudian juga hidrostatika dan hidrodinamika, yang sangat penting dalam pembuatan gedung, jembatan, bendungan ataupun kapal.
Pada tahun 1121, al-Khazini dalam “Kitab tentang Keseimbangan Kebijaksanaan” mengusulkan bahwa gravitasi dan energi potensialnya berubah tergantung jaraknya dari pusat bumi. Dia juga secara tegas membedakan antara gaya, massa dan berat. Penemuan ini berguna untuk membuat kincir bertenaga air.
Ibnu Bajah (Avempace) yang wafat 1138 berargumentasi bahwa selalu ada reaksi pada setiap aksi. Teorinya ini sangat berpengaruh pada fisikawan setelahnya, termasuk Galileo dan Newton, dan sangat berguna untuk menghitung kekuatan manjaniq, yakni ketapel raksasa yang berfungsi seperti meriam.
Hibatullah Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165) membantah Aristoteles yang mengatakan bahwa gaya yang konstan akan menghasilkan gerak yang seragam, ketika dalam kitabnya al-Mu’tabar dia menulis bahwa gaya konstan akan menghasilkan percepatan (akselerasi). Menurutnya akselerasi adalah rerata dari perubahan kecepatan.
Ibnu Rusyd alias Averroes (1126-1198) adalah mujtahid dalam fiqih yang juga fisikawan, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik dari sebuah benda yang lembam. Apa yang ditulis Ibnu Rusyd ini 500 tahun lebih awal dari mekanika klasik Newton.
Semua ilustrasi ini menunjukkan bahwa Fisika Islam – kalaupun ada – adalah fisika yang telah melalui rangkaian metode ilmiah, yang kemudian terbukti dapat digunakan untuk keperluan praktis, seperti misalnya membuat crane yang berguna untuk pembangunan gedung tinggi.
Crane dalam lukisan zaman pertengahan
Dengan fisika, maka mengangkat beban yang berat bisa menjadi ringan. Dan dengan syariat, maka mengembangkan fisika baik oleh individu maupun oleh negara pun akan menjadi ringan. Fisika akan menjadi ilmu yang disadari manfaatnya di kehidupan sehari-hari. Anak-anak umat yang berbakat akan gemar mempelajari dan mengembangkannya, dan negara pun akan memfasilitasinya, sebagai bekal berjihad, dan memberi manfaat ke seluruh alam.