Hari Santri Dan Pencanangan Gerakan Nasional Revolusi Mental
Oleh: dr. Arum Harjanti (Lajnah Siyasi DPP MHTI)
Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) secara resmi telah dicanangkan Presiden Joko Widodo pada upacara HUT Korpri ke-43 pada tanggal 1 Desember 2014. Kementerian Agama merespon pencanangan GNRM itu, mengkaitkannya dengan peringatan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015. Hari nasional tersebut akan diperingati jajaran Kemenag, mulai dari Kantor Wilayah Kementerian Agama hingga Kantor Urusan Agama di kecamatan-kecamatan.
Mengapa pencanangan GNRM bertepatan dengan pencangan Hari Santri Nasional? Apakah untuk menguatkan pengakuan Negara atas peran para ulama dan santrinya dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia semata? Ataukah ada tujuan lainnya?
Revolusi Mental Presiden Jokowi
Presiden Jokowi mendasarkan Gerakan Revolusi Mental kepada konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilar : Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya.[1] Esensi dari revolusi mental ala Bung Karno ini adalah perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. Secara bombastis, BK menyebut revolusi mental adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.[2]
Sebagai icon pembangunan karakter manusia Kabinet Kerja, berulang kali Jokowi menjelaskan target yang ingin dicapai dalam Revolusi Mental dalam berbagai forum. Demikian pula saat memberikan sambutan pada Peringatan Isra Mi’raj 1436H pada tanggal 15 Maret 2015 di Istana Merdeka. Di forum itu Presiden mengajak seluruh umat Islam untuk mengimplementasikan konsep pembangunan Indonesia sebagai negara religius yang terbebas dari kemiskinan dan menjadi sebuah negara sejahtera. Jokowi mengharapkan agar nilai-nilai Isra Miraj menjadi bagian revolusi mental untuk membentuk karakter bangsa dengan talenta individual yang kuat daya intelektualnya dan berjiwa mandiri-berdikari. Dengan karakter demikian, tidak akan memberi peluang pada radikalisme dan anarkinisme karena akan mewujudkan kesejahteraan.[3]
Pada kesempatan yang sama, Menteri Agama menyatakan bahwa momentum Isra Miraj menjadi transformasi spiritual yang mengajarkan untuk senantiasa taat, tunduk, patuh kepada apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Esensi Isra Miraj adalah mendorong umat muslim di tanah air untuk terus membangun dan mengembangkan peradaban Islam, peradaban yang mengedepankan ilmu pengetahuan, perdamaian, keadilan, toleransi yang semuanya itu bertumpu pada konsep rahmatan lil alamin. [4]
Mengapa Hari Santri?
Hari Santri baru akan diperingati untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Oktober 2015 yang akan datang. Tanggal 22 Oktober dipilih sebagai Hari Santri karena tanggal tersebut adalah saat lahirnya Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Pendiri PBNU, KH. Hasyim Asy’ari. Tanggal itu merupakan tonggak sejarah lahirnya peristiwa perang pertama pasukan Indonesia, dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang juga pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia.[5]
Resolusi jihad ini melahirkan peristiwa heroik tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya yang menewaskan Jenderal Mallaby yang saat ini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari Santri ini diharapkan menjadi momentum kebangkitan kaum santri serta bentuk apresiasi yang kongkrit atas peran santri terhadap perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan keutuhan NKRI.[6]
Kementerian Agama merencanakan peringatan Hari Santri sebagai pencanangan GNRM di lingkungan Kemenag, agar kementerian ini menjadi pelopor revolusi mental. Dengan demikian para santri pun diharuskan mewujudkan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden yang berambisi revolusi ini dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia.[7]
Kata “Santri” secara spesifik merujuk kepada para pemuda dan pemudi Muslim yang menuntut ilmu di Pesantren. Merekalah para generasi muda Islam, yang menjadi tumpuan harapan akan meneruskan estafet membina kaum muslimin, yang juga akan memegang kepemimpinan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, posisi para santri sangatlah penting dalam menentukan masa depan bangsa dan peradaban yang akan dibangun.
Pemilihan Hari Santri Nasional bersamaan dengan pencanangan GNRM itu menjadi momen penting untuk menegaskan bahwa para santri akan menjadi pelaku revolusi mental seperti yang digambarkan oleh Presiden. Bentukan karakter para santri tidak lagi cukup disandarkan pada perilaku luhur para salafush sholih, namun diharapkan mengikuti harapan perkembangan kekinian sesuai arahan pemerintah. Mereka akan menjadi “duta” revolusi mental yang membuat Indonesia kuat, agar radikalisme dan anarkisme tidak tumbuh subur. Harapan membangun dan mengembangkan peradaban Islam juga semata-mata sesuai nilai-nilai universal yang dikembangkan Barat, yakni mengedepankan ilmu pengetahuan, perdamaian, keadilan dan toleransi. Penyandingan klausul pluralisme tersebut dengan konsep rahmatan lil alamin menjadi upaya untuk memoderasi Islam, menjadikan Islam tidak lagi menjadi konsep ideology yang khas.
Tak bisa dipungkiri, Indonesia telah menjadi sasaran masif kampanye nilai-nilai global yang berasal dari ide kufur kapitalisme dan dimpor dari Barat. Melalui revolusi mental, nilai-nilai global itulah yang akan dijadikan asas dan bahkan menafikan nilai-nilai islam. Klausul toleransi, radikalisme dan anarkisme yang digunakan Jokowi sudah tentu mengacu kepada definisi yang diinisiasi oleh kepentingan global (baca : Amerika Serikat). Dalam dokumen National Security Strategy yang dikeluarkan Gedung Putih, Washington DC pada Februari 2015, AS menegaskan bahwa kepemimpinan AS sebagai kekuatan global didasarkan pada kepentingan abadi nasionalnya. Di antara kepentingan abadi itu adalah seluruh dunia –tidak hanya warganegaranya- harus menghormati nilai-nilai universal. Kepemimpinan AS juga telah membuat tatanan internasional yang selalu mempromosikan perdamaian, keamanan, dan kerja sama yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan global.[8]
Dan yang disebut sebagai tantangan global adalah persoalan terorisme, perubahan iklim, penanganan bencana dan wabah penyakit menular.[9] Secara khusus isu ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) menjadi komoditas yang dimainkan AS untuk mencegah gerakan kebangkitan Islam yang disebutnya radikal dan anarkis. AS cukup cerdik untuk menjadikan muslim sekular, muslim liberal dan muslim tradisionalis sebagai mitra AS dan Barat untuk memerangi “ekstremisme” Islam.[10]
Karena itulah, kekhasan seorang Santri yang dididik dalam lingkungan Islam, dan ditanamkan ke dalam dadanya nilai-nilai khas Islam, akan mendapat warna baru, yang bersumber nilai-nilai universal ala AS. Maka tidak mustahil jika para santri akan mengusung kepribadian yang lahir dari pemahaman global. Nilai-nilai global ini akan membentuk kepribadian ala Barat, yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang hakiki. Mereka akan menjadi “muslim moderat” yang dicita-citakan Barat. Muslim moderat yang dimaksud adalah seseorang yang menyebarkan dimensi budaya demokrasi, menyetujui hak asasi manusia yang diakui secara internasional (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beribadah), menghargai keberagaman, menerima sumber hukum non-sektarian (selain nash syari’at), menentang terorisme dan bentuk kekerasan lainnya. [11]
Peristiwa 11 September 2001 di AS dianggap sebagai kebangkitan kembali terorisme. Barat mengklaim bahwa akar terorisme adalah demokrasi yang tidak berkembang, sebagai akibat pemerintahan yang otoriter dan peran masyarakat sipil yang minim di dunia Islam. Kondisi ini lah yang kemudian melahirkan muslim radikal sebagai interpretasi pemahaman radikal dan dogmatis. Tentu saja situasi ini memberikan ancaman bagi keamanan AS. Karena itu, RAND Corporation –sebuah lembaga publik yang aktif memberikan saran kebijakan bagi pemerintah- dengan Pusat Penelitian dan Pengkajian Strategi tentang Islam dan Timur Tengah, di Amerika Serikat – menyarankan kepada Pemerintah AS untuk membangun jaringan muslim moderat.
Untuk mencapai tujuan tersebut RAND menyebutkan bahwa Pemerintah AS harus memiliki mitra yang tepat dalam membangun jaringan muslim moderat. Mereka itu adalah intelektual dan cendekiawan muslim sekuler, muslim liberal dan kaum tradisionalis moderat, termasuk Sufi. Sementara itu sebagai partner dalam membentuk muslim moderat adalah para akademisi dan intelektual muslim yang liberal dan sekuler, ulama muda yang moderat, aktivis masyarakat, kelompok-kelompok perempuan yang terlibat dalam kampanye kesetaraan gender, wartawan dan penulis moderat. Di wilayah Asia Tenggara -khususnya Indonesia- nilai-nilai moderat akan ditanam melalui institusi pendidikan seperti pesantren, madrasah, universitas Islam, media (radio dan surat kabar) dan institusi pembangun demokrasi.[12]
Para santri yang belajar di pesantren adalah calon ulama muda pada masa depan. Mereka akan menjadi rujukan di tengah masyarakat yang akan mengajarkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam. Barat amat menyadari posisi strategis mereka. Wajar jika mereka dibidik sebagai kader yang akan menyampaikan nilai-nilai Islam moderat di tengah umat. Pencanangan GNRM di tengah para santri akan menjadi pintu pembuka membentuk muslim moderat yang dicita-citakan Barat. Dengan pandangan moderat yang dimilikinya, maka para santri akan menjadi bagian partner Barat dalam membina kaum muslim dengan nilai-nilai ala Barat yang jauh dari nilai Islam. Dengan demikian umat akan makin jauh dari pemahaman Islam yang hakiki, yang mengharuskan setiap muslim senantiasa berpegang teguh pada syari’at Islam termasuk memperjuangkan hukum Islam secara formal dalam bentuk negara Islam. Sebaliknya, umat justru akan diajak untuk menerima demokrasi, HAM, dan paham-paham yang hanya diterima dunia internasional. Inilah yang diharapkan Barat. Terbentuknya muslim moderat akan membantu Barat dalam menghadapi “muslim radikal” yang saat ini justru makin berkembang di berbagai negeri muslim.
Revolusi Mental Hakiki
Sesungguhnya revolusi mental yang hakiki adalah mengembalikan jati diri setiap insan kepada fitrahnya sebagai manusia. Karena itu, nilai-nilai yang harus ditanamkan adalah nilai-nilai yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai pencipta manusia. Revolusi Mental akan memberikan dampak dalam kehidupan ketika ketaatan manusia hanya kepada Allah SWT, yang dilandasi oleh kesadaran penuh bahwa dirinya adalah hamba Allah, yang wajib berpegang teguh pada aturan Allah dan menegakkannya dalam kehidupan. Di sisi lain ia yakin bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kehidupannya di dunia. Revolusi mental yang hakiki juga akan mendorong setiap insan untuk berjuang menegakkan aturan Allah secara kaffah di muka bumi ini, dengan menegakkan syariah dan khilafah.
[1] http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/ 1603015/revolusi.mental
[2] http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20140707/revolusi-mental-ala-bung karno.html#ixzz3lVHDLEmd
[3] http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=260103
[4] http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=260105
[5] http://www.tempo.co/read/news/2014/07/08/269591284/begini-sejarah-ide-hari-santri-nasional
[6] http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=280908
[7] http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=288195
[8] https://www.whitehouse.gov/sites/default/files/docs/2015_national_security_strategy.pdf
[9] https://books.google.co.id/books?id=l1K9BgAAQBAJ&pg=PA9&lpg=PA9&dq=tantangan+global+terorisme,+bencana&source=bl&ots=FNDdrYQze5&sig=N4KBC8NnFX5JxlQIqGfYkl_Evko&hl=en&sa=X&ved=0CBsQ6AEwAGoVChMIr6qBr7SNyAIVB46OCh05ugbQ#v=onepage&q=tantangan%20global%20terorisme%2C%20bencana&f=false
[10] Building Moderate Muslim Networks, Published 2007 by the RAND Corporation 1776 Main Street, P.O. Box 2138, Santa Monica, CA 90407-2138 1200 South Hayes Street, Arlington, VA 22202-5050 4570 Fifth Avenue, Suite 600, Pittsburgh, PA 15213-2665 RAND Corporation
[11] ibidem
[12] ibidem