Membangun Peradaban Islam Melalui Pendidikan dalam Negara Khilafah

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**

Pendidikan Islam dalam Cengkeraman Peradaban Barat

Peradaban (al hadharah, civilisation) secara umum maknanya adalah cara hidup (thariiqatul hayaah, the way of life) yang terbentuk dari sejumlah pandangan-pandangan hidup (the world view, wijhatun nazhar) yang diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa atau umat dalam segala bentuknya, baik yang diekspresikan secara nyata (tangibel) seperti perilaku atau bangunan yang khas, maupun yang diekspresikan secara tidak nyata (untangibel) seperti nilai-nilai (values) atau ide-ide (thoughts), misalnya ide kebebasan, HAM, demokrasi, toleransi agama, dll. (M. Husain Abdullah, 1990 : 74).

Peradaban tersebut sangat berkaitan dengan pendidikan. Karena melalui pendidikanlah peradaban (al hadharah) suatu bangsa atau umat akan dibentuk dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya. Jadi fungsi strategis pendidikan sebenarnya tak hanya mentransfer berbagai pengetahuan (knowledge) seperti sains dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Lebih dari itu pendidikan adalah instrumen pembentuk peradaban dan pandangan hidup (the world view) bagi suatu bangsa atau umat. (Hizbut Tahrir, 2004 : 7-8).

Maka dari itu, tidak heran jika negara-negara kapitalis (Barat) dan negara-negara sosialis selalu mengoptimalkan sistem pendidikannya untuk mempertahankan peradabannya yang khas. Di negara Uni Soviet (dulu), selain mempelajari teknik, para siswa sekolah teknik menengah juga harus belajar berbagai mata pelajaran ideologis yang terkait dengan peradaban Sosialis-Komunis. Misalnya mata pelajaran Sejarah Partai Komunis Uni Soviet (100 jam), Etika Marxis-Leninis (32 jam), Filsafat Marxis-Leninis (70 jam), Estetika Marxis-Leninis (32 jam), dan seterusnya.

Demikian pula di negara-negara Barat yang kapitalis, seperti AS, Inggris, Prancis, dan Swedia, pendidikan tak hanya mengajarkan sains dan teknologi, tapi juga peradabannya yang khas, yaitu sekularisme sebagai basis peradaban Barat (Western Civilisation). Pola pikir khas peradaban Barat akhirnya terbentuk melalui sistem pendidikan sekularistik itu. Crane Briton dalam Encyclopedia of Philosophy (Vol 2 hlm. 523) mengamati bahwa,”Orang-orang Barat, terutama Amerika, sebenarnya masih tetap sebagai anak-anak spiritual Abad Pencerahan (Enlightenment, Aufklarung).” (S. Waqar Ahmad Husaini, 2002 : 58; Umer Chapra, 2000 : 24).

Bagaimanakah dengan pendidikan di Dunia Islam? Sejak imperialisme Barat yang memuncak pada abad ke-19 dan berlangsung hingga pertengahan abad ke-20, harus diakui umat Islam masih tetap berada di bawah hegemoni Barat. Melalui apa yang dinamakan proses “pembangunan” (developmentalism) pasca kolonialisme hingga tahun 80-an, lalu dilanjutkan dengan “globalisasi” melalui neoliberalisme dari tahun 80-an hingga sekarang, Barat terus berusaha menancapkan pengaruhnya atas Dunia Islam. (Nanang Pamuji Mugasejati & Ucu Martanto, 2006 : 8); Revrisond Baswir, 2010 : 166-167).

Karena sebab itulah, kendatipun sudah merdeka secara formal dari kolonialisme Barat, negara-negara berkembang di Dunia Islam belum mampu membangun “sistem pendidikan Islam” yang mandiri dan murni, yaitu yang mengacu pada peradabannya sendiri (Peradaban Islam). Menurut S. Waqar Ahmad Husaini dalam bukunya Islamic Sciences, pendidikan di Dunia Islam masih mengacu pada peradaban-peradaban lain di luar Islam (yaitu kapitalis atau sosialis). Kata S. Waqar Ahmad Husaini,”The new states of the Third World Countries, whether they have followed the Marxist-Leninist or Western-secular model…” (negara-negara baru di kalangan dunia ketiga, ada yang telah mengikuti model pendidikan Marxis-Leninis atau ada yang mengikuti model Barat-sekular…). (S. Waqar Ahmad Husaini, 2002 : 67).

Bahkan dalam bahasa yang lebih tajam, Nasim Butt dalam bukunya Science and Muslim Society (London : Grey Sell Books, 1991) menegaskan,”Kurikulum yang beredar di sebagian besar negeri-negeri Islam sekarang ini merupakan produk kolonial murni.” Maksudnya, pengetahun diajarkan dalam kerangka pemikiran dan perspektif sekular Barat. (Nasim Butt, 1996 : 22).

 

Pendidikan Islam Perlu Institusi Khilafah

            Sebuah sistem pendidikan Islam yang ideal, pertama-tama harus diletakkan lebih dahulu dalam posisinya sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam (al hadharah al islamiyyah). Untuk itu, diperlukan institusi negara yang relevan. Sebab hanya dengan institusi negara saja sebuah sistem pendidikan dapat diarahkan menuju misi yang dikehendaki. S. Waqar Ahmad Husaini menegaskan sentralnya peran negara dalam pendidikan dengan menyatakan,”These instruments of state power must implement the Islamic objective through educational and other socal institutions.” (S. Waqar Ahmad Husaini, 2002 : 57).

Institusi negara apakah yang relevan dengan pendidikan Islam? Jawabnya, institusi negara Islam (Khilafah). Mengapa? Karena hanya dalam negara Khilafah sajalah pendidikan Islam akan dapat menempati posisinya yang strategis, yaitu sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam (al hadharah al islamiyyah). Posisi ideal ini pada faktanya kini memang tidak ada atau belum terwujud (kembali) sejak runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924. Sejak itu boleh dikatakan hampir seluruh negeri Islam di Dunia Islam, termasuk Indonesia, berada di bawah hegemoni Barat, yaitu terpenjara dalam negara demokrasi-sekular yang memisahkan agama (Islam) dari pengaturan kehidupan bernegara. (Nader Hashemi, 2010 : 242-248).

Dalam posisi yang tidak ideal seperti sekarang, yaitu berada dalam negara demokrasi-sekular, pendidikan Islam memang problematis. Karena pendidikan Islam yang seharusnya menjadi pembentuk dan pelestari peradaban Islam (al hadharah al islamiyyah), terpaksa berubah haluan menjadi pembentuk dan pelestari peradaban Barat (al hadharah al gharbiyyah). Inilah fakta keras (hard fact) yang ada di hadapan kita, yang mau tak mau terpaksa harus kita akui. Dalam negara demokrasi-sekular saat ini, sistem pendidikan secara umum (termasuk pendidikan Islam), telah ditundukkan hanya untuk melayani kepentingan pasar (kapital), khususnya kepentingan kapitalisme global, bukan lagi diarahkan untuk mencapai tujan-tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri.

 

Pendidikan Islam dalam Negara Khilafah

            HT (Hizbut Tahrir) sebagai sebuah harakah Islam yang serius memperjuangkan peradaban Islam, telah menyiapkan blue print sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah secara komprehensif. HT telah menyiapkan sebuah draft konstitusi negara Khilafah (Masyru’ Ad Dustur) yang terdiri dari 191 pasal yang mencakup pengaturan sistem pemerintahan (nizham al hukm), sistem pergaulan (an nizham al ijtima’i), sistem ekonomi (an nizham al iqtishadi), politik pendidikan (siyasah al ta’liim), dan politik luar negeri (as siyasah al kharijiyyah). Secara lebih detail, HT telah mempersiapkan konsep sistem pendidikan formal dalam negara Khilafah, yang menjelaskan jenjang pendidikan dan kurikulum yang diajarkan dari pendidikan dasar hingga pendidikan doktoral dalam kitab yang berjudul Usus Al Ta’liim Al Manhaji. (Taqiyuddin An Nabhani, 2010; Hizbut Tahrir, 2004).

Khusus menyangkut politik pendidikan (siyasah al ta’liim), HT telah menjelaskan gagasan-gagasan pokok untuk sistem pendidikan Islam, yaitu 4 (empat) hal pokok berikut; (1) asas sistem pendidikan, (2) tujuan pendidikan, (3) metode pembelajaran, dan (4) kurikulum.

HT menjelaskan asas sistem pendidikan adalah Aqidah Islam, yang akan menjadi sumber (mashdar) bagi tsaqafah dan peradaban Islam dan sekaligus standar (miqyas) bagi berbagai pengetahuan yang dihasilkan non muslim seperti ilmu-ilmu sosial humaniora (humanistic-social sciences) dan ilmu-ilmu sains-teknologi (scientific-technological sciences).

Tujuan pendidikan menurut HT ada 3 (tiga); (1) membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) bagi peserta didik, (2) membekali peserta didik dengan ilmu-ilmu keislaman (tsaqafah islamiyyah), dan (3) membekali peserta didik dengan ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan, seperti sains dan teknologi.

Untuk tiga tujuan tersebut, HT mempunyai seperangkat konsep yang mendalam yang menjadi basisnya masing-masing. Untuk konsep kepribadian (syakhshiyyah, personality), HT menjelaskan dalam tiga jilid kitabnya, yaitu kitab Asy Syakhshiyyah AI Islamiyyah (juz 1, 2, dan 3). Untuk konsep keilmuan dan pengetahuan, HT menyiapkan 3 (tiga) konsep kunci; pertama, konsep tentang berpikir dan metode berpikir (thariqah at tafkiir), serta ide cabangnya yaitu konsep metode rasional (thariiqah aqliyyah) dan metode ilmiah (thariiqah ‘ilmiyyah), dalam kitabnya At Tafkiir (karya Taqiyuddin An Nabhani, tahun 1973). Kedua, konsep mengenai klasifikasi pengetahuan, yang menurut HT terbagi menjadi ilmu-ilmu sains-teknologi (al ‘ilmu) dan ilmu-ilmu sosial humaniora (at tsaqafah) dalam kitabnya Asy Syakhshiyyah AI Islamiyyah Juz 1. Ketiga, konsep untuk melakukan filterisasi ilmu-ilmu pengetahuan produk non muslim, dalam kitab Nizhamul Islam (bab Al Hadharah wal Madaniyyah).

 

Penutup

Pendidikan Islam merupakan instrumen strategis sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam. Untuk itu, pendidikan Islam mengharuskan adanya institusi negara yang relevan, yaitu negara Khilafah. Hanya dalam Khilafah saja, pendidikan Islam akan berada dalam jalur misinya yang benar, yaitu sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam.

Pendidikan Islam dalam institusi negara demokrasi-sekular saat ini, adalah fenomena problematis. Karena dalam sistem sekular ini, pendidikan Islam tidak akan mampu sepenuhnya menjadi pembentuk dan pelestari peradaban Islam, namun sebaliknya akan menjadi pembentuk dan pelestari peradaban Barat. Dengan ungkapan yang lebih tegas, pendidikan Islam dalam sistem demokrasi sekular saat ini, hanyalah instrumen imperialisme. Yaitu sekadar alat kapitalisme global untuk mewujudkan kepentingan pasar bagi kelestarian hegemoni Barat atas Dunia Islam. Wallahu a’lam.

 

===

*Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Membangun Pendidikan Islam Yang Berkebudayaan: Menuju Indonesia Madani”, pada hari Selasa, 29 September 2015, diselenggarakan oleh LSM LAWAN (Lembaga Analisis Wacana Keislaman dan Nasionalisme) Kota Gede, Yogyakarta, di ruang Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

** Dewan Pimpinan Pusat HTI (Hizbut Tahrir Indonesia); Dosen Tetap dan Pimpinan Pesantren STEI Hamfara Yogyakarta.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain, Dirasat fi Al Fikr Al Islami, (Beirut : Darul Bayariq), 1990

An Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah Ad Dustur, Juz 1 dan 2, (Beirut : Darul Ummah), 2010

Baswir, Revrisond, Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme, (Yogyakarta : Delokomotif), 2010

Butt, Nasim, Sains dan Masyarakat Muslim, (Bandung : Pustaka Hidayah), 1996

Mugasejati, Nanang Pamuji & Ucu Martanto, Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, (Yogyakarta : Fisipol UGM), 2006

Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta : GIP), 2000

Hashemi, Nader, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal, (Jakarta : Gramedia), 2010

Hizbut Tahrir, Usus At Ta’liim Al Manhaji, (Beirut : Darul Bayariq), 2004

Husaini, S. Waqar Ahmad, Islamic Sciences, (New Delhi : Goodwork Book), 2002

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*