Jokowi Minta Maaf Kepada PKI?

Upaya gencar menuntut negara meminta maaf terhadap apa yang diklaim sebagai pelanggaran HAM pasca G30SPKI, terus dilakukan. Ketua Komnas HAM Nurcholis berharap Presiden Joko Widodo bisa mengambil inisiatif untuk meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965. Alasannya, lagi-lagi adalah HAM.

Pemerintah sendiri melalui Jaksa Agung Prasetyo menegaskan permintaan maaf merupakan bagian dari tahapan rekonsiliasi. Tahapan ini, menurutnya, dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan pengungkapan kebenaran dan pengakuan bahwa memang ada pelanggaran HAM.

Sementara itu koordinator KKPK (Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran) yang merupakan koalisi organisasi pegiat HAM, Kamala Chandrakirana, tidak cukup puas dengan rekonsiliasi. Menurutnya, pertanggungjawaban hukum harus tetap dilakukan.

Adanya pelanggaran HAM pasca pemberontakan PKI tentu saja sangat mungkin terjadi. Namun pertanyaannya, bagaimana dengan nasib umat Islam, para ulama dan santri, yang menjadi korban keganasan PKI? Sikap Komnas HAM yang cenderung hanya membela apa yang diklaim korban dari pihak PKI tentu patut dipertanyakan. Padahal adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa umat Islamlah yang sesungguhnya menjadi korban, terutama para ulama dan santri.

Permohonan maaf seperti ini bisa menjadi indikasi adanya upaya pemutarbalikan sejarah. Seakan-akan PKI adalah korban, sementara pelaku pelanggaran HAM adalah umat Islam, ulama, dan tentara. Pemutarbalikan sejarah ini secara tegas ditolak oleh ormas Islam, terutama Nahdhatul Ulama (NU) yang menjadi korban terbesar dari keganasan PKI.

Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Efendi Yusuf menegaskan apa yang terjadi pada tahun 1965 tidak bisa dilepaskan dari perilaku PKI sejak 1960-an yang sangat konfrontatif dengan kekuatan politik lain terutama umat Islam. Permintaan maaf bisa memberikan kesan kuat kelompok non komunis bersalah, sementara PKI adalah korban.

Salah satu peristiwa berdarah terjadi di Pondok Pesantren al Jauhar Desa Kanigoro, Kediri. Pada 13 Januari 1965, saat 127 peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia (PII) membaca Alquran dan bersiap shalat shubuh, tiba-tiba sekitar 1.000 anggota PKI dengan membawa berbagai senjata menyerbu.

Mereka masuk ke masjid, mengambil Alquran, kemudian melemparkannya ke halaman masjid dan menginjak-injaknya. Massa PKI pun menyerang rumah Kyai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kyai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar rumah.

Keganasan PKI terhadap umat Islam bukanlah hanya terjadi pada tahun 1960-an. Pemberontakan PKI di Madiun  tahun 1948  juga menumpahkan darah kaum Muslimin. PKI, Pasindo dan organ-organ kirinya melakukan pembantaian ribuan umat Islam baik dari kalangan santri, ulama, dan pemimpin tarekat.

Ulama atau pimpinan pesantren yang menjadi korban keganasan PKI di Madiun adalah KH Imam Shofwan, pimpinan Pondok Pesantren Thoriqussu’ada, Desa Selopuro, Kecamatan Kebonsari. Salah seorang putra KH Imam Shofwan bernama KH Muthi’ Shofwan  mengungkapkan, ayahnya ditangkap PKI bersama dengan dua orang kakaknya, yakni KH Zubeir dan KH Bawani.

Keganasan partai berideologi komunis ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Dunia juga mencatat puluhan juta umat Islam di wilayah negeri Islam seperti Uzbekistan, Tajikistan, Chechnya yang dicaplok oleh Soviet dibantai dengan keji. Partai Komunis Uni Soviet demi ideologinya telah menghabisi 61 juta orang.

Perlu kita catat, meskipun sudah bangkrut dan tidak laku lagi, ideologi komunisme/sosialisme tidak akan pernah mati selama pengusungnya masih ada. Hal inilah yang perlu dicermati umat Islam agar para pemuda Islam tidak diracuni oleh ideologi komunisme yang asas utamanya adalah materialisme. Asal dari segala sesuatu adalah materi dan kembali menjadi materi.

Intinya, komunisme tidak percaya pada tuhan dan tentu saja agama. Bahkan agama disebut sebagai candu yang membahayakan umat manusia sehingga harus diberangus. Mereka mengambil metode perubahan berdasarkan “class-strugle”,  menghalalkan segala cara. Kekacauan, pertumbahan darah, dianggap merupakan jalan bagi berkuasanya komunisme.

Namun penting pula kita pahami, ideologi komunisme ini masih bisa berkembang, karena negara ini berasaskan liberal sekuler. Penyebaran ideologi komunisme yang bertentangan dengan Islam dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan kebebasan berpikir. Tidak mengherankan kalau para pembela PKI adalah kelompok atau organisasi yang dikenal mengusung liberalisme.

Dalam negara liberal seperti ini, bermunculan situs dan buku-buku yang mengajarkan atheisme yang menjadi pemikiran penting dari ideologi ini. Termasuk buku biografi tokoh-tokoh komunisme seperti Aidit, Muso, tentu dengan pemikirannya yang merusak. Terbitnya buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” (2002), Anak PKI Masuk Parlemen (2005), memberi kesan  humanistik bahwa PKI itu tidak berbahaya.

Ala kulli hal , semua ini terjadi akibat di tengah-tengah umat Islam tidak ada lagi negara khilafah yang melindungi umat Islam, negara yang menjaga darah kaum Muslimin, memelihara pemikiran umat Islam dari ideologi  yang merusak  dan membahayakan. Karenanya perjuangan penegakan khilafah ini merupakan hal mutlak dilakukan. Di samping merupakan kewajiban dari syariah Islam, ketiadaan khilafah telah membuat umat Islam tanpa pelindung dan selalu menjadi sasaran kekejaman musuh-musuh Islam. Bukan hanya dari komunisme tapi juga kapitalisme. Allahu Akbar! [] Farid Wadjdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*