Kesetaraan Hak Ekonomi Perempuan, untuk Perempuan atau untuk Kapitalisme? (Kritik terhadap Janji Deklarasi Beijing+20 di Bidang Ekonomi)

“Lupakan China, India dan internet: pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh perempuan” (The Economist, 2006)

kesetaraan gender wanitaTahun 2015 ini bertepatan dengan peringatan 20 tahun Beijing Declaration and Platform for Action, suatu roadmap bersejarah yang ditandatangani oleh 189 negara untuk merealisasikan hak-hak perempuan. Dalam bidang ekonomi, terdapat 6 tujuan strategis diantaranya adalah mempromosikan kemandirian dan hak-hak ekonomi perempuan termasuk kesetaraan akses pada pekerjaan, kelayakan lingkungan kerja, serta mempromosikan harmonisasi tanggungjawab antara pekerjaan dan keluarga bagi perempuan dan laki-laki. Pertanyaannya adalah benarkah setelah dua puluh tahun perempuan di planet Bumi ini telah betul-betul berdaya dan sejahtera? Tulisan ini akan menjawabnya dengan mengambil Jepang dan Indonesia sebagai studi kasusnya.

Agenda Womenomics : Simbiosis Jahat antara Feminisme dan Kapitalisme

Deklarasi Beijing yang dipuji PBB sebagai, “sebuah peta jalan visioner untuk hak-hak dan pemberdayaan perempuan…” Namun, 2 dekade berjalan, janji-janjinya kepada perempuan bagaikan puing-puing reruntuhan, di tengah ikrar-ikrar dan harapan yang diingkari. Demikian pula kegagalan jelas nampak dari area fokus “perempuan dan ekonomi” yang memiliki 6 tujuan strategis dalam mempromosikan hak-hak ekonomi perempuan, namun alih-alih mensejahterakan program-program ekonomi global untuk perempuan justru malah menjerumuskan jutaan perempuan dalam jurang eksploitasi dan kerusakan peradaban.

PBB mengklaim salah satu capaian pentingnya adalah sekitar 50% perempuan di dunia mendapat upah dan gaji dari pekerjaan mereka, meningkat dari tahun 1990 yang hanya 40%. Begitupula dalam peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, dimana kawasan dengan rating tertinggi ditempati oleh Asia Timur dan Pasifik sebesar 62%, terendah berada di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara sebesar 20%, sementara Amerika Latin dan Karibia sebesar 54%.[1] Namun rupanya PBB lupa mencatat bahwa di kurun waktu yang sama telah terjadi peningkatan fantastis statistik eksploitasi perempuan secara global, 44 juta perempuan dan anak perempuan terpaksa menjadi pekerja rumah tangga – mengalami kekerasan dan eksploitasi dari di lingkungan kerjanya – jumlah ini melonjak fantastis 19 juta orang selama 18 tahun terakhir (ILO, Domestic workers around the world, 2013). Kita juga perlu mengingatkan UN Women bahwa terdapat 11,55 juta perempuan menjadi korban pekerja paksa, dan justru kawasan Asia-Pacific terhitung yang paling tinggi sebesar 56% dari angka global (ILO, 2012); Kita juga menolak lupa bahwa lebih dari satu milyar manusia hari ini hidup dalam kemiskinan dan mayoritasnya adalah kaum perempuan, sementara itu 70% perempuan adalah korban jaringan perdagangan manusia, dimana 49% adalah perempuan dewasa, dan 21% anak perempuan (UNODC, 2014). Semua statistik ini jelas menunjukkan kegagalan total janji-janji Deklarasi Beijing terhadap perempuan, khususnya di bidang ekonomi.

Kegagalan spektakuler Deklarasi Beijing dan puluhan konvensi lainnya dalam memenuhi hak-hak ekonomi perempuan tiada lain bersumber dari (1) pengadopsian ide sekuler kesetaraan gender yang kacamata kuda dan khayali sebagai pendekatan pemecahan masalah kaum perempuan dan (2) menutup mata dari hegemoni sistem dan ideologi Kapitalisme yang merupakan sumber bencana kemanusiaan dan telah melumpuhkan ekonomi negeri-negeri Muslim, menghasilkan kemiskinan massal, perampasan hak-hak dasar jutaan perempuan serta menggiring mereka pada jurang eksploitasi dan jaringan perdagangan manusia.

Di sisi lain ini membuktikan kerentanan ide cacat feminism dan kesetaraan gender yang dengan mudahnya ditunggangi oleh kerakusan Kapitalisme, meski gerakan feminism ini memiliki akar Marxism yang anti kapitalisme tetapi hari ini ia telah bersimbiosis dengan kekuatan jahat kapitalisme, terlihat jelas dari konsep beracun yang baru mereka perkenalkan yaitu “gender capitalism” ataupun womenomics. Paradigma baru ini menunjukkan adanya global nexus antara paradigm kesetaraan gender dengan gerakan baru investasi global dari koalisi negara-negara kapitalis, lembaga-lembaga keuangan internasional dan regional, NGO dan PBB yang fokus berinvestasi pada perempuan dan anak perempuan selama satu decade terakhir. Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, menyatakan pada tahun 2012 lebih dari 80 persen pinjaman dan dana hibah Bank, atau sebesar lebih dari 28 miliar dolar AS, dialokasikan untuk proyek terkait gender. Tidak heran karena sejak 2006 Bank Dunia sudah mengakui bahwa memberdayakan perempuan adalah “smart economics”.

Simbiosis ini sesungguhnya bukanlah fenomena baru di negeri-negeri Muslim. Sejak seabad terakhir telah terjadi perkawinan yang tidak terbantahkan lagi antara feminisme dan kolonialisme di dunia Muslim, yang terus berlanjut ke zaman modern dimana gerakan gender capitalism atau womenomics adalah perwujudan dari penjajahan ekonomi dengan lensa gender yang digerakkan oleh Kapitalisme. Motivasi mereka tidak lain adalah untuk pertumbuhan ekonomi ditengah situasi krisis keuangan global yang membelit negara-negara dan sistem keuangan kapitalis. Persis seperti yang dinyatakan oleh Adrienne Roberts bahwa gerakan Transnational Business Feminism dipacu oleh poros krisis keuangan global tahun 2008. [2] Mengutip pernyataan Hillary Clinton“… Limiting women’s economic potential is for every country like leaving money on the table. It doesn’t make sense, especially when we are still struggling to grow our way out of the economic crisis.” [3] Karena itu penting bagi kita untuk menyadari bahwa dibalik derasnya program seperti pemberdayaan ekonomi perempuan, perempuan di pedesaan dan usaha kecil menengah; tidak lain adalah bagian dari strategi Barat untuk menciptakan pasar bagi produk mereka dan meningkatkan daya beli masyarakat yang kuncinya ada di tangan perempuan yang memegang kontrol ekonomi rumah tangga. Program-program ini dijalankan bukan dengan motif yang lurus untuk menghapuskan kemiskinan ataupun untuk membangun kesetaraan bagi kaum perempuan melainkan hanyalah kepentingan bisnis kapitalis agar pasar tetap stabil dan daya beli masyarakat tetap kuat sehingga mereka bisa menyelamatkan Kapitalisme yang tengah di ambang kebangkrutan.

Walhasil, tidaklah aneh jika janji-janji deklarasi Beijing demikian sulit dipenuhi, karena di samping keliru dalam berpegang pada metode perubahan berbasis gender yang cacat, program pemberdayaan ekonomi perempuan ini telah memberikan karpet merah pada kapitalisme untuk terus menjajah negeri-negeri Muslim dan mengeksploitasi jutaan perempuan. Mari kita kaji lebih jeli pada studi kasus dua negara yakni Jepang dan Indonesia yang berada di kawasan Asia Pasifik – yang menurut statistik PBB adalah kawasan yang paling tinggi angka partisipasi perempuannya dalam angkatan kerja, benarkah perempuan Jepang dan Indonesia telah berdaya dan sejahtera?

Pertumbuhan Ekonomi Membunuh Generasi dan Merusak Peradaban (Studi Kasus : Jepang)

Jepang adalah salah satu negara maju yang menonjol dalam mengaruskan program womenomics di negaranya, dimana sejak 2012 Perdana Menteri Shinzo Abe meluncurkan paket pembangunan Abenomics-nya dan mengklaim bahwa “Abenomics tidak akan sukses tanpa ‘womenomics’.” Abe juga telah mengumumkan paket reformasi untuk menggenjot program Womenomics, termasuk memastikan layanan penitipan anak yang memadai untuk 300.000 anak pada Maret 2020; meninjau ulang pajak dan sistem jaminan sosial untuk memastikan keberpihakannya pada pekerja perempuan. Selain itu pemerintah Jepang juga menargetkan untuk meningkatkan angka pekerja perempuan (usia 25-44 tahun) dari 68% (pada 2012) menjadi 73% pada 2020, kemudian bertarget agar 30% perempuan menempati posisi kepemimpinan pada 2020.

Sejak program Abenomics ini semakin banyak wanita karir di Jepang melakukan pembekuan sel telur mereka dan menyimpannya untuk kehamilan di masa depan. Pedoman pelaksana telah diadopsi oleh the Japan Society for Reproductive Medicine sejak November 2013 yang lalu dimana pedoman ini mengijinkan perempuan yang belum menikah untuk melakukan pembekuan sel telur tanpa alasan medis apapun. Repro Self Bank, sebuah institusi swasta di Tokyo bahkan telah meluncurkan program pembekuan sel telur sejak Mei 2013. Namun apa yang sebenarnya terjadi? Pengarusan womenomics ini tidak lebih merupakan bumper bagi krisis ekonomi hebat yang tengah melanda Jepang. Setelah hampir seabad penerapan Kapitalisme di Jepang dengan masa keemasan dari tahun 1960-an hingga 1980-an –pertumbuhan ekonomi rata-rata 10% pada 1960-an, 5% pada 1970-an, dan 4% pada 1980-an – serta angka partisipasi kerja perempuan tertinggi di dunia (lebih dari 50% sejak 1980-an) membuat Jepang kini harus membayar mahal kerusakan sosial dan krisis populasi sebagai akibatnya. Seruan dari kepala biro imigrasi Tokyo bisa merefleksikan krisis hebat yang sedang melanda negeri matahari terbit itu; “Kita butuh sebuah revolusi imigrasi yang membawa masuk 10 juta orang ke Jepang dalam 50 tahun ke depan, kalau tidak ekonomi Jepang akan ambruk! sekarang saatnya “berpopulasi atau binasa” dan Jepang harus mengubah mentalitasnya!” Perkiraan terbaru pemerintah Jepang menemukan bahwa pada 2060 populasi Jepang akan merosot dari 127 juta menjadi 87 juta jiwa, dengan 40% penduduknya berusia lebih dari 65 tahun.

Pertumbuhan ekonomi tinggi akibat kapitalisasi di Jepang telah menghantarkan pada kerusakan sosial yang parah dan depopulasi, sebagai contoh tingkat bunuh diri di Jepang lebih tinggi 60% dari rata-rata dunia, dengan 30.000 orang mati bunuh diri setiap tahun atau sekitar 80-100 orang Jepang mati bunuh diri per harinya, juga angka bunuh diri anak yang juga tinggi, tercatat 18.000 anak di bawah usia 18 tahun melakukan bunuh diri sejak 1972 hingga 2013. Di sisi lain kekerasan terhadap anak juga menjadi masalah besar di Jepang, total 73.765 kasus kekerasan terhadap anak terjadi pada 2013- tingkat tertinggi dan untuk pertama kalinya yang menembus 70.000 kasus. Maret lalu pemerintah Jepang juga mengungkap data bahwa 10% perempuan Jepang telah menjadi korban kekerasan dan pembuntutan, dan 29% dari mereka mengatakan insiden tersebut mengantarkan pada ketakutan dalam hidup mereka.

Inilah harga mahal yang harus dibayar Jepang, yang jelas menderita sindrom Chicago – sebuah istilah yang diperkenalkan oleh seorang professor Malaysia Mohd Kamal Hassan yang mengenali ciri dari kehidupan kota – kota Besar di negara-negara Kapitalis dengan gejala “mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakan peradaban” dan ini merupakan karakter dari negara-negara maju hari ini dimana pembangunan pesat senantiasa diiringi dengan krisis sosial, keruntuhan institusi keluarga, meluasnya kriminalitas, kekerasan terhadap perempuan dan anak, tingginya angka bunuh diri, hingga anjoknya angka kelahiran dan pernikahan akibat massifnya pelibatan perempuan sebagai angkatan kerja. Apa yang mereka sebut sebagai “kemajuan dan modernitas” seperti yang ditawarkan Kapitalisme justru menjadi resep manjur bagi arus massal dehumanisasi bagi umat manusia, karena membuat masyarakatnya lebih menghargai materi dan kesenangan fisik daripada bangunan masyarakatnya.

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan = Eksploitasi Kemanusiaan! (Studi Kasus : Indonesia)

Indonesia merupakan contoh menarik dari sebuah negeri Muslim yang mengaruskan program pemberdayaan ekonomi perempuan. Ironi dan juga getir karena negeri Muslim terbesar dan berlimpah kekayaan alamnya ini mengirim jutaan perempuannya sebagai pekerja migran di luar negeri, sementara jutaan lainnya di dalam negeri terbelenggu dalam kemiskinan dan terpaksa menjadi kepala rumah tangga.

Di dalam negeri, komitmen pemerintah Indonesia sangat kuat untuk memperluas akses keuangan dan mengembangkan kapasitas perempuan dalam UMKM, dimana lebih dari 60 persen pelaku UMKM Indonesia adalah perempuan. Apalagi pada tahun 2012, diperkirakan ada sekitar 7 juta perempuan di Indonesia yang berperan sebagai kepala keluarga dan mereka hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan dibawah US$ 1 dollar. Jumlah ini mewakili lebih dari 14% dari total jumlah rumah tangga di Indonesia. Bahkan menurut LSM Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), sebenarnya jumlah perempuan kepala keluarga di Indonesia datanya mencapai 10 juta orang. Potensi inilah yang dilirik oleh Bank Dunia yang menyatakan bahwa

Indonesia merupakan pemain besar dalam pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik karena memiliki pasar domestik yang besar, bahkan terbesar di ASEAN. Bisa dilihat dari data Kementerian Perdagangan melalui besarnya catatan permintaan terhadap produk-produk konsumsi di tahun 2012 yang mencapai Rp 275 triliun. Potensi besar dari konsumsi Indonesia ini semakin membuat negara-negara dan lembaga Kapitalis tergiur untuk menjual produk-produknya ke negeri ini. Karena itulah mereka menginginkan pasar tetap stabil, yakni daya beli masyarakat tetap kuat. Dan kuncinya ada di tangan perempuan yang memegang kontrol ekonomi rumah tangga.

Sementara di luar negeri, Indonesia terus mengirimkan jutaan perempuan ke luar negeri sebagai pekerja migran domestic, dimana sebanyak 6 juta perempuan Indonesia jadi pembantu rumah tangga di luar negeri (ILO, 2012), karena dianggap telah menguatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan arus masuk remitansi -dana yang dibawa masuk oleh pekerja migran ke negaranya asalnya- yang mencapai Rp 65 Triliun pada tahun 2012. Namun apa yang terjadi? Setiap tahun jumlah kekerasan dan kematian TKW di luar negeri semakin meningkat, data dari Migrant Care Indonesia menyebutkan kasus kekerasan mencapai angka 5.314 orang, di tahun 2009, sedangkan tahun 2010 kasus kematian mencapai angka 1.075 orang. Laporan lembaga Amnesty Internasional tahun 2013 juga menunjukkan problem serius dengan menyoroti kondisi “seperti perbudakan” yang dihadapi oleh 300.000 perempuan Indonesia yang bekerja di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga. Kemiskinan dengan jumlah besar yang melanda negeri ini membuat kaum perempuan, baik itu sebagai istri maupun anak, turut berjuang mencari nafkah. Akhirnya 1 dari 54 orang perempuan Indonesia harus bekerja ke luar negeri, membantu keuangan keluarga, meninggalkan anak-anak mereka, dan menyebabkan mereka harus mengkompromikan peran penting mereka sebagai ibu dan pemelihara generasi masa depan dan mengalami dehumanisasi massal akibat perdagangan manusia.

Inilah potret perempuan Indonesia yang ‘berdaya’ secara ekonomi, alih-alih kesejahteraan yang didapat justru eksploitasi massal yang mereka dapatkan. Di dalam negeri mereka menjadi target pasar dan di luar negeri dipandang tidak lebih dari sekedar komoditas penghasil remitansi bagi pertumbuhan ekonomi ala kapitalistik.

Visi Politik Baru Pemberdayaan Perempuan

Dua studi kasus di atas adalah jawaban bagi pertanyaan di depan bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan sebenarnya dipersembahkan untuk mempertahankan sistem kapitalisme yang bangkrut. Kapitalisme yang diterapkan di Jepang maupun di Indonesia menjadikan ekonomi sebagai ruh penggerak utama pemberdayaan perempuan, sementara kampanye kesetaraan gender hanyalah kosmetika yang dipakai untuk memoles program kapitalistik ini agar terlihat lebih memihak perempuan.

Sangat kontras dengan Kapitalisme, Islam tidak memandang perempuan sebagai komoditi ekonomi, melainkan sebagai manusia yang harus dilindungi dan selalu difasilitasi secara finansial oleh kerabat laki-laki mereka ataupun oleh negara sehingga mereka bisa memenuhi peran vital mereka sebagai istri dan ibu, sementara di saat yang sama Islam juga mengijinkan perempuan untuk mencari pekerjaan jika mereka menginginkannya. Namun perempuan harus berada dalam kondisi terbebas dari tekanan ekonomi dan sosial dalam bekerja, sehingga tanggung jawab rumah mereka tidak terganggu. Kaum perempuan juga harus terbebas dari kondisi yang menindas mereka berperan ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga untuk keluarga mereka.

Dunia membutuhkan visi politik baru pemberdayaan perempuan, visi yang mampu melindungi, mensejahterakan sekaligus mengangkat harkat perempuan. Pemberdayaan utama perempuan dalam pandangan Islam, adalah optimasi perannya sebagai penjaga peradaban dan pendidik generasi masa depan. Kaum Muslimah memegang peranan penting dalam mempertahankan keluarga dan sekaligus identitas Islam masyarakat Muslim berpadu dengan kewajiban politiknya sebagai Muslimah dalam dakwah dan mengoreksi penguasa. Ibu yang cerdas, beriman dan sadar akan tugas utamanya, akan melahirkan generasi-generasi pejuang yang akan memperbaiki kondisi umat Islam. Allah Swt berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Qs. An-Nahl : 197)

Program womenomics ala Kapitalis telah menghancurkan wujud dan peran utama perempuan ini, akibatnya yang terjadi adalah penyakit sosial dan kejahatan merajalela, padahal kezaliman yang paling buruk adalah rusaknya moral dan integritas kaum perempuan, karena akan menjalar ke seluruh sendi sosial masyarakat. Karena itu Islam juga telah memberikan sebuah sistem yang satu dan komprehensif yang akan memberi visi politik baru bagi pemberdayaan perempuan. Sistem ini tiada lain adalah Khilafah Islam yang sangat kredibel dan telah teruji waktu dalam menangani kemiskinan sekaligus tetap menjaga kehormatan perempuan. Ini adalah negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat yang menolak model keuangan cacat Kapitalis yang berbasis bunga, melarang privatisasi sumberdaya alam dan melarang asing berinvestasi besar dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, industri dan teknologi. Pondasi kebijakannya diarahkan untuk mengupayakan distribusi kekayaan yang efektif dalam menjamin kebutuhan pokok semua warga negaranya, di saat yang sama juga meletakkan produktivitas ekonomi yang sehat sesuai fitrah manusia, sehingga mencegah dehumanisasi massal bagi kaum perempuan. Hal ini juga akan memungkinkan kaum laki-laki memenuhi kewajibannya untuk menafkahi keluargnya, sedangkan di saat yang sama negara diwajibkan untuk menafkahi kaum perempuan yatim yang tidak lagi memiliki kerabat laki-laki yang menafkahi mereka. Mari berjuang berjuang demi kembalinya Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah – seorang pemimpin yang tulus, yang akan mengangkat beban ekonomi yang terlampau berat dari punggung-punggung umat Islam dan menempatkannya di atas bahunya yang kuat.

 

Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir

Fika Komara

Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir

 

[1] Review and appraisal of the implementation of the Beijing Declaration and Platform for Action and the outcomes of the twenty-third special session of the General Assembly | Report of the Secretary-General, 15 December 2014

[2] Adrienne Roberts, The Political Economy of “Transnational Business Feminism”, 2014

[3] Pidato Hillary Clinton pada forum APEC Women and the Economy Forum, 29 June 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*