Khalifah bukan kepala negara simbolis yang menjadi penguasa namun tak berkuasa. Ini berbeda dengan keberadaan para penguasa dalam sistem buatan manusia karena banyak kekuatan kepentingan yang bermain di belakang mereka. Khalifah adalah pemimpin bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia untuk menegakkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru alam. Jadi, keberadaan Khalifah bukan sekadar melaksanakan syariah (hukum-hukum) Islam di dalam negeri, namun juga sebagai panglima tinggi militer untuk memimpin misi mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Lalu apa arti Khalifah sebagai panglima tinggi militer? Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 65, yang berbunyi: “Khalifah adalah panglima tinggi militer. Khalifah mengangkat kepala staf. Khalifah mengangkat komandan detasemen dan komandan batalion. Adapun struktur militer lainnya, maka yang mengangkat adalah para komandan detasemen dan komandan batalion. Sementara itu, penetapan seseorang sebagai staf harus disesuaikan dengan tingkat pengetahuan kemiliterannya, dan yang menetapkannya adalah kepala staf.” (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 19).
Khalifah Sebagi Panglima Militer Tertinggi
Menegakkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia adalah dua hal yang menjadi tugas dan kewajiban Khalifah. Karena itu keduanya tidak boleh dikendalikan dan dikuasai oleh selain Khalifah. Pasalnya, akad Khilafah itu diberikan kepada pribadinya. Karena itu pelaksanaan kedua hal itu tidak boleh dilaksanakan oleh orang lain. Alasannya, setiap akad yang diberikan kepada orang yang berakad, seperti pekerja, wakil dan mitra kerja (asy-syârik), tidak boleh diwakilkan kepada orang lain untuk melaksanakn apa yang ada dalam akadnya. Dalam hal ini, akad Khilafah telah diberikan kepada orang tertentu. Karena itu orang tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menggantikan dia dalam melaksakan tugas-tugas akad Khilafah yang diberikan kepada dirinya, yaitu kepemimpinan yang bersifat umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Islam, dan mengemban dakwah ke seluruh dunia (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, II/153; Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 217; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 90; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 161).
Dengan demikian jelaslah bahwa mengemban dakwah adalah kewajiban Khalifah yang memang dibaiat untuk melaksanakan kewajiban ini. Karena itu Khalifah tidak boleh mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain sekalipun setiap kaum Muslim sah (boleh) melakukan itu. Artinya, mengemban dakwah—sekalipun itu merupakan kewajiban seluruh kaum Muslim dan setiap Muslim harus melakukan itu—tidak boleh dikendalikan oleh selain Khalifah. Dengan kata lain, Khalifah harus memimpin urusan jihad. Ini karena akad Khilafah diberikan kepada pribadinya meskipun yang melaksanakan jihad adalah setiap Muslim. Pasalnya, pelaksanaan jihad adalah suatu hal, sementara memimpin dan mengurusi jihad adalah hal lain. Jihad memang hukumnya fardhu atas setiap Muslim. Namun, memimpin dan mengurusi jihad hanya menjadi wewenang Khalifah, bukan yang lain (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah II/153; Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 217; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 90; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hml. 161).
Dalam melaksanakan kewajiban mengemban dakwah, Khalifah memiliki metode (tharîqah) tertentu, yaitu jihad. Jihad didefinisikan dengan “berperang di jalan Allah (al-qitâl fî sabîlilLâh)”.
Definisi lebih jelas dikemukan oleh al-Kasani, dari kalangan Hanafi, dalam kitabnya Badâi’u ash-Shanâi’ (7/97): “Jihad adalah menggunakan semua usaha dan tenaga dalam berperang di jalan Allah SWT dengan jiwa, harta, lisan (mulut) atau yang lainnya.”
Ibnu Arafah, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ulaisy, dari kalangan Maliki, dalam kitab Minah al-Jalîl Mukhtashar Sayyidi Khalîl (3/135), mendefinisikan jihad dengan: “Perang yang dilakukan seorang Muslim terhadap orang kafir yang tidak memiliki ikatan perjanjian untuk meninggikan agama Allah SWT, atau keikutsertaan seorang Muslim dalam peperangan, atau masuknya seorang Muslim ke negeri musuh untuk berperang.” (Haikal, Jihâd wa al-Qitâl, 1/44).
Jihad, dengan pengertian di atas, hanya bisa terlaksana jika ada para mujahid (pasukan), kekuatan yang dipersiapkan untuk tempur, dan peperangan itu sendiri. Oleh karena itu adanya tentara, mempersiapkannya, dan berbagai aktivitasnya, adalah metode (thariqah) untuk mengemban dakwah ke suluruh dunia. Jadi, keberadaan Khalifah adalah sebagai panglima tinggi militer. Dialah yang memimpin dan mengendalikan aktivitas mengemban dakwah dan memimpin jihad. Artinya, hanya Khalifah yang mengendalikan kepemimpinan militer, bukan yang lain.
Meski Khalifahlah yang berwenang memimpin dan mengendalikan kepemimpinan militer, ini tidak berarti bahwa Khalifah harus melakukan sendiri administrasinya, pelatihannya dan perkara-perkara teknis lainnya. Ini karena semua itu adalah termasuk bagian dari uslub (cara) dan wasîlah (sarana). Sekalipun Khalifah memimpin semua urusan militer, ia memimpin secara umum, yaitu memimpin pembentukannya, penyiapannya dan berbagai aktivitas yang dia lakukan.
Seorang prajurit yang mempersiapkan diri ikut berjihad adalah mujahid. Kekuatan yang dipersiapkan untuk membuat musuh takut dan untuk sebuah peperangan merupakan aktivitas jihad. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan itu ketika Allah SWT memerintahkan jihad.
Perang itu sendiri adalah jihad. Itulah sebabnya, memimpin para mujahid, mempersiapkannya, dan memimpin mereka dalam peperangan adalah kewajiban Khalifah, bukan yang lain.
Dengan demikian, arti Khalifah sebagai panglima tinggi militer adalah bahwa Khalifah, bukan yang lain, yang merancang politik (kebijakan) terkait pembentukan militer, terkait penyiapannya dan persiapannya, serta terkait pelaksanaan aktivitas peperangan. Khalifahlah yang memimpin, bukan yang lain, pelaksanaan dari semua kebijakan tersebut. Oleh karena itu, Khalifahlah yang memimpin semua perancangan politik militer, baik dalam negeri maupun luar negeri; juga semua perancangan politik peperangan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tidak boleh secara mutlak siapapun selain Khalifah yang memimpin hal-hal tersebut.
Benar, Khalifah boleh mengangkat dan menunjuk siapa saja yang dikehendaki untuk merancang politik tersebut, dan Khalifah wajib mengontrol dan mengawasi pelaksanaannya. Namun, tidak boleh secara mutlak membiarkan siapapun selain Khalifah untuk memimpin dan mengendalikan semua itu. Inilah arti Khalifah sebagai panglima tinggi militer (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, II/154).
Syarat Kebolehan Mengangkat Wakil
Khalifah boleh mengangkat seseorang untuk mewakili dia dalam melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas dirinya. Syaratnya, wakil itu harus di bawah kontrol dan arahan dari Khalifah. Jadi, pelaksanaannya bukan terlepas tanpa kontrol dan arahan dari Khalifah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 217; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 91; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 161).
Kontrol dari Khalifah di sini tidak seperti ketika Khalifah mengontrol Mu‘awin. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa orang yang mewakili Khalifah itu harus secara langsung di bawah komando dan arahannya. Dengan demikian, sebagai panglima tinggi militer dengan batasan seperti ini, yaitu di bawah komando dan arahan Khalifah secara langsung, Khalifah sebagai palinglima tertinggi militer boleh mengangkat dan menunjuk siapa saja yang ia kehendaki untuk mewakili dirinya.
Pengangkatan seseorang tanpa arahan dan tidak berada di bawah komando Khalifah kecuali hanya sekadar simbol saja tidak boleh. Pasalnya, akad Khilafah itu diberikan kepada pribadinya sehingga ia sendiri yang wajib memimpin dan menangani berbagai urusan jihad. Atas dasar ini, apa yang dikatakan oleh sistem-sistem selain Islam, bahwa kepala negara adalah panglima tinggi militer, namun ia hanya dijadikan panglima secara simbolis, ia mengangkat panglima militer yang mandiri secara penuh mengurusi pasukan, maka pernyataan tersebut dalam pandangan Islam dinilai sebagai pernyataan yang batil, yang tidak dibenarkan oleh syariah. Sebab, syariah justru mewajibkan agar yang menjadi panglima tinggi militer secara langsung adalah Khalifah. Adapun selain dalam masalah kepemimpinan dan komando, seperti masalah-masalah teknis, administratif, atau yang lainnya, maka Khalifah boleh mengangkat orang yang mewakili dirinya untuk melaksanakan berbagai urusan itu secara mandiri, seperti para wali, dan tidak harus berada di bawah komandonya secara langsung seperti halnya kepemimpinan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 217; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 91; Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 161).
Rasulullah saw. telah menangani secara langsung kepemimpinan dan komando militer. Beliau pernah menjadi panglima perang. Beliau juga pernah mengangkat para komandan detasemen, yaitu pasukan yang dikirim untuk berperang tanpa keikutsertaan beliau, yang dikenal dengan sebutan sariyah. Setiap sariyah dipimpin oleh seorang komandan. Pada beberapa kondisi, beliau menetapkan komandan pengganti seandainya komandan tersebut gugur, sebagaimana yang terjadi pada saat Perang Mu’tah. Imam al-Bukhari telah menuturkan riwayat dari Abdullah bin Umar ra. yang mengatakan, “Rasulullah saw. pernah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dalam Perang Mu’tah. Beliau bersabda, ’Jika Zaid gugur maka Ja‘far (menggantikannya sebagai panglima). Jika Ja‘far gugur maka Abdullah bin Rawahah (sebagai penggantinya).’”
Jadi, Khalifah sebagai panglima tinggi militer adalah yang mengangkat panglima militer. Khalifah juga yang mengangkat para komandan batalion dan menyerahkan al-liwâ’ kepada mereka. Khalifah mengangkat para komandan brigade. Pasalnya, pasukan yang dikirim ke Syam sama seperti Pasukan Mu’tah dan Pasukan Usamah, yang merupakan brigade. Dalilnya, Rasul saw. menyerahkan al-liwâ’ kepada Usamah. Adapun sariyah-sariyah yang berperang di jazirah dan kembali lagi seperti sariyah Saad bin Abi Waqash yang beliau kirim ke arah Makkah merupakan batalion. Hal itu menunjukkan bahwa para komandan brigade dan para komandan batalion diangkat oleh Khalifah.
Adapun selain komandan brigade dan komandan batalion tidak terdapat riwayat (dalil) yang kuat, yang menyatakan bahwa Rasulullah saw mengangkat mereka. Ini semua menunjukkan bahwa pengangkatan mereka dalam sebuah peperangan diserahkan kepada para komandannya.
Sementara itu, kepala staf, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan teknis, maka ia seperti panglima militer yang diangkat oleh Khalifah. Namun, kepala staf ini melaksanakan tugasnya tanpa kontrol langsung dari Khalifah meski ia berada di bawah intruksi Khalifah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 218; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 92; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 162).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Haikal, DR. Muhammad Khair, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Bayariq), Cetakan II, 1996.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz 2, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.