Kemandirian ekonomi suatu negara dapat didefinisikan sebagai sikap negara untuk mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai persoalan ekonomi yang ada (Mukeri, 2012). Kemandirian ini tidak berarti menafikan kerjasama ekonomi dengan negara lain dalam perekonomian global. Namun, kerjasama itu haruslah bersifat setara (equal) dan saling menguntungkan, bukan bersifat hegemonik yang eksploitatif, yang menempatkan satu negara dapat mendominasi atau mengendalikan perekonomian negara lainnya.
Kemandirian ekonomi suatu negara ditunjukkan oleh 5 (lima) indikator. Pertama: Kemandirian negara dalam mengelola kepemilikan, produksi dan distribusi berbagai sumberdaya yang ada. Kedua: Kemampuan negara memenuhi kebutuhan sektor pangan, energi, keuangan dan infrastruktur. Ketiga: Kemampuan negara memasok pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder. Keempat: Kemerdekaan negara untuk mengambil kebijakan ekonomi yang terlepas dari pengaruh negara-negara kapitalis Barat. Kelima: Kemampuan negara untuk memenuhi sumber-sumber pendanaan APBN dan mendayagunakan APBN guna memberikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi seluruh rakyat (Yelipele, 2014).
Lemahnya Kemandirian Ekonomi Indonesia
Berdasarkan lima indikator yang telah disebutkan di atas, kemandirian ekonomi Indonesia sesungguhnya sangat lemah dengan beberapa bukti sebagai berikut:
Pertama, dominannya penguasaan asing terhadap sumberdaya alam Indonesia. Memang Indonesia negeri yang kaya sumberdaya alam, seperti minyak dan gas, serta berbagai tambang seperti emas, tembaga, dan lain-lain. Namun ironisnya, sumberdaya alam Indonesia ternyata banyak dikuasai oleh asing. Sebagai contoh sektor minyak dan gas. Penguasaan asing terhadap sektor migas mencapai 84% sumur minyak dan gas di Indonesia. Pertamina hanya menguasai 16% saja. Tambang emas dan tembaga milik Indonesia di Grasberg, Papua, sudah lama dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia.
Kedua, Indonesia makin bergantung pemenuhan kebutuhan pangannya pada impor. Hal ini tentu ironis dan memprihatinkan. Pasalnya, Indonesia sebenarnya mempunyai potensi besar untuk mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Bayangkan, garam saja saat ini diimpor Indonesia dari Australia, India, Jerman, Selandia Baru hingga Singapura. Data BPS (Badan Pusat Statistik) (7/8/2013) menunjukkan Indonesia mengimpor garam 923 ribu ton pada Januari-Juni 2013 senilai 43,1 juta dolar AS. Indonesia juga masih impor bawang merah dari India, Thailand, Vietnam, Filipina dan Cina. Selanjutnya, ada impor tembakau, kentang, cabai, singkong, kakao, kopi, beras, jagung, kedelai, tepung terigu, biji gandum, gula pasir, minyak goreng dan susu. (Detik.com, 7/8/2013).
Ketiga, besarnya utang luar negeri Indonesia yang makin mengkhawatirkan. Menurut data BI (Bank Indonesia), total utang luar negeri Indonesia mencapai 276,49 miliar dolar AS (per Agustus 2015). Angka itu naik sebesar 8,73% dibandingkan dengan posisi tahun 2013. Dari jumlah itu, porsi utang swasta atau korporasi merupakan yang terbesar, yakni sebesar 145,98 miliar dolar AS. Utang luar negeri Pemerintah besarnya 122,81 miliar AS, dan sisanya adalah utang BI (Bank Indonesia) (Sindonews.com, 12/8/2015).
Utang luar negeri ini patut untuk selalu diwaspadai. Alasannya, jika sebuah negara bangkrut karena utang luar negerinya yang tak terbayar (default), hilanglah kemandirian ekonominya dan negara itu akan jatuh di bawah pengaturan dan belas kasihan pihak lain. Pengalaman Yunani yang mengalami default perlu menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Total utang Yunani besarnya Rp 4.740 triliun, yakni hampir tiga kali APBN Indonesia. Pasca kebangkrutannya, perekonomian Yunani otomatis berada di bawah pengaturan pihak lain (Uni Eropa).
Keempat, banyaknya legislasi berbagai UU (Undang-undang) pesanan asing. Fenomena menyedihkan ini terutama terjadi pada era Reformasi pasca jatuhnya Presiden Suharto 1998. Menurut Eva Kusuma Sundari, mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP, BIN (Badan Intelijen Negara) telah menemukan indikasi intervensi asing dalam penyusunan 76 draft UU di DPR dalam kurun 12 tahun pasca Reformasi (1998-2010). Misalnya UU Migas, UU Kelistrikan, UU Perbankan dan Keuangan, UU Pertanian dan UU Sumber Daya Air (Tempo.co, 20/8/2010).
Kelima, dominannya modal asing di Indonesia. PMA (Penanaman Modal Asing) di Indonesia nilainya lebih dominan dibandingkan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). PMA nilainya telah mencapai Rp 57,6 triliun (4,8 miliar USD) atau 75,39%. Adapun PMDN hanya Rp 18,8 triliun (24,61%). Sekitar 60% industri strategis telah dikuasai asing, yaitu industri perbankan, telekomunikasi, elektronika, asuransi dan pasar modal. (Republika, 10/10/2014).
Keenam, kuatnya pengaruh eksternal terhadap sektor keuangan di dalam negeri Indonesia. Misalnya kasus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kondisi ini tak dapat dilepaskan dari faktor eksternal, yakni kebijakan The Fed (Bank Sentral AS) menetapkan tingkat suku bunga. Jika The Fed menaikkan suku bunga, dampaknya dolar AS akan mengalir dari negara berkembang ke AS. Akibatnya, dolar AS di negara berkembang menjadi langka dan membuat nilai tukar dolar AS menjadi naik (atau nilai tukar rupiah menjadi melemah terhadap dolar AS). (Jawa Pos, 17/9/2015).
Selain lemahnya rupiah, pengaruh eksternal juga menyebabkan turunnya indeks harga saham gabungan (IHSG). Pada bulan April 2015 IHSG berada pada angka 5523, namun pada Agustus 2015 angka IHSG merosot sampai menembus 4300. Penurunan ini terjadi karena aksi jual saham di pasar modal Indonesia (Bbc.com, 24/8/2015).
Aksi jual saham ini ada hubungannya dengan naiknya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Pasalnya, kenaikan nilai dolar AS mengakibatkan para investor mengurangi investasi di negara-negara yang mempunyai risiko besar jika nilai dolar AS naik. Indonesia termasuk ke dalam negara yang rawan risiko tersebut. Karena itu para investor banyak yang menarik investasinya dari Indonesia ke luar negeri dengan cara aksi jual saham.
Berdasarkan beberapa bukti di atas, kemandirian ekonomi Indonesia terbukti sangatlah lemah. Kendali perekonomian Indonesia ternyata tidaklah sepenuhnya berada di tangan negara, melainkan lebih banyak berada di tangan asing. Dengan ungkapan yang lebih tegas, perekonomian Indonesia sebenarnya masih terjajah.
Membangun Kemandirian Ekonomi Khilafah
Khilafah akan menerapkan hukum-hukum syariah Islam untuk membangun kemandirian ekonominya. Di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
Pertama, mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam sesuai syariah Islam. Hanya negara yang berhak mengelola sumberdaya alam yang menjadi milik umum (milkiyyah ‘ammah) seperti tambang minyak dan gas, tambang tembaga dan emas, dan sebagainya. Korporasi swasta apalagi korporasi swasta asing tidak dibolehkan secara mutlak mengeksploitasi sumberdaya alam milik umum. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah menegaskan:
وأما التصرف في الملكية فإنّه بالنسبة للملكية العاماة جُعل للدولة لأنها نائبة عن الأمّة
Adapun pengelolaan kepemilikan, maka untuk kepemilikan umum pengelolaannya menjadi kewenangan negara karena negara adalah wakil dari umat (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 68).
Saat Khilafah berdiri, Khilafah akan mengambil-alih tambang-tambang yang selama ini dikelola oleh korporasi asing, seperti tambang emas dan tembaga di Papua yang dikelola PT Freeport. Dengan demikian pendapatan besar dari tambang yang selama ini dinikmati asing akan dialihkan untuk kesejahteraan umat.
Kedua, menghentikan utang luar negeri (al-qurudh al-ajnabiyyah) baik utang dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia atau IMF maupun utang dari negara lain. Pasalnya, selama ini utang luar negeri tidak lepas dari dua hal yang diharamkan dalam Islam: (1) Adanya syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan ekonomi negara peminjam. Hal ini diharamkan sesuai kaidah syariah, “Al-Wasilah ila al-haram haram (Sarana menuju yang haram hukumnya haram juga).” Utang luar negeri terbukti telah menjadi sarana (wasilah) bagi kaum kafir untuk mendominasi umat Islam sehingga hukumnya haram (QS an-Nisa` [4]: 141). (2) Adanya bunga yang jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan Islam. (QS al-Baqarah [2]: 275) (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 83; At-Ta’rif bi Hizb at-Tahrir, hlm. 126).
Syaikh Abdurrahman al-Maliki dengan tajam mengatakan bahwa utang luar negeri sebenarnya bukanlah bantuan, melainkan senjata politik di tangan negara donor untuk memaksakan politik dan pandangan hidupnya atas negara debitor. (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 202). Pernyataan tersebut mendapat konfirmasi dari Presiden AS John F. Kennedy pada tahun 1962 yang menyatakan, “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode yang dengan itu Amerika Serikat mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia…” (M. Dawam Rahardjo (Ed.), Kapitalisme Dulu dan Sekarang, [Jakarta: LP3ES, 1987], hlm.120).
Ketiga, menghentikan investasi asing yang bertentangan dengan syariah. Misalnya, investasi asing pada sektor-sektor milik umum, seperti pertambangan. Ini haram karena sektor milik umum hanya boleh dikelola oleh negara saja, bukan yang lain. Contoh lain adalah investasi asing pada sektor bisnis yang haram, seperti bisnis barang haram (daging babi, darah, bangkai, patung, khamr, dll); maupun bisnis jasa haram seperti riba, judi, prostitusi, minuman keras, dan sebagainya (QS al-Maidah [5]: 90). Contoh lain adalah investasi yang mendominasi umat Islam sehingga ekonomi rakyat tidak dapat berkembang atau bahkan mengalami kerugian. Investasi seperti ini tidak dibolehkan syariah karena menimbulkan mudharat (bahaya) dan juga menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya (pemodal asing) saja (QS al-Hasyr [59]: 7).
Keempat, menghentikan segala bentuk hubungan dengan negara-negara kafir yang sedang memerangi umat Islam (daulah muharibah fi’lan), seperti Israel dan Amerika Serikat. Pasalnya, adanya hubungan dengan negara-negara kafir seperti itu, misalnya hubungan diplomatik, hubungan budaya dan hubungan dagang, berarti menghentikan jihad fi sabilillah (perang) kepada mereka. Padahal Islam telah mewajibkan jihad fi sabilillah untuk melawan negara-negara kafir yang nyata-nyata tengah memerangi umat Islam (QS al-Baqarah [2]: 190; QS al-Anfal [8]: 39) (At-Ta’rif bi Hizb at- Tahrir, hlm. 121).
Kelima, menghentikan keanggotaan dalam PBB, termasuk lembaga-lembaga internasional di bawah PBB seperti IMF dan Bank Dunia karena hukumnya haram berdasarkan dua alasan: (1) karena lembaga-lembaga tersebut menjalankan peraturan yang bertentangan dengan syariah Islam; (2) karena lembaga-lembaga tersebut adalah instrumen negara kapitalis penjajah (khususnya AS) untuk mendominasi umat Islam (At-Ta’rif bi Hizb at- Tahrir, hlm. 127).
Keenam, menghentikan keanggotaan dalam blok-blok perdagangan kapitalis seperti NAFTA, AFTA, MEA, dan sebagainya. Keanggotaan dalam blok-blok seperti ini haram hukumnya karena: (1) telah terbukti mendatangkan dharar (bahaya) bagi umat Islam, yaitu mendominasi perekononian dalam negeri; (2) adanya peraturan perdagangan yang bertentangan dengan syariah Islam (At-Ta’rif bi Hizb at-Tahrir, hlm. 127).
Ketujuh, membangun ketahanan pangan, yaitu memenuhi kebutuhan pangan bagi negeri sendiri melalui peningkatkan produksi pangan dan impor bahan pangan. Peningkatan produksi pangan dilakukan melalui cara mengelola tanah pertanian secara optimal dengan memanfaatkan sains dan teknologi modern. Adapun impor bahan pangan dibolehkan secara syariah asalkan tidak boleh menimbulkan dominasi asing atas umat Islam (QS an-Nisa‘ [4]: 141) (Al-Waie [Arab], “Al-Amn al-Ghidza’i fi Dawlah al-Khilafah,” no. 258-259, hlm. 158-162).
Kedelapan, mencetak mata uang emas (dinar) dan perak (dirham). Hal ini hukumnya wajib atas negara Khilafah meskipun antarindividu rakyat tidak wajib menggunakan dinar dan dirham dalam muamalah antar individu. Penggunaan dinar dan dirham dalam perdagangan internasional akan memberikan kemandirian ekonomi yang sangat kuat bagi negara Khilafah (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqadimah ad-Dustur, 2/146).
Kesembilan, menghapus seluruh lembaga-lembaga keuangan kapitalis, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, perseroan terbatas (PT), dan sebagainya. Alasannya, karena lembaga-lembaga tersebut tidak disyariatkan Islam. Selain itu lembaga-lembaga tersebut telah menjadi instrumen dominasi yang dimanfaatkan oleh kekuatan kapitalisme global untuk melakukan penjajahan ekonomi atas umat Islam.
WalLahu a’lam. [Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI]; KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Daftar Bacaan
Al Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla.
An Nabhani, Taqiyuddin, Muqadimah ad Dustur.
—————, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam.
Mukeri, Kemandirian Ekonomi Solusi Untuk Kemajuan Bangsa, jurnal.unpad.ac.id (diakses 19/09/2015).
Rahardjo, M. Dawam (Ed.), Kapitalisme Dulu dan Sekarang, (Jakarta: LP3ES), 1987.
Yelipele, Adnan. “Indonesia Membangun Kemandirian Ekonomi,” http://inspirasibangsa.com (diakses 19/09/2015).