Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengaku pernah disogok Chief Executive Officer PT Freeport-McMoran James Moffett sewaktu menjabat Menteri Koordinator Perekonomian era pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, menurut Rizal, dia menolak tawaran tersebut.
“Dia bilang, ‘Rizal Ramli, we are ready to pay the government of Indonesia US$ 3 billion, tapi tolong lupakan sejarah perpanjangan kontrak 1980-an’,” ujar Rizal menirukan Moffett saat mengikuti rapat anggaran bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Ruang Rapat Badan Anggaran, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2015.
Rizal mengaku pernah bertemu dengan Moffett pada 2000 untuk melakukan renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia. Saat itu Rizal ditunjuk sebagai ketua tim negosiasi kontrak dengan anggota mantan Menteri Luar Negeri Alwi Sihab dan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Freeport berharap pemerintah Indonesia melupakan perpanjangan kontrak Freeport pada 1980-an yang prosesnya, menurut Rizal, penuh korupsi. “Saya bilang, ‘US$ 3 miliar itu terlalu sedikit. Saya minta US$ 5 miliar plus renegosiasi.’ Dia bilang, ‘Setuju, tapi harus lewat persetujuan pemegang saham yang lain’,” ujar Rizal.
Rizal meminta nilai investasi lebih besar dan renegosiasi supaya lebih menguntungkan Indonesia. Namun, ketika pembahasan tersebut usai, Moffett sempat merayu Rizal. “Dia bilang lagi, ‘Lain kali ketemu di hotel mewah di Colorado saja, jangan di Hotel Mahakam yang jelek ini. Saya tahu Anda suka musik klasik’,” tutur Rizal menirukan Moffett.
Mendengar pernyataan itu, Rizal lantas mengaku emosi dan langsung menolak mentah-mentah tawaran tersebut. Dia pun sempat menggebrak meja untuk menunjukkan ketidaksukaannya terhadap tawaran Moffett. “Saya gebrak meja, ‘Anda pikir saya ini pejabat negara apa?’,” kata Rizal kepada Moffett.
Saat itu, Rizal mengklaim, Moffett langsung meminta maaf kepadanya. “Dia bangun dari ujung, nyaris cium tangan saya, minta maaf,” ujar Rizal. Dia mengingatkan supaya pejabat negara tak gampang dilobi dan menerima sejumlah rayuan. “Kalau kita menegakkan kepentingan kita, enggak gampang disogok. Menyerah kok mereka.” (tempo.co, 14/10/2015)