Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi**
Pendahuluan
Pro-kontra hukuman kebiri muncul setelah pemerintah berencana menerapkan hukuman kebiri kepada pelaku pedofilia. Pihak yang pro berargumen hukuman kebiri diperlukan karena kasus kekerasan seksual sudah dalam tahap darurat. Kasus yang dialami Putri Nur Fauziah (9 tahun) yang tewas akibat kekerasan seksual di Kalideres, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu dijadikan contoh kondisi darurat tersebut. Data Lembaga Perlindungan Anak menunjukkan, hingga kini terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran hak terhadap anak, dan 58% di antaranya merupakan kejahatan seksual. Sementara itu data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan ada 22 juta anak yang mengalami kekerasan sepanjang 2010-2014, dan 42% di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. (Koran Tempo, 23/10/2015).
Ide hukuman kebiri ini diusulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan Nasional kepada Presiden Jokowi hari Selasa (20/10/2015). Presiden Jokowi memberi sinyal setuju lalu membahas hal tersebut bersama sejumlah pejabat seperti Jaksa Agung M. Prasetyo. Usulan tersebut sudah ditindaklanjuti dengan penyusunan draf Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perpu) bagi pelaku kejahatan anak. Dalam rancangan Perpu tersebut, pelaku dihukum kebiri secara hormonal. (Koran Tempo, 23/10/2015).
Sementara pihak yang kontra menolak hukuman kebiri berdasarkan beberapa argumen. Ada yang menolak karena mempertanyakan efektivitasnya dalam menimbulkan efek jera. Sosiolog Imam B. Prasodjo, misalnya, menganggap hukuman kebiri tak memberikan efek jera. Menurut Imam, solusi paling efektif adalah membangun kesigapan sosial di mana masyarakat harus waspada mengawasi gejala-gejala yang muncul. Argumen lainnya dari pihak yang kontra adalah karena hukuman kebiri dianggap berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), seperti pendapat Desmond J. Mahesa dari Fraksi Gerindra DPR RI.
Pihak lainnya yang kontra adalah dari tokoh ormas Islam dan kalangan pesantren. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, tidak sepakat dengan hukuman kebiri jika mengubah fisik manusia. Ketua Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur, Gus Reza Ahmad Zahid, menyatakan tak selayaknya pemerintah menerapkan hukuman kebiri. Alasannya, konsep Islam tidak mengenal kebiri. (Koran Tempo, 23/10/2015).
Fakta Kebiri
Kebiri (al ikhsha`, castration) artinya adalah pemotongan dua buah dzakar (al khushyatain, testis), yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi kebiri dapat berupa pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari kebiri. Namun adakalanya kebiri berupa pemotongan testis dan penis sekaligus. Kebiri bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 150; Al Mu’jamul Wasith, 1/269; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat, hlm. 88).
Metode kebiri secara garis besar ada dua macam, yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis dipotong dan dibuang melalui operasi, sisanya diikat dan kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit gairah seks. Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, tapi dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode injeksi. Pertama, diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon testosteron ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Pandangan Syariah Islam
Menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut;
Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus Salam, 3/110). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan, hlm. 90).
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama mengenai haramnya kebiri sebagai berikut :
وقال ابن حجر : هو نهي تحريم بلا خلاف في بني آدم
“Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,’(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.’ (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).
Dalam kitab Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil Mathrudi berkata :
أجمع العلماء على أن خصاء بني آدم محرم ولا يجوز
“Para ulama telah sepakat bahwa kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).
Dalil haramnya kebiri pada manusia adalah hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW terhadap kebiri. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia berkata :
رد رسول الله صلى الله عليه وسلم على عثمان بن مظعون التبتل، ولو أذن له لاختصينا
”Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073; Muslim no 3390).
Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata ;
كنا نغزو مع النبي صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء، فقلنا: ألا نختصي؟ فنهانا عن ذلك
”Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW),’Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (Taqiyuddin An Nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119)
Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh (haram) melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan Syariah Islam itu. Dalil haramnya melaksanakan hukum-hukum non syariah adalah firman Allah SWT :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab [33]: 36).
Ayat tersebut dengan jelas melarang muslim untuk membuat suatu ketentuan baru apabila sudah ada ketentuan hukum yang tertentu dari Syariah Islam. Maka dari itu haram hukumnya menerapkan hukum kebiri untuk pelaku pedofilia, karena Syariah Islam sudah menetapkan rincian hukuman tertentu bagi pelaku pedofilia.
Adapun rincian hukuman untuk pelaku pedofilia sbb; (1) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).
Memang benar, hukuman untuk pelaku pedofilia yang hanya melakukan pelecehan seksual (at taharusy al jinsi), adalah hukuman ta’zir, yang dapat ditentukan sendiri jenis dan kadarnya oleh hakim (qadhi). Misalnya dicambuk 5 kali cambukan, dipenjara selama 4 tahun, dsb. Pertanyaannya, bolehkah hakim menjadikan kebiri sebagai hukuman ta’zir?
Jawabannya, tidak boleh (haram). Sebab meski hukuman ta’zir dapat dipilih jenis dan kadarnya oleh hakim, tetapi disyaratkan hukuman ta’zir itu telah disahkan dan tidak dilarang oleh nash-nash syariah, baik Al Qur`an maupun As Sunnah. Jika dilarang oleh nash syariah, haram dilaksanakan. Misalnya, hukuman membakar dengan api. Ini haram hukumnya, karena terdapat hadits sahih yang melarangnya (HR Bukhari) (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 81). Maka demikian pula, menjatuhkan ta’zir berupa kebiri hukumnya haram, karena telah terdapat hadits-hadits sahih yang melarang kebiri.
Ketiga, dalam hal metode kebiri yang digunakan adalah metode injeksi kedua, yakni yang diinjeksikan adalah hormon estrogen, hukumnya juga haram dari sisi lain, karena mengakibatkan laki-laki yang dikebiri memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya perempuan menyerupai laki-laki. Dalil keharamannya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa :
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء، والمتشبهات من النساء بالرجال
”Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).
Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka, metode kebiri dengan cara injeksi hormon estrogen kepada laki-laki pelaku pedofilia haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah) bagi laki-laki itu untuk menyerupai lawan jenisnya (perempuan). Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
الوسيلة إلى الحرام محرمة
”Al-Wasilah ila al-haram muharromah.” (Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga).
Berdasarkan 3 (tiga) alasan di atas, menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya adalah haram.
Penutup
Upaya pemerintah untuk menerapkan hukum kebiri bagi laki-laki pedofilia adalah suatu kesesatan dan dosa besar yang sama sekali tidak boleh didukung oleh umat Islam. Siapapun yang terlibat di dalam upaya penerapan hukum kebiri itu, baik itu ahli hukum yang menyusun draft Perpu, Presiden yang menandatangi Perpu, para menteri pengusulnya, hakim dan jaksa yang mengadili pelaku pedofilia, termasuk para dokter atau staf medis yang melaksanakan kebiri di rumah sakit atas perintah pengadilan, semuanya turut memikul dosa besar di hadapan Allah. Mereka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu hadapan Allah SWT pada Hari Kiamat andaikata Allah bertanya mengapa mereka menjalankan hukuman yang tidak diizinkan Allah dan malah membuat-buat hukuman yang tidak disyariatkan-Nya? Tidakkah mereka ingat firman Allah SWT :
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra` [17] : 36).
Upaya penerapan hukum kebiri tersebut di samping menunjukkan kebodohan terhadap Syariah Islam, juga menunjukkan kegagalan yang total dalam penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak. Sesungguhnya penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak, bahkan penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini, wajib dikembalikan kepada Syariah Islam yang diterapkan secara kaaffah (menyeluruh) dalam negara Khilafah. Dengan tiga pilar pelaksanaan Syariah Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum oleh negara, insya Allah semua penyakit dan kejahatan sosial akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi dengan seizin Allah. Firman Allah SWT :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum [30] : 41). Wallahu a’lam.
= = =
*Makalah disampaikan dalam Halqah Syahriyyah, di DPC HTI Kraton, Yogyakarta, hari Ahad 25 Oktober 2015.
**Syabab (aktivis) DPC HTI Kraton, Yogyakarta. Dosen STEI Hamfara Yogyakarta.