Kabut Asap Mengganas, Negara Salah Kelola Hutan dan Lahan Gambut

Kabut-AsapOleh: Rini Syafri (Ketua Lajnah Mashlahiyah DPP MHTI)

Pendahuluan

Hujan yang turun beberapa hari pada sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan sedikit mengurangi tebalnya kabut asap.  Yang selama sekitar 3 bulan mengganas akibat pembakaran jutaan hektar lahan dan hutan gambut. Diberitakan Kompas.com, 21 Oktober 2015, bahwa satelit Terra Aqua mendeteksi 3.226 titik api disejumlah wilayah Indonesia hingga Selasa (20/10/2015), yaitu 2.407 di wilayah Indonesia bagian Barat dan 819 titik api di Indonesia bagian Timur. Artinya terjadi penambahan titik api hampir dua kali lipat selama sebulan terakhir, pekan ke dua September jumlah titik api 1.887 (Republika 13 September 2015). Dan lima belas kali lebih banyak dibandingkan jumlah titik saat pertama kali  terpantau, yaitu 203, pada 3 Juli 2015 (Menyibak Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Terus Berulang.www.mogabay.com, 13 Juli 2015).

Silent killer  di hadapan mata.  Karena kabut asap yang menyelimuti langit Indonesia hingga sejumlah negara di Asia Tenggara  mengakibatkan udara yang merupakan paru-paru kehidupan minim oksigen serta mengandung berbagai zat beracun dengan kadar puluhan kali di atas daya netralisir tubuh.  ISPU (Indeks Standar Polutan Udara) di sejumlah wilayah hampir selalu menunjukkan level berbahaya.  Dan hingga saat ini sebagaimana dinyatakan menteri sosial RI, Ibu Khofifah yang diberitakan Kompas.com, 28 Oktober 2015, sudah 19 jiwa melayang.  Republika, Ahad,25 Oktober 2015 memberitakan 503 ribu jiwa terserang ISPA, 43 juta  jiwa didera berbagai kengsaraan.   Ini karena polutan asap pembakaran hutan berpotensi mengakibatkan ISPA, hingga berbagai persoalan kesehatan serius seperti berat badan lahir rendah (BBLR), meningkatkan kematian perinatal, dan berbagai penyakit kanker yang mematikan (National Interagency Fire Center. The science of wildland fire (www.nifc.gov).

Bencana serupa telah berulang setiap tahun selama 18 tahun bahkan lebih, apa yang salah dengan tata kelola gambut selama ini? Dimana negara? Benarkah solusinya dengan menghukum seberat-beratnya pembakar lahan serta  memperketat izin konsesi, merevisi dan mencabut izin pembakaran lahan? Atau biang masalahnya justru pada konsep konsesi itu sendiri.  Mengapa solusi satu-satunya hanya dengan menerapkan tata kelola gambut yang didasarkan syariat Islam dalam bingkai negara khilafah Islam?

Titik Api Terkosentrasi Di Lahan Gambut Pemilik Hak Konsesi Dan Semisalnya

Setidaknya selama 3 tahun terakhir,  setiap kali bencana pembakaran hutan lahan ditemukan titik api yang terkonsentrasi di lahan gambut.  Diberitakan beritasatu.com, 11 September 2015, analisis greenpeace menunjukkan 3,464 titik api tahun ini berada di gambut yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia, dan 75 persen titik api di Sumatera ditemukan di kawasan gambut.

Tahun lalu, menurut pantauan WWF sepanjang Februari 2014 di kawasan gambut terdeteksi 2370 titik api (www. wwf. co.id). Di Riau pada periode 8-14 Februari 2014, dari 1,045 titik api ditemukan 95,96%nya dilahan gambut, sisanya di lahan non gambut (www.mongabay.co.id).  Pada kebakaran gambut tahun 2013, dengan titik api terbanyak 2.968 pada Agustus (Riaugreen.com, Jikalahari, Hutan Alam Riau Ditebang, Buruk Rupa Tata Kelola Kehutanan Indonesia).  Titik api yang ditemukan tahun 2014 melebihi periode 13 Juni hingga 30 Juni 2013, ada 2.643 titik api di Sumatera, yang dinilai sudah merupakan puncak krisis kebakaran hutan.

Lebih jauh lagi, titik api dari lahan gambut yang dibakar, dari tahun ke tahun terkonsentrasi pada kawasan hutan yang dalam pengelolaan korporasi.  Mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan.  Yaitu pada kawasan hutan tanaman industri 5.669 titik api, dan pada kawasan perkebunan kelapa sawit 9.168 titik api (www.mongabay.co.id. Walhi: Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan Itu, October 6, 2015)

Hal serupa ditemukan pada karhutla tahun lalu.  Titik api ditemukan di wilayah konsesi hutan tanaman industri seperti pulp dan kertas, kelapa sawit, HPH, dan di luar konsesi. Dan wilayah – wilayah konsensi yang Konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) dengan Jumlah Titik Api Terbanyak (Global Forest Watch). Hasil overlay titik api 1 januari sampai 24 Februari 2014 ditemukan total titik 277 pada konsensi HTI Riau.  (www.mongabay.co.id).  Selama 20 Februari  hingga 3 Maret juga ditemukan cacatan serupa (global Forest Wach).

Inilah bukti yang meyakinkan para pemilik konsesi dan semisalnya telah mengabaikan karakter gambut pada tata kelola gambut.  Disamping terlihat adanya hubungan hak konsesi dan semisalnya dengan kebakaran hutan dan lahan gambut.

Gambut Dieksploitasi Pemilik Hak Konsesi

Bagaimana bisa gambut yang kondisi alaminya basah berubah menjadi bahan bakar dan sulit dipadamkan? Gambut merupakan lahan dengan lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%), ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara (Agus, F dan Subiksa, IG.Made.  Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian .  2008).  Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan lahan gambut ratusan hingga ribuan tahun.  Lahan gambut memiliki fungsi ekologis dan hidrologis.  Evaporasi normal tidak akan pernah membuat lahan gambut menjadi kering.

Artinya, gambut menjadi kering akibat karakter alamiahnya dirusak, yang kerusakannya irreversible (tidak bisa dipulihkan).  Yaitu kubah, bagian yang menjadi tempat berlangsungnya fungsi hidrologis gambut disobek. Beginilah fakta gambut di tangan pemilik hak konsesi dan yang semisalnya. Yang hal ini sudah cukup sering diberitakan media masa.

Eksploitasi belum selesai, setelah kering kemudian dibakar, menekan biaya pembukaan lahan. Berdasarkan temuan Polda Riau dan Bareskrim Polri, BNPB menyebutkan kebakaran hutan dan lahan terjadi akibat adanya pembakaran lahan pribadi dengan alasan ekonomi dan tidak dikontrol. “Biaya pembukaan lahan dengan cara dibakar hanya membutuhkan Rp 600-800 ribu per hektare, sedangkan tanpa membakar butuh Rp 3,4 juta per hektare untuk membuka lahan,” ujar Sutopo (Juru Bicara BNPB)”. Demikian diberitakan cnnindonesia.com, 29 Agustus 2015, dalam tulisan bertajuk “BNPB Bongkar Motif dan Modus Kebakaran Hutan dan Lahan”.  Tiap-tiap pemilik konsesi bisa menguasai hingga ratusan hektar lahan gambut, sehingga bisa dibayangkan betapa besarnya penghematan yang bisa dilakukan, meski disaat bersamaan tidak terhitung kerugian material dan immaterial yang menimpa puluhan juta jiwa.

Pintu Kejahatan, Kesalahan Pemerintah

Mengapa penting menyoal  konsep konsesi dan kewenangan yang dimiliki negara memberikan hak konsesi? Mengapa dikatakan pintu kejahatan kemanusiaan? Konsesi merupakan salah satu varian model kemitraan pemerintah dan swasta (KPS) atau PPPs (Public Private Partnership). Model kemitraan ini wujud konsep tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) menurut pandangan neoliberal.  Porsi yang sebesar-besarnya harus diberikan pada pihak swasta pada aspek yang sesungguh justru merupakan fungsi, wewenang dan tanggung jawab negara.  Gagasan yang menginduk pada konsep reinveting government atau new public management, yang didesain untuk kepentingan politik neoliberal dan agenda globalisasi.

Menurut Kumar dan Prasad (2004) yang dikutip oleh  Tim Kajian PKP2A III LAN Samarinda, dalam tulisannya berjudul, “Kemitraan Antara Pemerintah Kota Dengan Swasta Dalam Pembangunan Daerah di Kalimatan”, konsesi merupakan varian PPPs yang porsi  pemindahan fungsi, wewenang serta tanggung jawab pemerintah pada sektor swasta paling besar setelah model BOT (Build Operates Own) secara lepas.

Pada tata kelola gambut, hak konsesi dan semisalnya hakekatnya adalah  pemberian hak-hak istimewa oleh pemerintah kepada entitas bisnis dalam pemanfaatan gambut yang sejatinya adalah milik publik.  Yang bagi entitas bisnis,  profit (keuntungan) merupakan orientasi utama,  menjaga dan melestarikan karakter alamiah gambut adalah urusan ke sekian.  Sehingga tidak heran mengapa terus terjadi bertahun-tahun pengrusakan secara massive karakter alamiah gambut di tangan pemilik konsesi dan hutan tanaman industri.  Gambut dikeringkan dengan membuat kanal-kanal,  agar bisa ditanami tanaman yang saat ini produknya menjadi komoditas andalan di pasar global, yaitu sawit dan akasia.

Disaat bersamaan dengan pemberian hak konsesi terjadi pemandulan peran dan wewenang pemerintah sebagai entitas publik yang bertanggung jawab penuh terhadap perlindungan dan pengelola harta publik dalam hal ini hutan dan lahan gambut. Tidak saja menghalangi individu lain memanfaatkan lahan yang berada dalam kawasan konsesi, namun juga mencegah negara melakukan intervensi apapun sekalipun demi kemashlahatan publik, kecuali bila hak konsesi dicabut.

Akibatnya, sungguh pahit, pemerintah tidak mampu mencegah pengrusakan hutan lahan gambut.  Bahkan dari tahun ke tahun pengrusakannya kian massive dan meluas.   Berbagai aksi pencegahan baik berupa perundang-undangan maupun program teknis tidak membawa kebaikan apapun.  Pada hal sudah berlangsung 18 tahun bahkan lebih, waktu yang tidak dapat dikatakan singkat untuk urusan puluhan juta jiwa kehidupan manusia. Tidak hanya itu, negara juga gagal melakukan aksi pemadaman.

Bila dicermati, sebagaimana rezim sebelumnya, juga tidak ada terobosan baru dalam aksi pencegahan oleh rezim Joko Wi-JK. Masih saja dalam bingkai neoliberal, yang membenarkan dan mengekalkan konsep konsesi.  Karenanya juga akan berujung kegagalan.  Seperti program pembentukan 100 blocking  kanal, yang merupakan program andalan rezim Joko Wi-Jk.  Berkaca pada program gambut sejuta hektar, tampa kekonsistenan dan disiplin pengawasan kanal sekat hanyalah bom waktu(Kompas, 17 Oktober 2015.  “Bom Waktu” Bernama Kanal Sekat”).  Terbukti kedisiplinan dan kekonsistenan yang tinggi sulit diharapkan ada pada entitas bisnis yang berorientasi profit.

Disamping itu, pada pogram penyelamatan ekonomi jilid II, berupa perampingan perizinan dan birokrasi justru semakin memudahkan swasta mendapatkan hak konsesi.  Tambahan lagi, pemerintah konsisten merujuk pada paradigma REDD (Reducing of Emission Deforestation and Degradation)  yang diaruskan rezim pasar bebas untuk melanggengkan tata kelola gambut neoliberal.  Ini terlihat antara lain dari hasil pertemuan Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak tentang rencana membuat standar baru produksi minyak sawit berkelanjutan (Kompas.com, 12 OKtober 2015, “Pertemuan Jokowi-PM Malaysia Hasilkan Kesepakatan Soal Minyak Sawit”).  Gagasan yang merupakan gagasan turunan dari REDD.

Aksi berupa sangsikan hukum tidak membuat para korporasi ini jera.  Alih-alih melakukan restorasi, setelah dipadamkan yang sepekan lalu di lahan gambut tersebut terjadi kebakaran hebat kembali sudah ditanami kelapa sawit.  Seperti di Nyaru Menteng Palangkaraya Kalimantan Tengah.  Sehubungan fenomena ini, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, “Sudah menjadi rahasia umum, dari dulu pembukaan lahan dilakukan dengan membakar. Biasanya setelah dibakar, perkebunan-perkebunan berskala besar mengerahkan alat berat untuk membersihkan dan merapikan tanah, lalu membuat sekat untuk kemudian ditanamani kelapa sawit. 

Pentingnya Pencegahan: Sangat Sulit Memadamkan Api Di Gambut

Para pakar gambut sudah menegaskan gambut yang dikeringkan sangat mudah terbakar dan menjalar cepat, serta sangat sulit dipadamkan. Karena api berada dibawah permukaan gambut, sehingga dibutuhkan sangat banyak air. Kepala Center for International Co-operation in Sustainable Management of Tropical Peatland Universitas Palangkaraya Suwido Linin menyatakan, “Memadamkan 4 hektar dengan 16 orang, hampir 1 juta liter air yang kami butuhkan”. Demikian tertera pada artikel berjudul “Basah Terjaga, Asap Pun Tiada”, Kompas 17 Oktober 2015.  Ada jutaan hektar gambut (1,6 juta hektar) yag dibakar dengan kedalam hingga lebih dari 10 meter. Disaat musim kemarau panjang adanya el nino pemadaman tentu semakin sulit.

Sementara itu pesawat amfibi tercanggih, Beriev BE-200 milik Rusia, yang saat ini disewa pemerintah, hanya mampu membawa 12 ribu liter air setiap kali terbang, dan mampu 7 kali terbang dalam sehari (cnnindonesia.com, 25 OKtober 2015.  Padamkan Api, Sewa Dua Pesawat Rusia Dibayarkan Sinar Mas). Dan hujan buatan, meski sudah jutaan ton garam yang disemaikan tetapi tidak banyak bermanfaat.  Harapannya, semoga Allah menurunkan hujan yang memadai dalam waktu dekat,aamiin… aamiin… aamiin… Ya Rabbal ‘aalamiin.

Artinya faktor pembeda bencana kabut asap tahun-tahun sebelumnya dengan tahun ini, sehingga api bisa padam dan kabut asap menepis hanyalah waktu datangnya musim hujan. Karena sebab hujan yang Allah swt turunkanlah ribuan titik api di lahan gambut bisa padam dan asap kabut musnah.  Ini mengingat sulitnya memadamkan kebakaran pada lahan gambut, ditambah luasnya wilayah yang terbakar, sementara institusi politik sistem politik demokrasi baik perbagian maupun secara keseluruhan justru menfasilitasi aksi pembakaran.

Tahun ini masyarakat harus melawan kabut asap lebih lama akibat el nino serta daya dukung lingkungan gambut yang semakin memburuk.  Yang sebenarnya merupakan efek kausatif pembakaran hutan dan lahan gambut tahun sebelumnya, karena tumpahan gas rumah kaca bertonton ke udara.  “Secara keseluruhan, dampak dari kebakaran gambut terhadap pemanasan global mungkin lebih dari 200 kali lebih besar dari kebakaran di lahan lainnya,” demikian tulis  empat peneliti World Resources Institute baru-baru ini, sebagaimana dimuat pada The Washington Post, 20 Oktober 2015,dalam artikel berjudul,”Indonesia fires are pouring huge amounts of carbon into the atmosphere”.  Masih dari sumber yang sama,juga diberitakan bahwa kebakaran hutan di Indonesia tahun ini mencemari atmosfir dengan emisi sekitar 1,35 gigaton setara karbon dioksida.

Dengan demikian pentingnya pencegahan kebakaran gambut tidak saja karena sangat sulit, namun juga karena mengancam kelestarian dan kesejahateraan kehidupan di bumi ini.

Pada akhirnya, dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa induk kejahatan dan kesalahan serta kelalaian pada bencana kabut asap ini adalah pada konsep konsesi itu sendiri  serta adanya kewenangan yang dimiliki negara dalam memberikan hak konsesi.  Konsep batil yang mendapatkan ruang implementasinya dalam sistem politik kufur demokrasi.  Jadi bukan pada aspek mudah tidaknya pra syarat administrasi yang harus dipenuhi calon pemilik hak konsesi.  Adapun kejahatan pengrusakan karakter alamiah dan pembakaran gambut hanyalah kesalahan turunan, yang hanya akan terjadi setelah negara membuka pintu kesalahannya.

Sehingga solusi satu-satunya bagi pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan ini adalah mencampakan model batil tatakelola gambut neoliberal dan melakuan terobosan baru dengan menerapkan tata kelola gambut yang selaras dengan karakter alamiah gambut.  Yaitu tata kelola gambut khilafah, yang berdiri diatas prinsip-prinsip sohih yang berasal dari Allah swt, Zat Pencipta gambut.

Prinsip Shahih Tata Kelola Gambut Agar Selaras Karakter Alamiahnya

Sungguh Allah swt telah menciptakan kadar, karakter alamiah pada setiap makhluk ciptaan-Nya, demikian pula dengan hutan dan lahan gambut.  Allah swt menegaskannya dalam QS Al A’la ayat 3, yang artinya,”Dan yang menentukan kadar (masing-masing ciptaan-Nya) dan memberi petunjuk)”.  Allah swt juga telah mencanangkan bahwa tetumbuhan dan pepohonan sebagaimana halnya makhluk Allah swt yang lain, tunduk pada karakter alamiah yang telah Allah ciptakan secara setimbang.  Allah swt juga menegaskan agar kesetimbangan itu jangan dirusak.  Firman Allah swt dalam QS Ar Rahman (55), ayat 6-8,  yang artinya, ”dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya)(6); Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, (7); agar kamu jangan merusak keseimbangan itu(8)”.

Bersamaan dengan itu Allah swt Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana telah menurunkan syari’at Islam, sistem kehidupan Islam agar terjaga dan lestari karakter alamiah dan m kesetimbangan ala ini.  Sehingga kesejahteraan benar-benar dirasakan seluruh penghuni langit dan bumi.  Allah swt menegaskan dalam QS Al Anbiya (21):107, artinya,”Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.

Fakta ilmiah menunjukkan, gambut memiliki kubah-kubah yang membuat gambut tetap basah. Menurut para pakar gambut dalam memanfaatkan hutan dan lahan gambut kubah gambut harus dijaga agar gambut tetap basah, sehingga fungsi ekologi dan hidrologinya lestari.  Artinya,pemanfaatan gambut harus sesuai karakter alamiahnya.  Jika tidak, maka gambut akan kering dan menjadi sumber petaka, seperti yang saat ini terjadi.

Pada tataran inilah solusi satu-satunya bagi nestapa berkelanjutan kabut asap hanyalah dengan mengelola gambut sesuai prinsip dan syari’at  Allah swt, Zat pencipta hutan gambut.  Pengelolaan yang lestari dalam makna sesungguhnya, bukan eksploitatif. Prinsip-prinsip  terpenting diantaranya adalah: Pertama, sungguh negeri ini dianugerahi Allah swt hutan gambut tropis terluas di dunia, yaitu sekitar  21 juta hektar atau 1,6 kali luas  pulau Jawa,yang tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Papua.  Peranan ekologis dan hidrologis  gambut menjadikan hutan dan lahan gambut sangat penting artinya sebagai penjaga kesembangan iklim dan paru-paru dunia.  Peran ini jelas dibutuhkan oleh semua orang, bahkan dunia. Karena itulah pada hutan gambut, sebagaimana hutan pada umumnya melekat karakter harta milik umum. Ditegaskan Rasulullah saw yang artinya,”Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad).

Status gambut sebagai harta milik umum,menjadikan hutan dan lahan gambut tidak dibenarkan dimiliki oleh individu.  Akan tetapi tiap individu publik memiliki hak yang sama dalam pemanfaatan hutan dan lahan gambut, dengan syarat tidak merusak karakter alamiah gambut dan tidak menghalangi siapapun dalam pemanfaatannya. Karena jika tidak akan menimpakan bencana pada diri sendiri maupun orang banyak, yang hal ini diharamkan Islam.  Rasulullah saw bersabda, artinya,”Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).  Diantara karakter pemanfaatan gambut adalah tetap basah, tidak boleh merusak kubah gambut, ada lahan gambut yang diperuntukkan sebagai kawasan konservasi, ada diperuntukkan untuk tanaman semusim.

Kedua, negara wajib hadir secara benar.  Negara tidak berwenang memberikan hak konsesi, karena konsep ini tidak dikenal dalam Islam. Negara wajib hadir sebagai pihak yang diamanahi Allah swt bertanggungjawab terhadap pengelolaan harta milik umum, dalam hal ini hutan dan lahan gambut.  Hal ini terkait pemanfaatan hutan dan lahan gambut serta pemulihan fungsinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit,teknologi, studi, keahlian dan berbagai aspek lain yang sulit jika disandarkan pada individu. Rasulullah saw menegaskan, artinya,”Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR Muslim).

Artinya negara tidak dibenarkan hanya hadir sebagai regulator,pemberi perizinan.  Sementara operator dan pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta, apa lagi swasta asing. Akan tetapi negara wajib hadir dalam wujud bertanggungjawab  langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan gambut.  Mulai dari terjaminya hak-hak setiap individu dalam pemanfaatan gambut, lestarinya fungsi ekologis hidrologis gambut, tidak jatuh ketangan asing, hingga pemulihan fungsi gambut yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila gambut terbakar.

Ketiga, negara tidak memiliki wewenang sama sekali memberikan hak-hak istimewa kepada individu tertentu dalam pemanfatan hutan dan lahan gambut. Rasulullah saw bersabda, artinya, Karena pemanfaatan secara istimewa (himmah)hanyalah ada pada tangan negara, dengan tujuan untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin.  Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Tidak ada hima (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasulnya” (HR Abu Daud).

Keempat, kekuasaan sentralisasi, administrasi bersifat desentrasilisasi.  Karena terbukti model desentralisasi kekuasaan faktor penyulit berikutnya dalam mencegah dan  mengatasi pembakaran hutan dan lahan gambut.  Terlebih lagi  Allah swt telah mengharamkan desentralisasi kekuasaan, sebagaimana  dituturkan Rasulullah saw melalui lisannya yang mulia, yang artinya,”Siapa saja yang membai’at imam, hendaklah ia memberikan genggaman tangannya, dan buah hatinya, dan mentaa’ti sekemampuannya.  Apa bila datang yang lain untuk mencabutnya maka penggallah yang terakhir” (HR Muslim).

Kelima, bebas dari agenda penjajahan apapun bentuknya, karena Islam telah mengharamkannya.  Allah swt berfirman dalam QS Al Maaidah (4): 141, artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.”

Prinsip-prinsip shahih ini adalah aspek yang terintegrasi dengan sistem kehidupan Islam secara keseluruhan,yang hanya compatible (serasi) dengan sistem kehidupan Islam, sistem politik Islam, khilafah Islam.  Dan Karena persoalan menjaga kelestarian hutan dan lahan gambut menjadi hajat kehidupan seluruh penjuru dunia, maka sesungguhnya hadirnya kembali khilafah Islam adalah kebutuhan dunia. Sistem politik yang didesain Allah swt sesuai dengan fitrah, karakter alamiah makhluk cipataan-Nya.  Allah swt telah menegaskan, yang artinya Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan (TQS Al Anfal (8): 24). Allahu a’lam.  []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*