Program bela negara yang dicanangkan Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI segera menuai kontroversi di tengah masyarakat. Program bela negara ini berencana membentuk 100 juta kader dalam 10 tahun. Tujuannya untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme. Beberapa pihak mempertanyakan, bagaimana konsep komprehensif dari program ini, termasuk apa landasan hukumnya. Ada pula yang mengkhawatirkan, program bela negara yang sarat dengan doktrin militer akan melahirkan kembali negara yang sarat dengan militerisme. Menhan Ryamizard Ryacudu menyatakan bela negara bukanlah wajib militer dan bukan pula dengan angkat senjata.
Program bela negara banyak dilakukan di berbagai negara yang bertujuan untuk mempertahankan eksistensi negara. Bentuk yang paling umum dari bela negara adalah wajib militer. Penjajah Yahudi di Palestina memperlakukan wajib militer bagi seluruh warganya yang memenuhi syarat. Singapura dan Iran juga memperlakukan hal yang sama. Ada pula dalam bentuk pelatihan militer yang dilakukan dalam waktu tertentu seperti di Amerika Serikat, Jerman dan Inggris.
Upaya mempertahankan eksistensi negara lumrah dilakukan oleh negara manapun. Namun, dengan cara apa mempertahankan dan membela negara menjadi pertanyaan penting. Eksistensi negara tentu tidak hanya didasarkan pada keberadaan militer, namun terkait dengan kekuatan ideologi dan sistem politik, ekonomi, budaya, pendidikan, yang dibangun dari ideologi tersebut.
Inilah yang justru menjadi persoalan kita. Bagaimana mungkin rakyat dituntut untuk membela negara, menjaga eksistensi negara, sementara negara sendiri berdasarkan ideologi kapitalisme yang justru menghancurkan bangsa dan negara. Ideologi kapitalisme yang diadopsi di Indonesia justru menjadi pangkal malapetaka yang menghancurkan esksistensi negara.
Dari ideologi ini lahirlah berbagai undang-undang dan kebijakan liberal yang menyengsarakan rakyat, merampok kekayaan alam, dan mengancam keutuhan negara. Ironisnya, semua ini dilegalkan dengan UU. Lahirlah kebijakan privatisasi BUMN, perdagangan bebas, pengurangan subsidi, pembangunan yang berbasis utang luar negeri, mata uang yang dikaitkan dengan rezim dolar, dll. Semua ini merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.
Tidak aneh jika banyak pihak berkomentar, di satu sisi Pemerintah bicara bela negara, di sisi lain perusaahan asing Freeport dibiarkan bahkan dilegalkan merampok kekayaan alam Indonesia secara rakus dan licik. Berbagai kritik terhadap kebijakan Pemerintah terhadap Freeport sudah bermunculan, termasuk dari Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli yang menyebut Menteri ESDM Sudirman Said keblinger terkait perpanjangan kontrak dengan PT Freeport Indonesia.
Menurut dia, waktu negoisasi perpanjangan kontrak seharusnya di lakukan 2 tahun sebelum masa kontrak berakhir, sementara perjanjian dengan Freeport berakhir tahun 2021. Karena itu Rizal Ramli mempertanyakan mengapa Menteri ESDM terkesan ngotot memperpanjang kontrak Freeport? Cara licik juga dilakukan Perusahaan Amerika ini dengan coba menyuap pejabat Indonesia. Rizal Ramli mengaku saat menjabat Menko Perekonomian di Era Gusdur, coba disuap Chief Executive Officer PT Freeport-McMoran James Moffett sebesar 3 Milyar US Dollar. Sebelumnya anggota DPR Fraksi PAN Tjatur pernah mengungkap kasus percobaan penyuapan Freeport kepada anggota DPR pada tahun 2008.
Keseriusan bela negara ini patut dipertanyakan selama Indonesia masih mengadopsi sistem Kapitalisme global. Sebagaimana yang kerap disuarakan Hizbut Tahrir Indonesia, sumber malapetaka Indonesia justru adalah neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Inilah yang menghancurkan Indonesia. Neoliberalisme dan neoimperialisme berdampak sangat buruk bagi rakyat. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral dan korupsi yang makin menjadi-jadi serta meningkatnya angka kriminalitas yang dipicu oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Hizbut Tahrir Indonesia juga berulang menyampaikan, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan Indonesia ini, kecuali dengan menerapkan syariah Islam secara totalitas di bawah naungan Khilafah Islam. Hanya dengan syariah Islam eksistensi negeri ini bisa dipertahankan, kesejahteraan rakyat terjamin, keamanan bisa diwujudkan dan disintegrasi bisa dihalangi.
Adapun mempertahankan negeri ini dari serangan fisik dari musuh-musuh yang ingin menjajah negeri bukan hanya dianjurkan, namun sebuah kewajiban. Islam memerintahkan kewajiban jihad fi sabilillah, kewajiban berperang, ketika negeri Islam diserang. Jihad adalah kewajiban seluruh kaum Muslim, tanpa melihat apakah mereka itu sipil ataupun militer (Lihat: QS at-Taubah [9]: 41).
Pada masa Rasulullah saw. mobilisasi umum dilakukan manakala peperangan memanggil kaum Muslim. Saat itu para Sahabat Rasulullah saw. turut melibatkan diri dalam pelatihan dan peperangan tersebut. Setelah pertempuran usai, mereka pun kembali beraktivitas sebagaimana masyarakat biasa; ada yang menjadi petani, pedagang, dan lain-lain. Begitulah yang terjadi pada masa-masa awal pembentukan Negara Islam di Madinah. Bahkan dalam Perang Khandaq (Perang Ahzab), keterlibatan seluruh warga negara sangat jelas, baik laki-laki maupun wanita.
Meskipun jihad adalah perkara yang tidak bisa lepaskan dari negara, bukan berarti pemerintahan Islam adalah pemerintahan militer. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menulis bahaya dari pemerintahan militer ini, “Kekuasaan tidak boleh berubah menjadi militer. Jika kekuasaan telah berubah menjadi militer, pelayanan urusan-urusan rakyat akan menjadi rusak. Sebab, dalam kondisi demikian, konsep-konsep dan standar-standar kekuasaan telah berubah menjadi konsep-konsep dan standar-standar otoritarianisme dan kediktatoran; bukan konsep dan standar pelayanan urusan rakyat. Begitu pula pemerintahannya; telah berubah menjadi pemerintahan militer yang hanya akan menyiratkan ketakutan, kediktatoran, otoritarianisme dan pertumpahan darah.” (An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam).
Karena itu patut dipertanyakan mereka yang berbusa-busa bicara tentang bela negara, namun kukuh mempertahankan negara sekular yang kapitalis ini. Berbusa-busa bicara cinta terhadap negeri ini, namun justru menjual negeri ini kepada asing. Walhasil, siapapun yang sungguh-sungguh memperjuangkan syariah Islam dan Khilafah, merekalah yang sejatinya pembela rakyat, pembela negeri ini, dan mencintai negeri ini karena Allah SWT. AlLâh Akbar! [Farid Wadjdi]