Konflik di Suriah telah memasuki tahun kelima. Lebih dari 250 ribu orang tewas, termasuk setidaknya 10 ribu anak-anak. Hingga kini Konflik Suriah kian memanas. Situasi paling mutakhir dan paling menonjol disoroti media adalah serangan Rusia terhadap kelompok oposisi. Kementerian Pertahanan Rusia mengkonfirmasi, bahwa lebih dari 50 pesawat jet tempur dan helikopter militer dikerahkan ke Suriah, sejak Rabu 30/9, (Eramuslim, 2/10).
Memang tindakan Rusia kontan mendapat penolakan, baik dari AS, Eropa, dan negara-negara Timur Tengah terutama Turki dan KSA. Namun, ibarat grup musik, masing-masing memainkan perannya sendiri-sendiri untuk menghasilkan paduan suara yang diinginkan, sesuai arahan sang maestro. Di bawah kendali AS, mereka sedang bersekongkol mengaborsi Revolusi Suriah.
Untuk mengungkap persekongkolan tersebut, perlu dipetakan sikap masing-masing negara yang saat ini terlibat dalam Konflik Suriah, termasuk kerjasama di antara mereka baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kerjasama AS-Rusia
Dalam ketegangan yang terjadi belakang ini, peranan Rusia tampak lebih mendominasi, bahkan sebelum serangan udara yang Rusia lancarkan. Pada kamis 18/06/2015, Vladimir Putin bertemu dengan Amir Muhammad Bin Salman, Waliy Waliyul ‘Ahdi KSA, (Sky News ‘Arabiyah, 18/06). Dalam pertemuan tersebut Rusia mempraksai pembentukan koalisi Turki-Saudi-Suriah-Yordan dalam menghadapi ancaman organisasi teroris.
Setelah pertemuan itu, terjadilah pertemuan Amir Muhammad Bin Salman dengan Ali Mamluk (Kepala Biro Keamanan Nasional Suriah). Pertemuan ini berlangsung melalui perantara Rusia. Bahkan Ali Mamluk terbang ke Riyad menggunakan pesawat Rusia, (Al-Akhbar, 31/07).
Pertemuan ini kemudian diikuti dengan pertemuan tiga menteri luar negeri: John Kerry (AS), Sergey Lavrov (Rusia) dan ‘Adil Jubair (KSA) di Doha. Dalam konferensi persnya, Kerry menyatakan, bahwa ketiganya sepakat akan pentingnya solusi politik dan peranan kelompok oposisi hingga tercapainya solusi itu (Asy-Syarq al-Awsat, 1/8; al-jazera.net, 5/8).
Beberapa hari setelah itu, berlangsung pula pertemuan antara menteri luar negeri Lavrov dan Kerry di Kuala Lumpur. Bersamaan dengan itu, pemerintah Iran memberikan pernyataannya, tentang usulan Iran atas Konflik Suriah, berisi empat hal pokok, yaitu: gencatan senjata, pembentukan pemerintahan baru, amandemen undang-undang Suriah dengan mengedepankan hak-hak minoritas dan pelaksanaan Pemilu. Hal tersebut disampaikan Husain Amir Abdul Lahyan Wakil Menteri Luar Negeri Iran usai melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Suriah Walid Mualem dan wakil Mentri Luar Negeri Rusia Mikhail Bogdanov (BBC Arabiy, 5/8; RT Arabic-Moskow, 5/8 ).
Kedua menteri luar negeri, Kerry dan Lavrov, juga menjalin komunikasi yang intens melalui sambungan telepon. Hal tersebut untuk membahas kemungkinan dialog antara Damaskus dan kelompok perlawanan di bawah mediasi PBB tersebut (RT Arabic-Moskow, 13/8).
Peran PBB sendiri tergambar dalam proposal Steffan De Mistura (utusan PBB untuk Konflik Suriah), yang berisi pembentukan empat panitia. Pertama: Mengkaji pembukaan blokade dan jaminan sampainya bantuan makanan dan kesehatan bagi korban. Kedua: Menyiapkan piagam nasional sekaligus kewenangan lembaga pemerintahan. Ketiga: Mengkaji persoalan militer dan keamanan, termasuk penyusunan kembali struktur militer Suriah setelah dilakukan gencatan senjata. Keempat: Proyek pembangunan kembali Suriah. De Mistura yakin, bila keempat hal di atas berjalan secara bersamaan, akan menghasilkan penyelesaian secara komprehensif, (As-Safîr, 15/08).
Alhasil, sebelum Rusia melakukan penyerangan, terdapat aktivitas politik yang ditengahi Rusia, menyangkut usulan berbagai pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik di Suriah. Setidaknya ada empat usulan, yaitu: usulan Rusia sendiri, KSA, Iran dan PBB melalui De Mistura. Memang, terdapat perbedaan dari sisi keterlibatan Bashar Assad dalam penyelesaian krisis. Akan tetapi, semua sepakat atas penyelesaian melalui jalan politik di meja perundingan.
Dalam konteks inilah penyerangan Rusia terhadap kelompok oposisi menjadi penting. Hal itu tiada lain untuk menekan mereka agar bersedia duduk di meja perundingan. Alasan memerangi ISIS, hanyalah kedok belaka. Faktanya, yang di serang bukanlah wilayah yang dikuasai ISIS melainkan kelompok perlawanan yang sedang menghadapi Rezim Assad. Rick Francona, seorang perwira intelijen, pensiunan Angkatan Udara AS yang bertugas di Timteng, menyatakan ke CNN: “Tampaknya sasaran mereka (Rusia) adalah orang-orang yang melewan rezim Assad, tetapi tempat-tempat yang mereka serang bukanlah tempat yang menjadi basis ISIS.” (Arabic CNN, 1/10).
Rusia sendiri punya kepentingan di Suriah, yaitu menjaga pangkalan militernya di Tartus-Suriah, sebagai satu-satunya pangkalan militer Rusia di Laut Tengah. Oleh sebab itu, Rusia pasti mengerahkan seluruh kekuatannya agar pangkalan tersebut tidak jatuh ke tangan kelompok perlawanan saat Assad tumbang.
Selain itu, Rusia juga punya kepentingan di Ukraina. Betapa tidak, Ukraina ibarat halaman rumah Rusia. Rusia takkan begitu saja membiarkan Ukraina jatuh ke tangan NATO dengan naiknya agen-agen Barat dalam pemerintahan. Karena itu Rusia segera mencaplok Crimea supaya tidak menjadi duri dalam daging. Walaupun karena tindakanya itu, Rusia akhirnya mendapatkan sanksi ekonomi yang sangat berat, dikeluarkan dari G-8, hingga membuat Rusia berada di posisi negara-negara berkembang.
Di sinilah Rusia berkepentingan untuk meyakinkan AS dan Eropa, yakni agar sanksi atas Rusia akibat pencaplokan Crimea dan dukungannya terhadap milisi Ukrania yang pro Rusia dicabut dan tidak diperpanjang. Hal itu sangat bergantung pada komitmen Rusia dalam memenuhi butir-butir Perjanjian Minsk (Minsk Agreement) dan tentunya peranan Rusia di Suriah.
Beberapa hari sebelum pertemuan Vladimir Putin dan Obama, Sekretaris Jendral NATO Jens Stoltenberg mengingatkan, “Barat tidak akan meringankan sanksi yang diberlakukan atas Rusia, kecuali bila Rusia memenuhi Minsk Agreement Februari lalu.”
Dia pun menambahkan, “Rusia juga harus menjelaskan rencananya di Suriah secara menyeluruh serta bekerjasama dengan Pakta yang dipimpin AS dalam memerangi ISIS.” (i24news, 24/9).
Pertanyaannya, apakah Rusia akan mendapatkan semua itu? Tergantung sang maestro. Hingga kini tampaknya Rusia sedang terus meyakinkan AS soal imbalan itu, dengan melakukan apa yang AS tidak bisa lakukan sendiri di Suriah, yaitu melakukan tekanan dan serangan militer terhadap perlawanan Suriah, sebagaimana yang AS lakukan sendiri di Irak dan Afganistan.
AS sesungguhnya tak peduli betapapun kejinya serangan yang dilakukan Rusia. Tak ada masalah bagi AS. Toh bukan dia sendiri yang melakukan itu. Justru secara sengaja AS bisa melekatkan tindakan keji itu pada Rusia.
Dengan kata lain, AS bukan hanya memberi lampu hijau, tetapi juga mendorong Rusia untuk melakukan serangan biadab itu. Adapun penolakannya di media massa tak lebih sekedar lipstik dan penyesatan politik (tadhlil siyasiy).
Pejabat militer Rusia, Andrey Kartapolov, menyatakan, “Daerah yang menjadi target serangan udara Rusia sebelumnya telah dinyatakan pimipinan militer AS sebagai wilayah yang diduduki para teroris belaka.” Dia menambahkan, “Melalui kontak bersama, AS memberi tahu kami bahwa di sana tak ada seorang pun kecuali para teroris.” Bahkan dia menegaskan, “Kontak tersebut terjadi sesaat sebelum serangan diluncurkan.” (Arabic CNN, 4/10).
Bila begitu, jelas ada kesepakatan militer antara AS dan Rusia, menyangkut serangan Rusia ke Suriah sekarang ini. Bahkan terjadi komunikasi intens di antara kedua negara tersebut.
Sikap dan Peran Iran
Pasca kesepakatan nuklir Iran dan kelompok P5+1, dipastikan peranan Iran di kawasan Timur Tengah akan semakin besar. Meski demikian, tentu peran Iran tidak akan keluar dari jalur yang dikehendaki AS. Sebab, dengan pembatasan nuklirnya, Iran jelas takkan bisa mengambil keputusan politik sendiri.
Iran sejak awal mempertahankan keberadaan Rezim Assad. Namun, karena hal itu tak mungkin lagi dilakukan AS, maka tak ada pilihan bagi Iran kecuali mengikuti jalan yang telah ditetapkan sang maestro.
Sebagai contoh, peran Iran tampak jelas dalam gencatan senjata di az-Zabadaniy (ibukota Provinsi Rif Dimasyq), Fu’ah dan Kafarya, pasca kesepakatan antara Jaisy al-Fath dan delegasi Iran sebagai cerminan pemerintah Assad, di bawah pengawasan PBB. Kesepakatan itu berisi dua tahap. Pertama: Mengeluarkan para mujahidin bersama keluarganya dari az-Zabadaniy setelah penghancuran senjata mereka. Kedua: Mengeluarkan mujahidin dari seluruh Wadi Barda, termasuk yang berada di Bukain dan Madhaya. Dengan kata lain, perjanjian ini adalah penyerahan wilayah yang menjadi urat nadi Rezim Assad yang berada di Damaskus. Perjanjian dijalankan selama enam bulan. Ini berarti Rezim Assad kembali bisa bernafas lega.
Demikianlah, blokade keji yang dilakukan Rezim Asad atas wilayah Ghota dan Wadi Barda selama Revolusi terjadi, dibayar dengan keluarnya mujahidin dari wilayah tersebut pada saat kekuasaan Rezim Assad hampir tumbang.
Peran Iran tersebut tiada lain merupakan pelaksanaan skenario De Mistura secara bertahap, yakni dengan memusatkan para mujahidin di wilayah tertentu hingga membuat mereka semakin tersudut dan bersedia berunding lebih jauh. Dalam jangka panjang, ini merupakan cara untuk memecah Suriah berdasarkan etnis dan kelompok, sesuai dengan apa yang disebut proyek batas darah (masyrû’ hudûd ad-dam); wilayah selatan Suriah meliputi Damaskus, a-Zabadaniy dan wliayah pantai yang berbatasan dengan Libanon dipecah menjadi negara sektarian berbasis Syiah dan Nusairiyyah.
Dimana Penguasa Arab?
Penguasa Arab setuju dengan langkah Barat dalam menyelesaikan Konflik Suriah, yakni melalui jalan politik. Tak ada hal baru dalam beberapa pertemuan yang melibatkan para petinggi Saudi, Rusia dan AS, selain mempercepat proses terbentuknya pengganti pasca Assad yang loyal terhadap Barat.
Yang jelas, hubungan kedua negara tampak semakin kuat pasca kunjungan Raja Salman ke AS. Raja Salman menyatakan kepada Obama, “Sekali lagi saya sampaikan, saya bahagia dapat bersama sahabat di negara sahabat. Kami berharap adanya hubungan terus-menerus untuk mewujudkan perdamaian dunia dan kawasan kami”, (Al-Akhbar24, 4/9).
Di lapangan, pengaruh KSA tampak dalam Perjanjian a-Zabadaniy. Sebagaimana diketahui, Jaisy al-Fath adalah salah satu faksi yang mendapat dukungan KSA.
Mujahidin az-Zabadniy berulang meminta bantuan Jaisy al-Fath di Idlib, juga Jaisy al-Islam di Ghota. Andai seruan ini segera dipenuhi maka blokade yang dibuat rezim pasti segera bisa dibuka tanpa melalui perjajian yang sangat menguntungkan Assad itu. Setelah kesempatan itu hilang barulah mereka datang dengan syiar “AlLâh Ghalib” (Allah Pasti Menang) untuk menutupi aib mereka. Sudah dinyatakan di atas, Kesepakatan az-Zabdaniy adalah langkah strategis untuk menjalankan rancangan De Mistura secara bertahap.
Hal yang sama juga dilakukan Turki. Perannya tidak kalah membahayakan bagi tujan Revolusi Suriah. Turki mengklaim mendukung kelompok perlawanan, namun nyatanya itu dilakukan untuk mengontrol arah perjuangan mereka, hingga akhirnya berubah menjadi kelompok moderat. Mereka sengaja dikumpulkan dalam camp-camp khusus, bahkan diberi tempat untuk membuka kantornya di Turki. Beberapa kelompok perlawanan itu kemudian disatukan dalam sebuah koalisi di bawah pengawasan Robert Ford (delegasi AS).
Seperti diberitakan al-Jazera, Turki berusaha menghimpun kelompok perlawanan sebanyak-banyaknya seperti Ahrar asy-Syam, Al-Jaisy al-Hurr, Fashail Islamiyah, Fashail Turkmaniyah, bahkan Jabhah Nushrah. Bila Turki berpikir tentang bagaimana menggulingkan Rezim Assad dan bagaimana mencegah berdirinya institusi Kurdi, maka tujuan AS adalah mencari kekuatan setelah runtuhnya Rezim Assad (Al-Jazeera.net, 21/8).
Selain menjadi tempat memproduksi agen-agen Barat pasca Assad, peran Turki juga menjadi semakin jelas dengan bergabungnya Turki dalam Pakta Obama dalam memerangi teroris. Peran yang paling menonjol saat ini adalah pembukaan Incirlik Air Base milik Turki bagi peswat-pesawat Barat penjajah, pasca ledakan di Suruj.
Sementara itu, Turki malah menutup pintu masuk dari Suriah melalui pintu as-Salamah dan al-Hawa, bahkan membangun diding beton yang membuat anak-anak, wanita, dan orang-orang tua terlantar di perbatasan.
Yang paling mutakhir adalah diamnya Turki atas serangan udara Rusia terhadap Suriah, dengan menggunakan wilyah udara Turki. Seperti dilansir Kantor Berita al-Hayat, pesawat Mig-29 menganggu delapan pesawat Turki saat melakukan pengintaian di perbatasan Turki-Suriah. Pesawat-pesawat tempur Rusia juga melanggar wiliyah udara Turki selama hari ahad dan Sabtu kemarin (Al-Hayat, 7/10).
Perubahan Sikap Eropa
Tampak telah terjadi perubahan sikap negara-negara Eropa atas Konflik Suriah. Semula mereka menolak keberadaan rezim Assad dalam penyelesain krisis, namun akhirnya terpaksa juga ikut skenario AS.
Jose Manuel Garcia Margallo, Menteri Luar Negeri Spanyol, menyatakan, “Telah tiba saatnya untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Bashar Assad, untuk mencegah eksploitasi ISIS atas peperangan di sana, yang membuat mereka bisa semakin memperluas wilayah kekuasaannya.” (Arabi21, 8/9).
Sbastian Kurz, Menteri Luar Negeri Austria, juga mengatakan hal yang sama, “Negara-negara seharusnya ikut andil bersama Basyar Assad dalam memerangi teroris ISIS.” (Al-Bawwabh news, 8/9).
Lebih jauh dari itu, Inggris mengusulkan, Assad harus memimpin pemerintah transisi selama enam bulan, lalu melepaskan kekuasaannya setelah itu (Makkahnews, 12/9).
Prancis juga sama, “Assad wajib meninggalkan pemerintahannya di salah satu tahap (penyelesaian krisis), bukan saat ini.” (Arrayahnet, 23/9).
Perubahan sikap negara-negara Eropa tentu bisa dimengerti. Sebelumnya mereka berharap Rezim Assad tumbang. Meski hal itu bukan untuk mendukung perjuangan warga Suriah, melainkan agar dominasi AS atas Suriah lepas dan kembali ke tangan Eropa.
Namun, persoalannya tak semudah itu, mengingat AS bisa secara masif menggunakan posisi Rusia dan Iran, Turki dan KSA, serta negara-negara Arab lainnya, untuk menjalankan skenarionya. Pembukaan Turki atas Incirlik Air Base yang diikuti dengan serangan Rusia atas Suriah benar-benar mampu menyeret Eropa agar mengikuti skenariao AS. Bila tidak, maka mereka akan ditinggal dan akhirnya gigit jari.
Di sisi lain, tentu Eropa juga sadar, Revolusi Suriah adalah ancaman bagi Barat. Oleh sebab itu, saat mereka tidak berhasil memanfaatkan Krisis Suriah untuk melepaskan dominasi AS di sana, maka Eropa tak akan membiarkan Revolusi Suriah menjadi cikal bakal berdirinya Khilafah yang sesungguhnya. Oleh karena itu, mendukung solusi AS untuk menggagalkan perjuangan umat Islam adalah perkara mutlak.
Francois Hollande, Presiden Prancis, mengatakan, “Suriah dibagi menjadi dua bagian. Sebagian dikendalikan oleh rezim Assad. Sebagian besar lain dikuasai oleh kekacauan dan oposisi, yang tujuan akhirnya adalah Khilafah, dan ini akan menjadi kasus terburuk. Untuk itu, kami tidak akan pernah menerima kejadian tersebut dan hal-hal yang mengarah ke sana.”
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, tampak strategi umum AS dalam menggagalkan Revolusi Suriah. Pertama: Mempertahankan Suriah sebagai negara sekular (mempertahankan militer Suriah dan pilar-pilarnya). Kedua: Menggalang semua kekuatan untuk mencegah kemenangan Revolusi Islam di Suriah atas nama perang melawan terorisme atau ISIS. Ketiga: Penyelesaian melalui jalur politik dengan melibatkan Assad meski Suriah masa depan tanpa Assad. Keempat: Kerjasama lebih intens dengan semua elemen rezim, anggota oposisi dan mereka yang menolak terorisme.
Secara praktis strategi tersebut dijalankan melalui sejumlah langkah. Pertama: Menekan kelompok oposisi agar mau berunding, baik dengan tekanan militer seperti tampak dalam serangan Rusia, tekanan psikologis seperti blokade dan penelantaran warga sipil, juga money politic melalui kelompok moderat. Kedua: Melakukan gencatan senjata dan perjanjian secara bertahap, seperti yang terjadi di az-Zabadaniy, Fu’ah dan Karfaya. Ketiga: Membangun pemerintah transisi yang melibatkan semua elemen Pro Barat. Keempat: Pemilu yang dikontrol oleh Barat.
Namun apakah semua rencana ini akan berhasil? Semua kembali kepada para pejuang kaum Muslim di Suriah. Rencana Barat baik melalui Konferensi Jenewa 1, Jenewa 2, Moskow 1, Moskow 2 dan cara-cara keji lainnya terbukti gagal mematahkan perjuangan mereka. Bila para pejuang di sana tetap menjaga pilar-pilar perjuangannya—fokus meruntuhkan sistem yang saat ini berkuasa di Suriah, beserta seluruh pilar dan simbol-simbolnya, menolak intervensi asing (negara-negara kafir) beserta seluruh agen-agennya dan menjadikan penegakan Daulah Khilâfah ‘alâ Minhaj an-Nubuwwah sebagai visi perjuangnya—niscaya apapun makar para penjajah, dengan izin dan pertolangan Allah SWT, bisa digagalkan.
WalLâhu a’lam. [Abu Muhtadi].