Rusia Khawatir Suriah Menjadi ‘Afghanistan Baru’

Rusia meningkatkan pemboman di Suriah, sementara perang Afghanistan tahun 1980 menewaskan 15.000 tentara Soviet

pasukan soviet pada tahun 1988

30 tahun lalu, Alexander Sokolov berada di sebuah pangkalan militer Soviet di luar Kabul, ibukota Afghanistan, di mana ia menjabat sebagai perwira komunikasi.

Kala itu Sokolov menganggap bahwa Uni Soviet akan meninggalkan Afghanistan dengan tidak terkalahkan setelah dilakukan invasi tahun 1979-1989, saat pemerintah pro-Moskow hanya bertahan selama tiga tahun sebelum negara jatuh ke dalam perang saudara yang menghancurkan.

Keruntuhan Soviet tahun 1991 tampaknya mengakhiri ambisi negara adidaya Moskow di dunia Muslim. Invasi Afghanistan merenggut nyawa sedikitnya 15.000 tentara di Soviet, yang sebagian besar adalah remaja yang ikut wajib militer pada usia awal 20-an tahun, dan menyebabkan puluhan ribu orang terluka dan mengalami trauma psikologis.

Sokolov mengatakan bahwa orang-orang yang mengalami sakit atau cacat karena perang itu, negara tidak memperhatikan mereka sama sekali. “Tentu saja, itu adalah rasa sakit yang luar biasa,” katanya.

“Paint” adalah nama sebuah LSM yang dikepalai oleh Sokolov yang membantu para veteran perang mengatasi rintangan birokrasi untuk mendapatkan perawatan medis, – atau mendapatkan pemakaman gratis di salah satu pemakaman Moskow.

Lebih dari seperempat abad setelah penarikan pasukan Soviet itu, hampir empat-perlima orang Rusia menunggu munculnya Afghanistan lain – kali ini di Suriah.

Hanya beberapa hari setelah Rusia mengerahkan jet-jet tempur untuk membom musuh Presiden Bashar al-Assad, 78 persen orang Rusia mengatakan kampanye militer Moskow yang baru akan berubah menjadi “Afghanistan kedua”, menurut sebuah survei yang dilakukan oleh pengumpul jajak pendapat independen Levada yang dirilis pada awal Oktober.

Bagi sebagian orang hal itu menjadi pengingat yang menyakitkan secara pribadi. Seorang pensiunan Moskow ingat atas kematian sepupunya yang disiksa sampai mati di Afghanistan pada tahun 1982, setelah helikopternya jatuh.

“Dia mati secara perlahan. Kematiannya memberikan kesedihan besar dan itulah sebabnya mengapa saya sangat menentang meluasnya perang ini, sangat menentang,” kata wanita, yang hanya memberikan nama sebagai Valentina Georgievna, kepada Al Jazeera.

Jajak pendapat oleh Levada menunjukkan, bahwa 72 persen orang Rusia merasa positif atas serangan udara – yang sebagian besar karena Kremlin mengendalikan media secara penuh dan menutupi hal yang buruk dan mengakhiri laporan dengan prakiraan cuaca atas laporan tentang kondisi pemboman di Suriah.

Ramzan Kadyrov, orang kuat Chechnya yang didukung Kremlin dan salah satu politisi paling vokal Rusia, berjanji untuk memimpin pasukan khusus Chechnya dalam operasi serangan darat untuk melawan “iblis” ISIS  – hanya jika Presiden Vladimir Putin memerintahkannya untuk melakukannya.

Dan meskipun Putin dan para menterinya mengatakan lebih dari sekali bahwa tidak ada tentara Rusia yang akan diterjunkan di Suriah, beberapa pengamat yakin bahwa Moskow pasti akan masuk ke dalam rawa lain – dan tidak akan keluar dari rawa itu.

“Kami akan menemukan diri kita dalam sebuah Afghanistan baru selama 10 tahun dengan puluhan ribu orang yang akan mati,.” Arkady Babchenko, seorang koresponden perang dan veteran perang Rusia lain – dalam konflik 1994-1996 di Chechnya, mengatakan kepada situs Open Rusia.

“Afghanistan baru (akan) menjadi akhir dari rezim saat ini dan tahap baru runtuhnya Imperium (Rusia)” kata Babchenko.

“Saya tidak percaya bahwa Kremlin akan melakukan kebodohan seperti ini,” Alexey Malashenko, salah satu ahli terkemuka Rusia tentang Islam dan Timur Tengah, mengatakan kepada Al Jazeera.

Perang bergaya Amerika

Pada pertengahan September, hampir dua minggu sebelum serangan udara dimulai, Gazeta.ru online setiap hari mengklaim bahwa beberapa prajurit Rusia menolak untuk dikerahkan ke Suriah karena komandan mereka diduga menolak untuk memberikan perintah tertulis yang resmi dari penyebaran pasukan mereka yang akan menjamin kompensasi bagi mereka atau keluarga mereka jika cedera atau mati.

Kementerian pertahanan membantah klaim itu, tetapi prajurit itu disidang di pengadilan militer, kata harian itu.

Pada pertengahan Oktober, pejabat Barat dan analis mengatakan bahwa ratusan pilot, penasihat dan teknisi Rusia dikerahkan di fasilitas militer Rusia di Tartus dan pangkalan udara Hmeimim – bersama dengan 500 marinir yang menjaga mereka – di wilayah Latakia, yang merupakan kubu Pasukan Assad dan sekte Alawite.

Sejauh ini, tidak satupun dari mereka yang ikut dalam operasi darat, dan armada Rusia di Laut Kaspia yang terletak 1.500 kilometer timur laut dari Suriah, memberikan dukungan serangan udara: Armada itu diluncurkan 26 rudal jelajah yang terbang di atas Iran dan Irak untuk mencapai target di Suriah pada tanggal 7 Oktober –  yang merupakan ulang tahun ke-63 Putin.

Partisipasi Rusia dalam perang sipil Suriah telah menjadi kali pertama bagi Moskow “perang bergaya AS” menurut Dmitry Trenin dari Moskow Carnegie Center, sebuah think-tank.

“Pesawat militer Rusia membom musuh dari atas, ditambah dengan angkatan laut Rusia yang meluncurkan rudal jelajah dari jarak 1.000 mil,”  tulis Trenin dalam analisisnya pada pertengahan Oktober.

“Musuh, setidaknya untuk saat ini, tidak memiliki kesempatan untuk membalas pasukan Rusia di medan perang.”

Operasi militer di Suriah secara radikal berbeda dari invasi Moskow dari Afghanistan, yang melibatkan puluhan ribu pasukan darat yang menyeberang ke Afghanistan dari republik Soviet di Asia Tengah.

Tujuan politik Moskow juga berbeda – jika di Afghanistan ingin menempatkan sebuah pemerintahan komunis dan benar-benar mengubah gaya hidup masyarakat Muslim konservatif, di Suriah, tujuan politik ini hanya ingin menopang rezim Assad dan mencegah apa yang oleh Moskow disebut sebagai “skenario Libya”, atau disintegrasi Suriah terpecah dalam beberapa kantong yang berperang yang mungkin akhirnya akan diambil alih oleh ISIS.

Tapi, berbeda dengan apa yang ditulis Trenin, musuh sudah mencoba untuk menyerang kembali.

Pada tanggal 13 Oktober, layanan keamanan Rusia mengumumkan penangkapan tiga orang etnis Chechen yang tiba di Moskow dengan detonator dan bahan peledak untuk mengatur serangan di Moskow.

Para tersangka itu dilatih di Suriah dan serangan mereka akan “mengacaukan situasi dan menghentikan penggunaan kekuatan udara di Suriah melawan ISIS”, kata jaksa kepada harian Kommersant. (rz/aljzeera, 29/10/2015)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*