Benarkah Perempuan sebagai Penggerak Utama Ekonomi akan Meningkatkan Kesejahteraan?
Oleh: dr. Arum Harjanti (Lajnah Siyasi DPP MHTI)
Forum tahunan APEC Women and the Economy Forum (WEF) tahun 2015 telah diselenggarakan di Philipina pada tanggal 15 sampai 18 September 2015 yang lalu. Tema utama yang diangkat pada pertemuan tahun ini adalah Women as Prime Movers of Inclusive Growth. Tema ini menegaskan kembali peran penting perempuan bagi Barat. Sekali lagi perempuan dieksploitasi dalam mencapai kemakmuran ekonomi. Kepemimpinan perempuan dianggap sebagai sebuah keharusan untuk mewujudkan daya saing dan kesuksesan di sektor privat dan publik. Pertumbuhan yang inklusif dipandang sebagai pertumbuhan yang memberikan kesempatan bagi semua, termasuk perempuan baik sebagai penggerak maupun penerima manfaat dari pembangunan ini.
Jelas tema tersebut sangat ambisius. Nyata sekali bahwa tujuan yang diharapkan adalah menjadikan perempuan sebagai penggerak utama pertumbuhan bagi semua pihak, yang kemudian akan menciptakan kesejahteraan perempuan bahkan dunia. Tema ini juga sejalan dengan komitmen internasional, diantaranya melanjutkan pencapaian target-target pasca Millenium Development Goals (MDGs) sebagaimana telah diagendakan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs –tentu saja- akan melanjutkan agenda kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dalam laporan MDGs 2015 yang dikeluarkan oleh PBB menyebutkan bahwa ketidak setaraan gender masih menjadi masalah dunia. Dalam 2015 MDGS Report Gender disebutkan “inequality persists in spite of more representation of women in parliament and more girls going to school. Women continue to face discrimination in access to work, economic assets and participation in private and public decision-making”.[1]
Bagaimana dengan Indonesia? Benarkah kemakmuran ekonomi akan terwujud dengan mengoptimalkan peran perempuan sebagai penggerak ekonomi utama? Bagaimana dampaknya terhadap ketahannan keluarga?
Komitmen penuh Indonesia
Indonesia jelas menunjukkan komitmen yang sangat kuat akan pemberdayaan perempuan. Hal ini terbukti dengan peran serta aktif Indonesia dalam APEC Women and the Economy Forum (WEF) tahun 2015 . Dalam pertemuan WEF tersebut Indonesia mengusulkan Unsur kesetaraan gender di berbagai sektor sebagai usulan utama. Hal ini dirasa penting karena dengan mengedepankan unsur kesetaraan gender, maka partisipasi kaum perempuan dalam perekonomian dapat lebih diperkuat. Selain itu, Indonesia juga memberikan beberapa usulan yang mengedepankan pelaksanaan pengarusutamaan gender dan menekankan unsur fleksibilitas dalam melakukan reformasi kebijakan nasional terkait peningkatan peran perempuan.
Usulan ini memberikan keleluasaan bagi kondisi dan kebijakan dalam negeri untuk melakukan reformasi kebijakan sesuai dengan kepentingan nasional. Disamping itu, peningkatan peran perempuan di masa depan diharapkan tidak hanya sebatas angan-angan belaka, tetapi benar-benar terealisasi melalui kebijakan yang lebih fleksibel. Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PP&PA), Yohana Yembise, saat memimpin Delegasi Republik Indonesia pada High Level Policy Dialogue on Women and the Economy (HLPD on WE) 2015 -salah satu sessi yang diselenggarakan dalam APEC WEF 2015– mengungkapkan harapannya agar perempuan di seluruh dunia dapat memegang peranan penting dalam mensukseskan pertumbuhan ekonomi dunia.[2]
Isu kesetaraan gender yang selama ini dikedepankan oleh Kementerian PP dan PA, telah ditetapkan menjadi salah satu strategi pembangunan sebagaimana tercantum Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta penguatan kelembagaan PP dan PA baik di tingkat pusat maupun daerah. Bahkan Indonesia sudah masuk ke dalan 10 besar Negara yang mengikuti kampanye global He for She yang dibentuk untuk meningkatkan peran laki-laki menuju kesetaraan gender. Kampanye ini akan segera di-launching oleh pemerintah. [3]
Kementerian PP-PA juga menjalin berbagai kerjasama dengan kementerian lain demi mewujudkan strategi tersebut. Menteri PP-PA bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) menandatangani Nota Kesepahaman Bersama tentang Perluasan Kesempatan Kerja dan Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Kerja melalui Gerakan Perempuan Mandiri di Negeri Sendiri. Selain itu Nota Kesepahaman 4 (empat) Menteri yaitu Menteri Tenaga Kerja, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas tentang Optimalisasi Penerapan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Tanpa Diskriminasi dalam Pekerjaan pada tahun 2014 (Equal Employment Opportunity/EEO), yang telah ditindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjian kerjasama antara keempat kementerian tersebut sebagai payung hukum pelaksanaannya. Selain itu, Kementerian PP-PA bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Dalam Negeri juga telah melakukan Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang memberikan perhatian khusus terhadap kesehatan reproduksi pekerja. [4]
Selain dengan kementerian lain, Kementerian PP-PA juga berusaha membangun kerja sama dengan organisasi masyarakat untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan perempuan. Saat menjadi pembicara pada Kongres Fatayat NU Tahun 2015 di Surabaya, Menteri PP-PA menyampaikan harapan untuk bekejasama dalam bentuk Nota Kesepahaman Bersama antara Kementerian PP dan PA dengan Fatayat NU untuk bersinergi dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya para anggotanya dalam rangka menuju planet 50-50.[5]
Kementerian PPPA juga sudah menetapkan program prioritas tahun 2016. Dan salah satunya adalah Pembentukan dan pengembangan model-model pemberdayaan masyarakat, khususnya di bidang ekonomi untuk meningkatkan produktivitas ekonomi perempuan, antara lain melalui pengembangan industi rumahan untuk menguatkan perempuan pelaku usaha. [6]
Semua upaya yang telah disusun oleh kementerian PP-PA di atas secara jelas menunjukkan komitmen penuh Indonesia untuk ikut mewujudkan kesetaraan gender termasuk pemberdayaan perempuan di Indonesia. Sekali lagi, hal itu merupakan konsepsi agenda pembangunan pasca 2015, yakni Sustainable Development Goals (SDGs).
Langkah Kementerian PP PA ini juga berarti menunjukkan komitmen Negara akan upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender. Dukungan para pemimpin Negara inilah yang sedang digencarkan oleh UNWomen. Indonesia juga hadir pada the Global Leaders’ Meeting on Gender Equality and Women’s Empowerment, yang diselenggarakan pada 27 September 2015 di Markas Besar PBB. Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang hadir sebagai wakil Pemerintah Indonesia, dalam pidato komitmennya menyatakan bahwa Indonesia senang untuk bergabung dalam kemitraan para pemimpin Negara dan akan mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai salah satu program prioritas nasional.[7]
Dan salah satu bukti keseriusan Pemerintah adalah naiknya anggaran Kementerian PP-PA untuk tahun 2016. Jika sebelumnya anggaran Kementerian PPPA rata-rata di angka Rp 200 miliar. Pada 2014 sebesar Rp 257 miliar, di mana sebanyak Rp 67 miliar habis untuk membangun gedung kantor baru, dan anggaran tahun 2015 Rp 217 miliar, pada 2016 nanti dialokasikan sebesar Rp 269 miliar. Kemudian ditambahkan Presiden Jokowi sebesar Rp 1 triliun, sehingga total anggaran Kementerian PP-PA pada 2016 nanti mencapai Rp 1,2 triliun.[8]
Harapan semu peningkatan kesejahteraan keluarga
Data Sakernas BPS 2012 menyebutkan jumlah perempuan Indonesia sebesar 49,65 persen, dan jumlah anak di Indonesia sekitar 34,26 persen. Jumlah yang besar memunculkan asumsi bila diberdayakan secara optimal maka akan menjadi aset SDM yang cukup besar. Sebuah kajian yang dilakukan oleh IPB dan Kementerian PP-PA mengidentifikasi sebagian besar pelaku industri rumahan adalah perempuan. Tujuh puluh persen diantaranya merupakan industri rumahan pemula yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, namun ternyata sangat tahan dan lentur terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini mempertegas bahwa perempuan berpotensi mengembangkan diri khususnya pada sektor ekonomi kreatif. Peluang itu dipertegas Menteri Yohana yang menyatakan bahwa “Implikasi dari meningkatnya usaha dan penghasilan UKM akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup anak-anaknya sebagai generasi mendatang.”[9]
Sesungguhnya jargon perempuan sebagai penyelamat ekonomi keluarga dan pendidikan anak-anaknya hanyalah asumsi. Fakta berbicara sebaliknya. Kehancuran keluarga sedang terus terjadi. Dimulai dari kehancuran relasi suami-istri yang berujung pada perceraian kian meningkat dari waktui ke waktu. Rata-rata dalam satu jam terjadi 40 perceraian di Indonesia.[10] Di depok bahkan dalam sehari 50 pasutri bercerai.[11] Banten tak beda jauh. Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Banten selama 2014 mencatat 11.469 perkara perceraian, meningkat dibanding 2013 yang hanya 10 ribuan perkara. [12] Di Jawa timur diperkirakan tahun ini perceraian mencapai 100 ribu kasus, meningkat dibanding tahun 2014 sebanyak 81.627 kasus, mayoritas karena persoalan ekonomi. [13]
Dan pihak yang mengajukan cerai mayoritas dari pihak istri. Data di Pengadilan Tinggi Agama (PTA), yang dihimpun dari perkara perceraian di 38 Pengadilan Agama (PA) kota/kabupaten, menunjukkan tren peningkatan ini. Pada 2010, dari total 69.956 perkara perceraian, sebanyak 44.728 atau 63,94 persen merupakan perceraian yang diajukan pihak istri. Tren istri menggugat ini makin terlihat dominan pada 2012. Moh Ersyad, Kasi Pemberdayaan KUA Kanwil Kemenag Provinsi Jatim menyatakan, kemandirian ekonomi perempuan, menjadi variabel penting munculnya tren semakin tingginya dominasi istri sebagai pemohon cerai. Pernyataan Ersyad dikuatkan Zainal Arifin Siregar, Humas Pengadilan Agama (PA) Mojokerto, yang mengatakan pada kenyataannya memang jumlah istri yang mengajukan gugatan cerai jauh lebih banyak ketimbang suami.[14]
Sedangkn di Depok 70 persen perceraian adalah gugat cerai, dengan usia menikah rata-rata 20 sampai 40 tahun. Faktor yang paling dominan terutama ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan perselisihan yang tak berujung.[15] Bahkan di Banten sekitar 80 persen dari jumlah perkara diajukan oleh isteri. Penyebabnya juga bervariasi, tapi trennya kini istri banyak yang menggugat cerai dengan usia perkawinan sudah cukup lama.[16] Mengomentari tingginya perceraian di Jawa Timur. Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf mengatakan perceraian akan membawa dampak buruk bagi anak-anak. Selain akan berdampak pada faktor psikologis juga akan membawa masalah terhadap pertumbuhan anak di masa mendatang. Bahkan, keluarga broken home akan mempengaruhi orientasi seksual anak. [17]
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini saat memperingati Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2015 yang lalu menyatakan bahwa masih banyaknya kekerasan, kenakalan remaja, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, radikalisme dan pudarnya semangat nasionalisme menggambarkan wajah buruk tentang rapuhnya kondisi keluarga Indonesia. [18]
Hal senada disampaikan oleh Rusdiana HB, Analis Monitoring Kekambuhan, Deputi Bidang Rehabilitasi BNN. Ia menyatakan kenakalan remaja adalah bentuk kegagalan remaja dalam proses perkembangan jiwanya baik saat masa remajanya itu sendiri maupun masa anak-anak. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan. Dan kemudian mereka mencari caranya sendiri untuk menyelesaikan secara instant, termasuk mencoba-coba narkoba. [19]
Dan pada kenyataannya, Indonesia menghadapi berbagai masalah kenakalan remaja. Pengguna narkoba dikalangan remaja makin meningkat. Berdasarkan hasil Survei Badan Narkotika Nasional (BNN) terkait penggunaan narkoba tercatat sebanyak 921.695 orang atau sekira 4,7 persen dari total pelajar dan mahasiswa di Tanah Air sebagai pengguna barang haram tersebut.[20] Kepala Bagian Humas BNN, Kombes (Pol) Sumirat Dwiyanto, menyampaikan, pelajar dan mahasiswa masih menjadi kelompok rentan pengguna narkoba. Lemahnya pengawasan orangtua serta labilnya psikologi remaja membuat mereka mudah terjerumus menggunakan narkotika. Dari empat juta orang di Indonesia yang menyalahgunakan narkoba, 22 persen di antaranya merupakan anak muda yang masih duduk di bangku sekolah dan universitas. Sejak 2010 sampai 2013 tercatat ada peningkatan jumlah pelajar dan mahasiswa yang menjadi tersangka kasus narkoba.[21]
Tidak kalah memprihatinkan adalah pergaulan bebas di kalangan remaja. Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Julianto Witjaksono mengatakan jumlah remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah mengalami tren peningkatan. Data di BKKBN menunjukkan 46 persen remaja berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seksual. Data Sensus Nasional bahkan menunjukkan 48-51 persen perempuan hamil adalah remaja. [22] Jumlah remaja pelaku aborsi juga memprihatinkan.. Data BKKBN juga menunjukkan bahwa dari 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA. [23]
Kondisi memprihatinkan tersebut terjadi saat Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang menggambarkan kesetaraan gender di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, meningkat dari 67,2 pada tahun 2010 menjadi 69,6 pada 2013. Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) mengalami peningkatan, yaitu dari 68,2 menjadi 70,5 selama 2012-2013 sementara Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan berada dalam kisaran angka 50 persen.[24] Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi dengan keluarga bila kesetaraan gender terwujud sempurna pada tahun 2030 seperti yang ditargetkan oleh UN Women. Ketahanan keluarga akan makin rapuh, bahkan mungkin keluarga hanya sekedar simbol tanpa makna. Apalagi, dengan anggaran yang lebih besar, namun belum menampakkan kepedulian spesifik pada pembangunan keluarga sebagaimana yang dikatakan Hidayat Nurwahid dalam Rapat Dengar Pendapat DPR Komisi VIII dengan Menteri PP PA pada 20 September 2015 yang lalu. Bahkan Hidayat mengusulkan pembentukan Deputi Penguatan Keluarga. [25] Padahal keluarga merupakan pondasi penting bagi masyarakat dan bangsa. Sebagaimana disampaikan oleh Jazuli Juwaini, keluarga ibarat batu bata bagi pembangunan bangsa. Pondasi pertumbuhan dan perkembangan bangsa haruslah berawal dari keluarga-keluarga yang berkualitas.[26]
Pentingnya keluarga juga ditekankan oleh Menteri Agama. Saat menghadiri Penganugerahan Kantor Urusan Agama (KUA) dan Keluarga Sakinah Teladan Tingkat Nasional 2015, Menag Lukman Hakim Saifuddin mengatakan keluarga sakinah merupakan pilar kemajuan bangsa karena dari keluarga akan melahirkan generasi-generasi cemerlang bagi bangsa dan diharapkan memberi kontribusi untuk lingkungan di sekitarnya bahkan bagi bangsa merupakan unit terkecil dalam sumbangsihnya untuk membangun masyarakat luas dan masyarakat.[27]
Berharap sejahtera dengan menjadi penggerak ekonomi utama adalah impian kosong. Kesejahteraan keluarga juga tetap tidak akan terwujud meski perempuan berperan sebagai penggerak utama ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis yang dijalankan saat ini tidak akan pernah memberi kesempatan untuk sejahtera kepada pekerja, baik perempuan maupun laki-laki. Mereka, khususnya perempuan hanya dieksploitasi dan dijadikan pasar untuk keuntungan para konglomerat pemilik modal. Apalagi sistem ekonomi kapitalis mengutamakan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran kesejahteraan suatu bangsa, dan bukan terpenuhinya kebutuhan individu per individu.
Dan ketika Indonesia mengikuti arus global, apalagi berpegang pada tema utama Forum tahunan APEC Women and the Economy Forum (WEF) tahun 2015, cepat atau lambat, Indonesia hanya akan menjadi pasar dan rakyatnya menjadi buruh negara lain. Keluarga akan hancur, dan hancurnya negara tinggal menunggu waktu.
Kesejahteraan hanya ada dalam Islam
Islam memang membolehkan perempuan bekerja, namun bukan sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan memiliki tugas utama sebagai istri pendamping suami, dan ibu pendidik generasi. Tugas utama ini sangat penting dalam membangun keluarga yang memiliki ketahanan yang tangguh. Tugas utama iniakan menjadi tidak optimal, bahkan akan terabaikan ketika perempuan diberi beban sebagai penggerak ekonomi utama. Apalagi dibebani untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tidak hanya keluarga, namun juga dunia.
Dan penetapan tugas utama perempuan dalam keluarga ini tidak berarti Islam merendahkan perempuan, apalagi menindas perempuan. Inilah bentuk pemuliaan perempuan sesuai dengan karakteristiknya sebagai perempuan. Dengan pembagian peran yang diberikan Allah SWT yang menciptakan laki-laki maupun perempuan, fungsi keluarga akan dapat terwujud dengan optimal. Keluarga akan dapat berjalan sempurna karena masing-masing dapat menjalankan peran alami yang diberikan Allah. Dengan demikian akan terbentuk keluarga yang kuat, yang melahirkan generasi berkualitas. Keluarga yang kuat inilah yang akan membentuk masyarakat yang kuat pula.
Kesejahteraan keluarga juga akan diraih karena Islam juga menetapkan sistem ekonomi yang menjanjikan kesejahteraan tiap individu warga negaranya. Islam memiliki mekanisme penjaminan kesehateraan individu secara bertingkat yang mengharuskan Negara untuk memenuhi kebutuhan mendasar setiap individu rakyatnya. Karena itu akan terwujud masyarakat yang sejahtera dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah yang menjalankan apa yang diperintahkan Allah , tidak hanya dalam sistem ekonominya, namun juga seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam []
[1] http://www.un.org/millenniumgoals/2015_MDG_Report/pdf/MDG%202015%20PR%20Global.pdf
[2] http://www.kemenpppa.go.id/index.php/publikasi/siaran-pers/8-perempuan/822-af
[3] http://www.kemenpppa.go.id/index.php/publikasi/berita/12-anak/827-humas
[4] http://www.kemenpppa.go.id/index.php/publikasi/berita/11-perempuan/821-af
[5] http://www.kemenpppa.go.id/index.php/publikasi/berita/11-perempuan/821-af
[6] http://www.kemenpppa.go.id/index.php/publikasi/siaran-pers/9-anak/831-press-release-menteri-pppa-sampaikan-program-prioritas-tahun-2016.
[7][7] http://beijing20.unwomen.org/en/step-it-up/commitments
[8] http://www.beritasatu.com/nasional/303642-untuk-pertama-kali-anggaran-kementerian-pppa-naik-sampai-rp-12-triliun.html
[9] http://www.kemenpppa.go.id/index.php/publikasi/berita/11-perempuan/821-af
[10] http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/15/06/30/nqqp0wti-tiap-jam-ada-40-keluarga-yang-bercerai.
[11] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/15/09/22/nv2fuh365-setiap-hari-50-pasutri-bercerai-di-depok
[12] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/05/08/nnzp14-istri-gugat-cerai-suami-meningkat-di-banten
[13] http://news.okezone.com/read/2015/08/20/519/1199755/angka-perceraian-di-jawa-timur-capai-100-ribu-kasus
[14] http://surabaya.tribunnews.com/2014/10/02/tahun-2012-awal-zaman-istri-menggugatSedangkan di
[15] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/15/09/22/nv2fuh365-setiap-hari-50-pasutri-bercerai-di-depok
[16] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/05/08/nnzp14-istri-gugat-cerai-suami-meningkat-di-banten.
[17] http://news.okezone.com/read/2015/08/20/519/1199755/angka-perceraian-di-jawa-timur-capai-100-ribu-kasus
[18] http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/15/06/30/nqqp0wti-tiap-jam-ada-40-keluarga-yang-bercerai
[19] http://news.okezone.com/read/2014/10/24/337/1056268/konflik-rumah-tangga-picu-remaja-konsumsi-narkoba
[20] http://news.okezone.com/read/2014/09/28/337/1045517/hasil-survei-921-695-pelajar-konsumsi-narkoba
[21] http://megapolitan.harianterbit.com/megapol/2014/09/13/8219/29/18/22-Persen-Pengguna-Narkoba-Kalangan-Pelaja
[22] http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=1761
[23] http://health.liputan6.com/read/2062737/sepertiga-kasus-aborsi-dilakukan-siswi-sma
[24] http://www.bappenas.go.id/berita-dan-siaran-pers/menteri-andrinof-indeks-pembangunan-gender-ipg-terus-meningkat/
[25] http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2015/10/21/81527/hidayat-nur-wahid-usulkan-ada-deputi-penguatan-keluarga.html
[26] http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/15/06/30/nqqp0wti-tiap-jam-ada-40-keluarga-yang-bercerai
[27] http://www.antaranews.com/berita/513130/menag-keluarga-sakinah-pilar-kemajuan-bangsa