Dana Desa, Kebijakan Sesat ala Neoimperialis

Dana-desa-Ilustrasi-660x330Oleh: dr. Estyningtias P (Lajnah Siyasi DPP MHTI)

Menarik untuk mencermati slogan Nawacita yang diusung Jokowi. Nawa Cita 3 yang memfokuskan membangun Indonesia dari pinggiran, cukup efektif untuk menarik simpati masyarakat. Apalagi pemerintah telah melegalkan UU no 6 tahun 2014 tentang Desa yang menjadi payung hukum kebijakan tersebut. UU ini memberi pengaruh yang cukup signifikan pada kebijakan pemerintah terutama terkait dengan penggelontoran dana untuk pembangunan infrastruktur. UU ini pula yang menjadi andalan rezim Jokowi saat krisis ekonomi menimpa negri ini. Sehingga sepintas nampak UU ini sudah tepat, sejalan dengan citra yang dibangun pada diri Jokowi dan seiring pula dengan cita-cita poros maritimnya,

Realitanya, UU ini benar-benar menjadi andalan saat krisis ekonomi menghempas rupiah sampai nilai yang cukup rendah. Bahkan pemerintah menyatakan bahwa serapan dana desa inilah yang menyumbangkan angka demi angka dalam pertumbuhan ekonomi saat ini.[1] Namun benarkah UU Desa ini benar-benar akan memihak pada rakyat kecil dan membawanya sampai pada tingkat kesejahteraan yang diinginkan?

Membangun Pinggiran Dengan KPS (Kemitraan Pemerintah Swasta)

Membangun dari pinggiran secara sederhana adalah kebijakan pembangunan yang difokuskan pada pengembangan atau pembangunan di daerah dan desa-desa yang dilakukan secara massif dan berimbang. Pembangunan di desa diharapkan bisa memberikan dampak terhadap wilayah di sekitarnya atau wilayah atasannya dalam konteks administrasi pemerintahan secara berjenjang. Membangun dari pinggiran juga bisa dimaknai sebagai pembangunan di kawasan perbatasan. Kawasan perbatasan dinilai kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Padahal kawasan perbatasan memiliki posisi yang sangat strategis dari sisi geopolitik. Pada sisi yang lain membangun dari pinggiran juga bisa dimaknai dengan membangun kawasan Timur Indonesia agar seimbang atau setara dengan kawasan Barat. Saat ini kawasan Timur jauh tertinggal dibandingkan dengan kawasan Barat. Diperlukan akselerasi pembangunan di kawasan Timur agar kesenjangan pembangunan tidak semakin tinggi.[2]

Faktanya saat ini dari 17.504 pulau di Indonesia, terdapat 92 (sembilan puluh dua) pulau-pulau kecil yang dijadikan sebagai titik dasar dan referensi untuk menarik garis pangkal kepulauan yang berbatasan langsung dengan 10 (sepuluh) negara tetangga di wilayah laut yang tersebar pada 10 (sepuluh) provinsi. Dan dari data Strategi Nasional (Stranas) Pembangunan Daerah Tertinggal terdapat 26 (dua puluh enam) kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sementara pengelolaan wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar selama ini belum terintegrasi dengan baik, dimana tiap departemen cenderung berjalan berdasarkan kepentingan masing-masing dan mengabaikan keterpaduan.[3]

Gambaran fakta inilah yang kemudian mendasari kebijakan desentralisasi asimetris yang diterapkaan Jokowi – JK.  Program Director Democracy and Justice dari Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform)[4],  Dr. Agung Djojosoekarto, menyatakan bahwa sudah seharusnya Indonesia menerapkan desentralisasi asimetris. Ada beberapa model yang dapat diterapkan yakni pertama, dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pengelolaan kawasan perbatasan negara kepada daerah. Kedua, dengan membentuk badan-badan otonomi di daerah di bawah koordinasi BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan)[5]. Oleh karena itu UU no 6 tahun 2014 tentang desa merupakan payung hukum yang efektif untuk kebijakan ini.

Dalam RAPBN 2016, telah ditentukan dana transfer ke daerah sebesar Rp 735,2 triliun. Dana ini tersebar dalam sejumlah pos anggaran, berupa DTU (Dana Transfer Umum) Rp 495,5 triliun dan DTK (Dana Transfer Khusus) Rp 215,3 triliun. Ada juga Dana Insentif Daerah Rp 5 triliun serta Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan Yogyakarta sebesar Rp 19,5 triliun. Adapun dana desa sebesar Rp 47 triliun, naik Rp 26,2 triliun dibandingkan dengan pagu APBN-P 2015. Dengan jumlah desa sasaran sebanyak 74.093 desa, setiap desa rata-rata akan mendapat lebih dari Rp 600 juta. Ditambah sumber pendapatan lainnya seperti dari APBD, setiap desa rata-rata akan mendapatkan Rp 1 miliar setahun.[6]

Menurut Permendesa No 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa, maka dana desa yang bersumber dari APBN diprioritaskan untuk dapat mendanai pelaksanaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Prioritas penggunaan dana desa dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan desa yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui: a). pemenuhan kebutuhan dasar; b). pembangunan sarana dan prasarana desa; c). pengembangan potensi ekonomi lokal; dan d). pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.[7] Oleh karena itu pembangunan infrastruktur desa merupakan hal paling penting untuk bisa menunjang peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

Sekilas program ini nampak mempesona. Namun dalam sistem Kapitalis seperti saat ini, jangan harap kesejahteraan rakyat akan menjadi prioritas penguasa.  Kerakusan Kapitalis telah menjadikan jiwa bisnis telah menjadi ruh bagi para penguasa yang pengusaha. JK pun telah mengakuinya. Dia mengklaim bahwa saat ini bukan lagi masanya meminta pada pemerintah karena yang berperan saat ini adalah pengusaha.[8] Sehingga program tersebut ibarat lip service. Faktanya tidaklah semanis yang dijanjikan. Hal ini jelas terlihat dari bagaimana pemerintah mendorong agar pembangunan infrastruktur diserahkan pada asing sebagaimana yang diungkapkan Mentri Keuangan, Bambang P. S. Brodjonegoro, “Kami dari Kementerian Keuangan sebenarnya sudah menyusun skema kerja sama pemerintah-swasta atau public private partnership untuk infrastruktur. Tujuannya satu, untuk mengurangi kebutuhan anggaran dalam infrastruktur, dan infrastruktur yang kita bangun adalah infrastruktur yang katakanlah marginal.”[9]

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago telah memastikan skema baru Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) atau lebih dikenal dengan Public Private Partnership (PPP) telah rampung disempurnakan dan akan optimal menarik investasi swasta. Untuk diketahui, hasil revisi tersebut mencakup perluasan sektor infrastruktur yang dapat melalui KPS. Perluasan tersebut mencakup sektor-sektor infrastruktur untuk pelayanan kesehatan, sosial, dan pendidikan.  “Di 2016, investasi pemerintah lebih banyak di daerah. Pendanaannya akan datang dari sumber-sumber yang bisa dikerjasamakan swasta. Kami sudah rancang kriterianya,” kata Andrinof[10].

Dari sini jelaslah bahwa dengan skema KPS inilah pemerintah akan membangun daerah pinggiran yang identik dengan desa, perbatasan dan Indonesia Timur. Pihak pemerintah dalam konsep KPS ini bisa merupakan sebuah kementerian, departemen, kabupaten/kota atau badan usaha milik negara.  Sedangkan pihak swasta dapat bersifat lokal atau internasional dari kalangan bisnis dan investor yang memiliki keahlian teknis dan keuangan yang relevan dengan proyek, dan bahkan dalam konteks yang lebih luas pihak swasta dalam hal ini dapat termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi berbasis masyarakat yang mewakili pemangku kepentingan secara langsung terhadap kegiatan pembangunan.

Adapun model KPS yang paling banyak dipakai untuk pembangunan infrastruktur adalah model BOT (Build, Operate, Transfer) dimana pada model ini pihak swasta bisa menolak memberikan investasinya jika pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa investasi  swasta akan kembali. Sementara masa kontrak BOT ini cukup panjang yakni 10 sampai 30 tahun.

Oleh karena itu pemerintah telah menyiapkan berbagai paket kebijakan untuk mempermudah swasta dan asing menjadi investor dalam pembangunan infrastruktur ini. Menurut Kepala BP Konstruksi Hediyanto W. Husaini, kini sudah ada PT. IIGF, PT. SMI, dan Undang-Undang No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum untuk memberikan kemudahan bagi investor.[11] PT Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF) adalah institusi yg memberi jaminan investor jika terjadi kegagalan pada proyek. PT Sarana Multi Infrastructure (SMI) merupakan institusi yang memberi jaminan pembiayaan.  Sedangkan UU no. 2/2012 menjadi landasan bahwa investor tidak lagi berhadapan dengan urusan pembebasan lahan. Pemerintahlah yang wajib menjamin pembebasan lahan bagi investor.

Dengan demikian KPS dengan model BOT sangatlah tidak menguntungkan bagi rakyat. Sebab sekalipun infrastruktur tersebut akan tetap milik pemerintah, namun rentang waktu masa kontrak 10 – 30 tahun ini sudah sangat cukup untuk membuat investor mendapatkan kembali modal plus keuntungan yang berlipat ganda. Apalagi ada syarat di awal bahwa pemerintah harus menjamin berbagai kemudahan bagi investor termasuk menjamin bahwa investasi tersebut pasti kembali. Belum lagi pasca kontrak selesai, saat terjadi transfer pada pemerintah, bisa jadi  infrastruktur yang dibangun sudah mulai aus dan harus diganti. Jelas ini adalah kerjasama yang hanya menguntungkan satu pihak. Kalaupun yang terlihat rakyat menikmati hasilnya, misalnya jalan, maka realitanya yang dibangun adalah jalan-jalan yang menjadi tempat lalu lalang kendaraan milik investor, karena yang dibangun bukan jalan setapak yang biasa dilewati rakyat kecil.

Maka sesungguhnya yang menjadi racun adalah pemikiran bahwa pemerintah tidak memiliki dana untuk melakukan pembangunan sehingga harus melibatkan swasta/asing. Ini adalah pemikiran yang sangat tidak tepat dan keliru. Sebab ini adalah dasar dan awal masuknya penjajahan ekonomi. Ketika swasta/asing dilibatkan dalam pengaturan urusan rakyat, fungsi pemerintah dalam melakukan pengaturan urusan umat menjadi hilang bahkan berubah orientasinya menjadi orientasi materi. Skema KPS dibuat sekedar untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya swastalah yang mengendalikan dan mendapat untung dari proyek tersebut atas nama pemerintah.

Keterlibatan sektor swasta bahkan asing dalam pengelolaan urusan rakyat adalah ciri khas sistem kapitalis. Dalam sistem ini negara hanya berfungsi sebagai regulator saja. Dan sudah bisa dipastikan bahwa orientasi bisnis akan mengemuka dalam berbagai pelayanan publik. Kemiskinan sudah pasti akan bermunculan jika semua kebutuhan hidup dasar harus dipenuhi dengan cara membayar. Jadi kesejahteraan hanyalah ilusi bagi rakyat kecil.

Dana Desa : Kesejahteraan vs Penjajahan Gaya Baru

Banyak kalangan berharap dengan UU Desa, cita-cita pemerataan pembangunan bisa terwujud. Pemerintah sendiri mentargetkan penurunan rasio gini dari 0,41 menjadi 0,39 pada 2016. Oleh karena itu selain dana desa, masih banyak dana yang mengalir ke daerah, seperti dana anggaran kementerian untuk program-program di daerah, bantuan tunai bersyarat yang penerimanya akan diperluas, serta subsidi kredit usaha rakyat (KUR) yang diperluas dan dipertajam. Dengan kata lain, UU Desa dianggap sebagai langkah maju dalam pembangunan pedesaan dan sebuah capaian riil dari desentralisasi di level grass root.

Kebijakan ini diambil berdasarkan analisa bahwa sebagian besar kaum miskin itu tak memiliki aset produktif yang mencukupi, khususnya lahan dan modal. Dengan begitu, di samping kebijakan terkait akses terhadap modal, kebijakan reformasi agraria (yang juga menjadi salah satu komitmen pemerintah) dianggap sangat strategis diimplementasikan dengan fokus penduduk desa yang tuna aset tersebut. Menurut pemerintah, reformasi agraria merupakan upaya mensejahterakan masyarakat dengan pemberian tanah tak bertuan.

Namun untuk menggunakan dana dan aset yang cukup besar itu dibutuhkan program-program yang berkualitas. Program yang berkualitas hanya dihasilkan oleh sumber daya manusia berkualitas. Sehingga tidak bisa berharap banyak pada pemerintah daerah, apalagi berharap pada masyarakat grass root, yang notabene tidak memenuhi kualifikasi tersebut.

Oleh sebab itulah dan karena alasan itulah pada akhirnya, seluruh urusan ini harus dipayungi oleh kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan, investasi, dan lain sebagainya yang melibatkan swasta atau asing untuk terlibat didalamnya. Permendagri Nomor 17 Tahun 2007  adalah salah satu contohnya. Permendagri tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah ini mengatur dan memberi ruang bagi swasta untuk menjadi mitra kerjasama pemerintah daerah dalam pemanfaatan aset/barang milik daerah. Dengan asumsi jika ini dikelola dengan baik, tentunya aset daerah akan menjadi sumber pendapatan yang sangat potensial sekaligus peluang mempercepat pembangunan infrastruktur wilayah. Dan dengan memanfaatkan peluang tersebut diharapkan kesejahteraan daerah meningkat dan pemerataan pembangunan yang dicita-citakan bisa tercapai. Contoh lainnya adalah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri.

Dari wacana ini, lagi-lagi yang diopinikan adalah ketidakmampuan pemerintah, baik pusat, daerah bahkan desa untuk melakukan fungsinya dalam mengatur urusan rakyat. Sehingga logika bahwa swasta atau asing harus dilibatkan dalam urusan tersebut seolah menjadi hal yang tak terbantahkan. Dengan begitu kehadiran investor baik lokal maupun internasional seolah memang dibutuhkan oleh bangsa ini untuk membangun inffrastruktur. Bahkan ada kesan hanya investor yang memiliki kapabilitas tersebut, sementara pemerintah tidak.

Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, maka saat ini peluang investor sangat terbuka lebar untuk menanamkan investasinya sekaligus mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya di berbagai daerah, desa, perbatasan bahkan berbagai tempat di kawasan Indonesia Timur.  Dengan begitu maka peningkatan kesejahteraan semu seiring dengan banyaknya investor asing yang masuk. Sebab di era kapitalistik, ukuran kesejahteraan ditunjukkan lewat angka GNP secara kumulatif. Realitasnya, kesejahteraan itu bukanlah kondisi real yang dialami masyarakat.

Apalagi skema bantuan yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat desa, kelompok tani atau usaha-usaha mikro lainnya adalah bantuan ribawi yang berbasis keuntungan bagi lembaga kreditor. Maka tak ada yang diuntungkan kecuali para pemilik modal perbankan. Padahal KUR, UMKM, PNPM mandiri atau apapun bentuknya selama mengandung bunga maka tidak akan pernah mengantarkan pada kesejahteraan. Justru hal ini akan menjebak dan menjerat masyarakat desa untuk terus berada dalam pusaran bunga kredit tanpa pernah bisa lepas darinya.

Memang benar, isu kesejahteraan adalah isu yang cukup seksi jika diangkat dalam konteks masyarakat desa dan pinggiran. Kesejahteraan adalah salah isu mendesak di desa mengingat kantong-kantong kemiskinan berada di sana.  Data menunjukkan sekitar 65% penduduk miskin berdiam di desa. Secara realitas, memang selama ini, desa selalu menjadi obyek pembangunan dan eksploitasi dari sistem pembangunan nasional. Padahal, segenap sumber daya agraria dan termasuk sumber daya manusia ada di pedesaan. Kapabilitas sumber daya manusia yang rendah disumbang oleh tingkat pendidikan yang buruk, asset lahan maupun modal yang minim menjadi persoalan yang amat serius, sehingga menuntut pemerintah untuk segera memecahkannya. Tentu saja pemecahannya bukan dengan cara-cara kapitalistik seperti yang sudah dilakukan pemerintah sekarang. Sebab cara-cara kapitalistik ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme yang  telah menggurita dan terus berusaha mengokohkan penjajahannya di daerah yang paling kecil di negeri ini.

Penutup

Rezim penguasa yang berjiwa bisnis memang pada akhirnya melempangkan jalan bagi para komprador untuk menguasai wilayah Indonesia. Dan rezim ini akan terbentuk dan terus dipelihara oleh para pemilik modal melalui sistem Kapitalis yang dipaksakan diterapkan di seluruh belahan dunia. Maka wajarlah jika produknya adalah kebijakan sesat dan menyesatkan, kebijakan yang tak pernah berpihak pada rakyat miskin dan selalu berorientasi pada materi.

Berbeda dengan sistem Islam yang telah terbukti mampu mencetak generasi pemimpin kaum muslimin dengan sifat-sifat pemimpin yang sesungguhnya. Keberpihakan pada rakyat miskin dan rasa tanggung jawab sebagai pemimpin yang sangat tinggi telah terbukti dalam sejarah dengan sangat masyhur. Rasulullah saat dihadiahi seorang dokter, beliau meminta dokter tersebut bekerja untuk menyehatkan rakyat Daulah Islam. Begitu pula Khalifah Umar bin Khattab mengharuskan dirinya untuk memikul sekarung gandum dari Baitul Maal ke rumah seorang janda yang kelaparan. Bahkan saking takutnya diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT, saat harta zakat berlebih sementara tidak ada lagi orang yang berhak menerimanya, Khalifah Umar bin Abdul Azis memberikannya pada burung-burung. Tak terbayang sedikitpun dalam benak pemimpin kaum muslimin untuk mengambil harta yang bukan miliknya, Bahkan mereka amat sangat takut mengelola harta kaum muslimin dengan cara-cara menipu, licik dan culas, sebab semua itu kelak akan diminta pertanggungjawaban dari Allah swt.

Sistem Islam telah terbukti mampu mencetak individu-individu pemimpin yang luar biasa, disamping sistem ekonomi Islam yang telah mengatur dengan cukup jelas terkait pengelolaan harta kaum muslimin. Sehingga jika kita mau berpikir jernih, sudah sepatutnya dan sudah selayaknya jika sistem Islam ini diperjuang untuk diterapkan  menggantikan sistem ekonomi Kapitalis yang sesat dan menyesatkan. Setuju bukan? Wallahu a’lam bi ash shawab [].

[1] http://kemendesa.go.id/berita/1575/dana-desa-dorong-pertumbuhan-ekonomi-daerah-dan-nasional

[2] http://nawacitawatch.blogspot.co.id/2015/07/membangun-dari-pinggiran.html

[3] https://www.pu.go.id/isustrategis/view/28

[4] Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (“Partnership”) adalah sebuah organisasi multi-pihak yang bekerja dengan badan-badan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk memajukan reformasi di tingkat nasional dan local. Kemitraan membangun hubungan penting antara semua tingkat pemerintahan dan masyarakat sipil untuk meningkatkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia secara berkelanjutan.Kemitraan didirikan pada bulan Maret tahun 2000 sebagai sebuah proyek Program Pembangunan PBB (United Nations Development Program/UNDP)

[5] http://www.wilayahperbatasan.com/#

[6] http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150815kompas/#/1/

[7] Permendesa no 5 tahun 2015

[8] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/12/08/ng8vbj-jk-klaim-pemerintahannya-paling-mengerti-dunia-usaha

[9] http://www.kemenkeu.go.id/Berita/tekan-pendanaan-infrastruktur-dari-apbn-pemerintah-dorong-kps

[10] http://www.shnews.co/detile-150428110–div-revisi-skema-kps-swasta-diandalkan-bangun-infrastruktur-div-div-div-.html#

[11] http://www.pu.go.id/main/view_pdf/9302

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*