Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Negara Khilafah

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Perdagangan luar negeri negara khilafah adalah perdangan antara khilafah dengan negara lain, baik impor maupun ekspor, dengan Muslim maupun non-Muslim. Dalam urusan perdagangan ini, sepenuhnya oleh negara dan ditujukan untuk memperkuat stabilitas politik dalam negeri, dakwah Islam dan perekonomian dalam negeri. Karena itu, pintu perdagangan luar negeri tetap melalui kebijakan one gate, yaitu Departemen Luar Negeri.

Kontrol khilafah dalam perdagangan luar negeri mutlak diperlukan, sebab faktor yang diperhatikan dan diatur dalam perdagangan luar negeri bukanlah komoditas yang diperdagangkan antara dua negara, tetapi pemilik komoditas atau negara asal dari komoditas tersebut. Kebijakan seperti ini didasarkan pada sebuah anggapan, bahwa perdagangan luar negeri harus mengikuti hukum Islam yang mengatur interaksi negara khilafah dengan negara-negara lain (negara kafir). Atas dasar itu, perusahaan atau warga negara khilafah  tidak boleh melakukan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa seizin negara.

Dalam pandangan Islam, geopolitik dunia bisa dipetakan menjadi dua, Dar al-Islam [Wilayah Khilafah] dan Dar al-Kufur [Bukan Wilayah Khilafah]. Dar al-Kufur, yang berada di luar wilayah khilafah, kemudian bisa dipetakan menjadi: Kafir Harbi Fi’lan [Kafir yang Musuh Riil], dan Kafir Harbi Hukman [Kafir Musuh Potensial]. Disebut Kafir Harbi Fi’lan karena secara riil memerangi Islam dan kaum Muslim, seperti Amerika, Rusia, Israel, Prancis, Inggris dan Australia. Disebut Kafir Harbi Hukman, karena tidak memerangi Islam dan kaum Muslim, tetapi berpotensi melancarkan serangan.

Negara Kafir Harbi Hukman ini adakalanya mengikat perjanjian dengan negara khilafah. Karena itu, disebut Daulah Mu’ahadah [Negara yang terikat perjanjian]. Ada yang tidak terikat dengan perjanjian, tetapi meminta perlindungan kepada negara khilafah. Karena itu, disebut Musta’man [Mendapat jaminan keamanan]. Klasifikasi seperti ini mutlak dilakukan untuk menetapkan ketentuan hukum perdagangan luar negeri dengan mereka.

Ekspor dan Impor

Adapun perdagangan luar negeri Negara Khilafah  dapat dipilah menjadi dua, yakni yang berhubungan dengan ekspor komoditas ke luar, dan impor komoditas dari luar.

Berhubungan dengan ekspor komoditas ke luar negeri, ketentuannya adalah sebagai berikut:

  1. Warga negara Muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang menjadi warga negara dalam khilafah) dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain kepada negara, perusahaan, atau warga negara Dar al-Kufur, jika komoditas tersebut digunakan untuk memerangi khilafah. Adapun barang-barang yang tidak strategis, seperti pakaian, makanan, perabotan, souvenir dan lain-lain, maka seorang Muslim atau kafir dzimmi boleh menjualnya kepada negara k Namun, jika ketersediaan komoditas-komoditas tersebut di dalam negeri amat sedikit dan akan membahayakan ketahanan ekonomi khilafah, maka negara khilafah melarang warga negaranya, baik Muslim maupun kafir dzimmi, menjualnya ke negara kafir.
  2. Perdagangan luar negeri dengan negara Kafir Harbi Fi’lan, yakni negara kafir yang memiliki hubungan permusuhan dan peperangan secara langsung dengan negara khilafah, jelas diharamkan. Terhadap negara seperti ini, khilafahtidak akan mengizinkan warga negara maupun perusahaan-perusahaan yang berada di dalam negeri khilafah untuk melakukan perdagangan luar negeri dengan negara Kafir Harbi Fi’lan, apapun komoditasnya. Pasalnya, melakukan perdagangan luar negeri dengan negara-negara Kafir Harbi Fi’lan termasuk dalam ta’âwun yang dilarang.

Adapun ketentuan yang berhubungan dengan impor komoditas dari luar negeri dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Khilafahmengizinkan kaum Muslim dan kafir dzimmi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara k Terhadap Kafir Mu’ahad, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan khilafah, maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari negara khilafah, maupun komoditas yang mereka ekspor ke negara khilafah. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari negara khilafah. Namun, orang kafir yang membuat perjanjian dengan khilafah (Kafir Mu’ahad) dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannya ke dalam negara khilafah.
  2. Terhadap negara Kafir Harbi Fi’lan, tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Yang ada hanyalah hubungan perang. Atas dasar itu, kaum Muslimdibolehkan merampas harta mereka atau memerangi mereka di manapun mereka jumpai.
  3. Kafir Harbitidak dibolehkan masuk ke wilayah khilafah, kecuali ada izin masuk (visa) dari negara. Jika mereka masuk tanpa visa, mereka diperlakukan sebagaimana halnya Kafir Harbi Fi’lan, yakni harta dan jiwa mereka tidak mendapatkan perlindungan.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perdagangan luar negeri negara khilafah  dikontrol sepenuhnya oleh negara. Warga negara khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim, dilarang melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir, tanpa seizin khilafah. Karena itu, di perbatasan-perbatasan wilayah khilafah dengan negara-negara kafir, harus ada pengawas (mashalih) yang bertugas memantau lalu lintas orang yang masuk dan keluar dari  khilafah.

Proteksi dan Neraca Perdagangan

Proteksionisme adalah politik perdagangan luar negeri yang dianut oleh ekonom kapitalis. Teori ini mengharuskan keterlibatan negara untuk mewujudkan apa yang disebut keseimbangan neraca perdagangan luar negeri. Kebijakan ini ditujukan untuk memengaruhi neraca perdagangan (balance of trade) dan memecahkan masalah kelemahan ekonomi nasional.

Dalam konteks tertentu, khilafah  juga melakukan sejumlah proteksi untuk melindungi stabilitas ekonomi. Hanya saja, proteksi yang dilakukan oleh khilafah tidak sama dengan proteksi yang dilakukan oleh negara kapitalis. Proteksi yang dilakukan oleh khilafah tidak ditujukan untuk melindungi stabilitas ekonomi saja, tetapi juga ditujukan untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Di sisi lain, kebijakan proteksi yang dianut khilafah selalu sejalan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam interaksi dengan negara-negara kafir. Misalnya, jika negara kafir mengenakan tarif 20 persen atas komoditas kaum Muslim yang masuk ke negara mereka, maka khilafah juga akan mengenakan tarif yang sama terhadap komoditas-komoditas mereka yang masuk ke dalam negara khilafah.

Adapun mengenai cukai yang dikenakan atas komoditas perdagangan yang keluar masuk di wilayah khilafah tentu berbeda dengan cukai yang dipraktikkan pada perdagangan luar negeri sekarang. Cukai ini dikenakan kepada pelaku perdagangan dari negara kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga negara khilafah, baik Muslim atau kafir dzimmi, maka sama sekali tidak dikenakan cukai, baik komoditas yang mereka ekspor maupun yang mereka impor ke negara kafir. Penetapan cukai atas orang-orang kafir ditentukan berdasarkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan seperti di ini.

Dengan diterapkannya sistem emas dan perak sebagai standar baku mata uang, maka terjadinya defisit neraca perdagangan negara khilafah juga bisa dihindari. Karena, kurs valuta bersifat tetap, sehingga inflasi nol. Dengan tidak terjadinya inflasi, berarti neraca perdagangan dari aspek selisih pertukaran mata uang pun bisa dihindarkan. Dengan begitu, defisit neraca perdagangan pun bisa dihindari.

Di sisi lain, negara khilafah juga mempunyai bahan-bahan mentah yang dibutuhkan umat dan negara, sehingga tidak membutuhkan lagi barang-barang tersebut dari luar. Karena itu, negara khilafah sudah bisa swasembada, dan tidak perlu mengimpor dari luar. Ini akan menjadikan emas dan perak, sebagai mata uang negara khilafah, tetap tidak keluar. Negara khilafah, misalnya, mempunyai cadangan minyak, gas, batubara dan tambang lainnya yang sangat kaya. Dalam hal ini, negara bisa menjual keluar dengan dibayar emas, atau barter dengan barang yang dibutuhkan, atau dengan mata uang keras untuk mengimpor barang dari luar.

Semuanya ini akan menjadikan perekonomian negara sangat kuat. Inflasi di dalam negeri, baik karena faktor kurs valuta asing maupun impor dengan menggunakan valuta asing bisa dihindari. Dengan begitu, neraca perdagangan negara khilafah tidak akan pernah mengalami defisit, akibat nilai tukar.[]

Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 160

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*