Menteri di era pemerintahan SBY-Boediono ikut angkat suara terkait polemik lahirnya Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang hate speech atau ujaran kebencian. Mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin melihat, surat itu bernuansa politis.
Dia menduga ada agenda tersembunyi dari penguasa/petinggi institusi tertentu agar dianggap berkinerja baik, sehingga menekan masyarakat.
“Hate speech isinya sangat ekstrem itu ada dugaan ada agenda tertentu. Dengan adanya surat edaran ujaran kebencian itu membuat masyarakat kreatif terbelenggu,” kata Amir saat jumpa pers menyikapi surat edaran Kapolri tentang ujaran kebencian (Hate Speech) di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (4/11).
Dia mengakui, ujaran kebencian sudah lama diatur dalam KUHP. Lahirnya surat edaran Kapolri justru dianggap aneh karena sebelumnya sudah diatur dengan payung hukum UU.
“Ujaran kebencian sudah diatur di dalam undang-undang. Hanya saja dimasukan pasal 310 dan 311 KUHP, serta pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik sebagai acuan dalam penegakan hukum,” paparnya.
“Surat ujaran kebencian kenapa baru muncul sekarang?, pesan kepada penegak hukum agar di dalam melakukan langkah penegakan hukum baiknya secara konsisten agar tidak muncul reaktif masyarakat. Karena masyarakat sudah cerdas,” bebernya.
Politisi Partai Demokrat yang juga pengacara senior ini mengajak koleganya sesama advokat untuk mengkritisi surat Kapolri. Dia berharap advokat bersuara. Peranan advokat tidak hanya duduk diam dan harus aktif bila ada situasi seperti ini. Namun dalam menyikapi ini tidak bisa gegabah dan tetap harus objektif.
Jika nantinya sudah diterapkan, dia mengingatkan kepolisian agar konsisten menindak semua pelaku penyebar kebencian di media sosial, tanpa tebang pilih.
“Hasutan-hasutan di media sosial masih banyak terjadi, fungsi ciber crime seharusnya menangkap dan diproses sampai prosesnya berjalan, seharusnya ada tuntutan dan diadili,” tegasnya. (merdeka.com, 4/11/2015)