[Al-Islam edisi 781, 8 Shafar 1437 H – 20 November 2015 M]
APBN 2016 telah disetujui oleh DPR. Besaran anggaran belanja APBN 2016 mencapai Rp 2.095,72 trliliun. Anggaran pendapatan direncanakan sebesar Rp 1.822,54 triliun dengan rencana defisit sebesar Rp 273,178 triliun atau 13,1 persen.
Beban Pajak Rakyat Makin Berat
APBN 2016 bertumpu pada pendapatan pajak dan cukai. Direncanakan, penerimaan pajak Rp 1.360,1 triliun atau 74,6 persen serta penerimaan bea dan cukai Rp 186,5 triliun atau 10,23 persen. Total penerimaan perpajakan itu Rp 1.546,6 triliun atau 84,8 persen dari penerimaan APBN 2016.
Pajak makin dijadikan sandaran penerimaan negara. Sebaliknya, penerimaan dari sumberdaya alam dan BUMN justru tidak dioptimalkan. Ini sungguh aneh! Pasalnya, negeri ini memiliki kekayaan alam yang sangat besar dan BUMN yang jumlahnya 130 lebih. Namun, sumbangan penerimaan dari hasil kekayaan alam dan BUMN justru tidak dinaikkan.
Target penerimaan pajak yang makin besar itu terlalu pede. Pasalnya, dalam perekonomian yang melambat, optimisme penerimaan pajak dengan basis asumsi seolah-olah ekonomi berjalan normal jelas kurang sejalan. Perusahaan dan pelaku usaha akan sulit ditingkatkan pungutan pajaknya dalam situasi perekonomian melambat. Selama lima tahun ini saja, realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target. Untuk tahun 2015 ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat realisasi penerimaan pajak per 4 November 2015 hanya mencapai Rp 774,5 triliun, setara 59,8 persen dari target Rp 1.294,3 triliun. Padahal tahun ini tinggal satu setengah bulan lagi. Untuk mencapai realisasi target 80 persen saja tentu sulit.
Untuk merealisasi target penerimaan pajak pada 2016 itu bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan perluasan wajib pajak, dengan memperbanyak individu dan perusahaan yang membayar pajak. Pihak yang selama ini mendapat fasilitas keringanan pajak seperti UMKM, sektor informal, dan sebagainya mungkin tidak akan ada lagi. Pelaku usaha kecil dan menengah seperti pedagang pasar, toko kelontong, warung dan sejenisnya mungkin akan dikenai pajak.
Kedua, dengan mengatur besaran pajak dan cara penghitungan pajak. Kemungkinan penghasilan akan dikenai pajak progresif yang nilainya akan makin besar. Yang termasuk dalam cara ini adalah mengubah penghitungan pajak menjadi dari total omset, bukan dari penghasilan riil, yakni keuntungan dari usaha.
Peningkatan penerimaan pajak itu bermakna, beban bagi rakyat akan makin besar. Padahal selama ini beban rakyat sudah amat berat.
Di sisi lain, negeri ini memiliki kekayaan alam yang sangat besar. Misal, cadangan terbukti yang dikuasai Freeport saja total potensi pendapatannya bisa mendekati Rp 2.000 triliun. Ini baru dari satu tambang. Sayang, kekayaan yang besar itu bukannya dimaksimalkan untuk penerimaan negara dengan dikuasai dan dikelola langsung oleh negara, tetapi malah diserahkan kepada swasta bahkan asing. Ironis! Rakyat diharuskan menanggung pembiayaan negara—antara lain lewat pajak—yang makin berat, pada saat yang sama kekayaan sangat besar milik rakyat justru diserahkan kepada swasta/asing. Ini jelas pengkhianatan terhadap rakyat. Pengkhianatan itu secara sadar dilakukan oleh penguasa, para wakil rakyat dan politisi. Sungguh hal itu dalam pandangan Islam merupakan kemaksiatan. Rasul saw. bersabda:
« مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرعِيهِ اللهُ رَعِيَّة، يَموتُ يَوْمَ يَمُوتُ وهو غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلا حَرَّمَ اللهُ عليه الجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba yang Allah angkat untuk mengurusi urusan rakyat itu mati pada hari dia mati, sementara dia menipu (mengkhianati) rakyat, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rezim Anti Subsidi
Total subsidi pada APBN 2016 hanya sebesar Rp 182,6 triliun. Subsidi energi hanya sebesar Rp 102,1 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan gas sebesar Rp 63,7 triliun serta subsidi listrik sebesar Rp 38,4 triliun. Subsidi listrik itu turun 37,6 triliun dari APBN-P 2015 yang Rp 76 triliun. Artinya, subsidi listrik pada APBN 2016 dipangkas 49,47 persen dari APBN-P 2015. Dari subsidi listrik 38,4 triliun itu hanya sekitar Rp29,39 triliun untuk subsidi berdaya 450 VA-900 VA yang selama ini masih mendapat subsidi. Sisanya adalah untuk membayar kurang bayar (carry over) tahun ini.
Akibat dari pemangkasan subsidi listrik itu, Pemerintah hanya akan memberikan subsidi listrik untuk rumah tangga pengguna 450VA dan 900VA yang terkategori miskin. Berdasarkan catatan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), pelanggan listrik yang boleh memakai dua klasifikasi tersebut hanya mencapai 24,7 juta rumah tangga. Dengan begitu, dari 45 juta rumah tangga pengguna 450VA dan 900VA, sebanyak 22,3 juta rumah tangga pada tahun 2016 tidak lagi boleh menerima subsidi. Mereka diberi pilihan untuk naik daya ke 1300VA secara gratis. Jika tidak, mereka harus membayar harga listrik tanpa subsidi. Untuk pengguna 450VA akan mengalami kenaikan tarif 250 persen dan pengguna 900VA akan naik 150 persen!
Awalnya, skenario itu akan diterapkan mulai 1 Januari 2016, namun akhirnya ditunda setidaknya enam bulan. Artinya, itu akan diberlakukan pada Juli 2016. Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM memastikan menunda pencabutan subsidi tarif dasar listrik hingga enam bulan mendatang.
Penghapusan subsidi tarif listrik itu akan menambah jumlah penduduk miskin. Menurut Kepala BPS, Suryamin, penghapusan subsidi listrik secara otomatis akan semakin menekan pendapatan dan daya beli masyarakat. Penghapusan subsidi tarif listrik itu bakal menyumbang inflasi nasional sekitar 0,4 persen.
Menurut Riyanto, peneliti ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Univeritas Indonesia, jika tarif dasar listrik naik maka orang miskin bertambah 3-5 juta orang. Berdasarkan BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2015 mencapai 28,59 juta jiwa.
Subsidi pupuk juga dipangkas Rp 9,4 T dari Rp 39,9 T pada APBN 2015 menjadi Rp 30 T di RAPBN 2016. Akibatnya, harga eceran tertinggi (HET) pupuk akan dinaikkan.
Penghapusan subsidi pada APBN secara terus-menerus membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR selama ini anti subsidi. Penghapusan subsidi itu akan makin memberatkan beban rakyat yang sudah sangat berat. Sungguh tindakan demikian menyalahi syariah Islam. Bahkan Rasul saw. pernah berdoa:
« اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئاً فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ »
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi suatu urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkan dia. Siapa saja yang mengurusi suatu urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia (HR Muslim dan Ahmad).
Gemar Menumpuk Utang
APBN 2016 dianggarkan defisit Rp 273,178 triliun atau 13,1 persen. Untuk menutup defisit (kekurangan) itu, Pemerintah merencanakan akan menarik utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 326,3 triliun, utang dalam negeri Rp 3,3 triliun dan utang luar negeri Rp 72,84 triliun. Hal itu hanya akan membuat negeri ini terjerat utang makin dalam.
Dari data Profil Utang Pemerintah Pusat edisi Agustus 2015, total cicilan bunga tahun 2009-2014 ditambah cicilan pokok 2014 dan APBNP 2015 saja mencapai Rp 1.107,556 triliun. Meski sudah begitu besar cicilan pokok dan bunga yang dibayar, nyatanya total utang Pemerintah bukan berkurang, tetapi malah terus membengkak. Data Profil Utang Pemeirntah Pusat edisi Oktober 2015 menunjukkan, hingga 30 September 2015, total utang Pemerintah Pusat Rp 3.091,06 triliun.
Semakin besar utang berarti makin besar bahaya bagi negeri ini. Pasalnya, selama ini utang luar negeri menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan Pemerintah. Artinya, utang menjadi alat penjajahan asing, antara lain dengan mendiktekan UU di negeri ini sesuai keinginan mereka, bahkan sejak pembuatan draft-nya. Lahirlah banyak UU bercorak liberal yang lebih menguntungkan mereka dan merugikan rakyat.
Selain itu, saat utang makin menumpuk, APBN yang notabene uang rakyat makin tersedot untuk bayar utang plus bunganya. Semua itu adalah untuk kepentingan para pemilik modal, termasuk pihak asing. Sebaliknya, alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat, khususnya dalam bentuk subsidi, terus dikurangi bahkan bakal dihilangkan sama sekali.
Wahai Kaum Muslim:
Sistem anggaran neoliberal yang anti subsidi dan gemar berutang harus sesegera mungkin disudahi. Sesegera mungkin sistem ini harus diganti dengan sistem anggaran yang bisa menjamin kekayaan milik rakyat digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan lebih banyak untuk kesejahteraan swasta dan asing. Sistem anggaran yang demikian hanya akan terwujud dengan menerapkan sistem ekonomi Islam sekaligus menerapkan syariah Islam secara total dan menyeluruh dalam institusi negara. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ …[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian…” (TQS al-Anfal [8]: 24).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam
Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke MKD DPR dengan dugaan pencatutan nama Presiden dan Wapres untuk meminta saham PT Freeport. Dokumen laporan itu bocor dan beredar di media sosial Facebook (Detik.com, 17/11).
- Awas, jangan sampai polemik itu memalingkan dari persoalan yang lebih besar, yaitu perpanjangan kontrak Freeport.
- Itu boleh jadi salah satu akal-akalan untuk mengalihkan isu sehingga perpanjangan kontrak Freeport bisa mulus dilakukan.