Pemilu Parlemen Myanmar: Mengadili Demokrasi

pemilu myanmaroleh Dr Nazreen Nawaz

Pada hari Minggu 8 November, Myanmar mengadakan apa yang dikatakan oleh pemerintah Barat dan masyarakat internasional sebagai tonggak baru dalam pemilu parlemen dan “proses demokrasi bersejarah” setelah lima dekade pemerintahan militer. Pemilu ini dipuji sebagai ‘tonggak’ dalam masa transisi Burma menuju demokrasi dan refleksi atas sejauh mana reformasi demokratis yang dilakukan oleh Negara itu. Namun, di balik gembar-gembor yang disebut sebagai ‘tonggak’ dalam pemilu ini, sikap yang dipicu oleh kebencian anti-Muslim telah diabaikan oleh berbagai partai politik yang bersaing demi kekuasaan untuk menang, dan penganiayaan dan diskriminasi yang terhadap Muslim Rohingya terus berlanjut. Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan Partai (USDP) yang berkuasa meloloskan undang-undang anti-Muslim dan memanfaatkan sentimen anti-Muslim yang disebarkan dalam masa persiapan menjelang pemilu oleh para ekstrimis dan nasionalis Budha dan para biksu radikal yang mendukung partai itu, untuk mendapatkan keuntungan dari para pemilih yang mayoritas beragama Buddha. Sementara itu, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh seorang perempuan muda anak emas Barat untuk perubahan demokratis di negara, Aung San Suu Kyi, sengaja mengabaikan genosida yang sedang berlangsung terhadap Rohingya, dan tidak mau berbicara untuk menentang hal itu. Semua ini terjadi dengan dilatar belakangi meningkatnya represi dan memburuknya kondisi hidup yang dihadapi Rohingya dimana masyarakat internasional telah mendorong hal itu sebagai wacana politik yang berkaitan dengan Myanmar agar tidak membayang-bayangi pemilu yang mereka pandang sebagai sebuah kemenangan bagi demokrasi.

Komentar:

Kaum Muslim Rohingya telah menjadi ‘domba kurban’ dalam proses demokrasi  yang ‘bersejarah’ yang  hanya menunjukkan kelemahan yang melekat dari ‘Demokrasi’. Pertama, bagaimana bisa terjadi sistem yang memungkinkan para politisi dan partai untuk menebarkan kecurigaan dan dan kebencian terhadap etnis atau agama minoritas untuk memenangkan kekuasaan, dipandang sebagai model yang sukses yang digunakan untuk mengatur masyarakat? Partai USDP tidak diragukan lagi memberlakukan sentimen anti-Muslim untuk memenangkan suara dalam pemilu yang demokratis. Ini adalah alat yang telah digunakan oleh para politisi di sejumlah negara demokrasi Barat, termasuk Perancis, Inggris, Australia, dan Kanada untuk memenangkan faktor xenophobia (ketakutan terhadap orang asing) dari para pemilih mereka, hal yang diterima di bawah payung ‘pluralisme’ atau ‘kebebasan ekspresi’ liberal. Serangan terhadap Islam oleh Front Nasional di Perancis, atau retorika anti-Muslim dari mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbot, atau monsterisasi niqab oleh mantan Presiden Perancis Nicholas Sarkozy dan mantan Perdana Menteri Kanada Stephen Harper hanya beberapa contoh digunakannya kebencian terhadap agama Islam dalam negara sekuler untuk memenangkan pemilu – yang semuanya ditolerir oleh sistem ‘demokrasi’ mereka.

Kedua, apa yang dikatakan tentang demokrasi, saat Liga Nasional untuk Demokrasi, dan pemimpinnya Suu Kyi, yang menjadi ikon demokrasi, untuk tetap mengabaikan pembersihan etnis kaum minoritas agama dan bermain bersama dengan semangat anti-Muslim di dalam negeri untuk mendapatkan suara? Mark Farmaner, Direktur pada Burma Campaign di Inggris berkomentar mengenai respon perasaan anti-Muslim dari NLD yang dipicu oleh etnis Buddha, “Respon dari NLD adalah lose-lose (kalah) mengenai masalah ini karena alih-alih menghadapi nasionalisme Buddha dan menyerukan multi-etnis negara dan multi-agama yang toleran, NDL telah mencuri dari kaum nasionalis dan kaum biarawan ekstrimis. “Saat Suu Kyi mengunjungi negara bagian Rakhine pada bulan Oktober untuk kampanye dia bahkan tidak mengunjungi kamp pengasingan bagi Rohingya di provinsi itu atau mengungkapkan bagaimana dia akan menghentikan tindakan apartheid terhadap kaum Muslim. Jelas ada beberapa keuntungan pemilu yang akan diperolehnya saat berbicara mengenai kaum minoritas tertindas yang tidak berkewarganegaraan yang telah ditolak memberikan suaranya di bawah UU Myanmar. Selanjutnya, dalam konferensi pers yang diadakan di Yangon, hari Kamis  tanggal 5 November, saat ditanya apakah dia akan mengutuk genosida kaum Muslim Rohingya, Aung San Suu Kyi mengatakan kepada media internasional, “Sangat penting bahwa kita jangan membesar-besarkan masalah ini.” Ini disampaikainnya hanya beberapa hari setelah ada dua laporan dari para ahli internasional yang diterbitkan mengenai genosida yang dihadapi penduduk Rohingya. Sebuah klinik dari Yale Law School  yang bekerja untuk LSM yang berbasis di Bangkok Fortify Rights menyatakan bahwa mereka telah menemukan, “bukti kuat bahwa genosida sedang dilakukan terhadap penduduk Rohingya.” Dan sebuah laporan oleh British Research Institute yang merupakan hasil dari penyelidikan oleh International State Crime Initiative pada Queen Mary University of London, menyatakan bahwa penduduk Rohingya Myanmar dalam “tahap akhir proses genosida” yang sebanding dengan yang dilakukan oleh Nazi Jerman pada tahun 1930 dan Rwanda pada tahun 1990. Selain itu, Komisaris Tinggi PBB untuk pengungsi telah memperingatkan bahwa mereka memperkirakan eksodus berikutnya kaum Rohingya dari Myanmar untuk segera memasuki ‘musim berlayar’ –  sebagai akibat yang mengerikan, dan kondisi kotor yang mereka hadapi di kamp-kamp pengasingan dan tidak adanya kebebasan yang terus menerus unutuk bergerak dan mendapatkan akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan perawatan medis. Karena itu apa yang dapat dikatakan tentang sistem yang pendukung setianya senantiasa mencari kekuasaan sebagai tujuan tertinggi di atas pembicaraan menentang penindasan, atau berdiri untuk kemanusiaan dan martabat rakyat dan hak-hak dasar?

Terlepas dari kemenangan telak oleh NLD dalam pemilu ini, demokrasi  sedang  diadili, dan keputusannya adalah bahwa ini adalah model politik yang rusak. Memang, setiap sistem yang mendukung kepentingan-kepentingan politik di atas prinsip-prinsip moral hanya memegang janji-janji yang bahaya dan menimbulkan kegagalan bagi masyarakat. Berbeda sekali, Nabi ﷺ tidak pernah berkompromi atau meninggalkan satupun prinsip-prinsip Islam saat mencari otoritas politik untuk menerapkan Islam sebagai sistem negara. Ini adalah sifat dari politik Islam di mana nilai-nilai moral, termasuk sikap melawan penindasan tidak pernah bisa dicampakkan demi mendapatkan kekuasaan atau keuntungan politik. Prinsip yang sama ini dianut oleh sistem politik Islam, Khilafah, di mana menghasut kebencian terhadap ras, etnis, atau komunitas agama tidak bisa ditoleransi untuk tujuan apa pun, dan di mana kaum minoritas dilindungi dan dijamin hak-haknya dan tidak digunakan sebagai pakan ternak untuk memuaskan nafsu makan dari selera politik para politisi yang haus kekuasaan.

 

Dr Nazreen Nawaz

Direktur Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*