Arim Nasim : Liberalisasi Migas Lebih Berbahaya Dari Mafia Migas

Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI Arim Nasim menilai, sebenarnya negara tidak hanya dirugikan oleh keberadaan praktik-praktik ‘kotor’ seperti suap dan mark-up dalam pengelolaan migas sehingga pengelolaan migas menjadi karut marut seperti sekarang.

Menurutnya, ada hal lain yang  lebih besar dampak terhadap rakyat yaitu liberalisasi migas yang sekarang seolah-olah tidak dipermasalahkan lagi baik liberalisasi di sektor hulu maupun hilir.

“Liberalisasi migas ini dampaknya lebih besar dibandingkan mafia migas yang terjadi ditubuh Petral,” kata Arim.

Ia mengungkap kembali praktik liberalisasi itu yaitu dengan disahkannya  Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001 yang draftnya dibuat oleh USAID dan didukung oleh IMF serta Bank Dunia  kemudian disahkan oleh anggota DPR.

Menurutnya, UU itu jelas-jelas mengokohkan liberalisasi sektor migas yaitu  melepaskan monopoli negara atas migas melalui BUMN dalam hal ini Pertamina kepada swasta. Ia pun memaparkan Pasal 9 ayat 1 yang berbunyi :  Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta.

Ia menjelaskan, kata “dapat” pada pasal 9 ayat 1 inilah yang menyebabkan adanya liberalisasi migas karena ekplorasi migas itu boleh dilakukan  oleh BUMN dan swasta yang selama ini dikuasai  oleh pemerintah melalui Pertamina bahkan kedudukan mereka sama baik pertamina ataupun swasta.

“Dan hasilnya memang luar biasa hampir 90 persen  sumber minyak kita dikuasai oleh swsata baik lokal maupun asing, dan di pemerintah Jokowi liberalisasi migas sudah totalitas dilaksanakan dengan menyerahkan harga ke mekanisme pasar tanpa ada subsisdi,” tandas Arim.

Walhasil, menurutnya, menghentikan mafia migas tanpa mencabut  UU Migas No. 22 Tahun 2001 hanyalah retorika untuk menutupi pengkhianatan penguasa dan anggota DPR yang sangat merugikan rakyat dan menguntungkan para kapitalis.

Hingar bingar berita mafia migas kembali muncul, setelah hasil audit forensik PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) diselesaikan oleh lembaga auditor independen, Kordamentha.

Hasil audit Petral selama 2012 sampai 2014 menemukan ada tiga kejanggalan. Pertama, kebijakan Petral dalam proses pengadaan minyak dan membuat harga minyak melangit. Kedua, adanya kebocoran informasi rahasia Petral.

Sementara yang terakhir, adanya pengaruh pihak eksternal di bisnis Petral, ada beberapa hal yang memengaruhi proses bisnis tersebut dalam hal pengembangan bisnis.  Kejanggalan-kejanggalan tersebut menyebabkan diskon harga yang didapatkan Petral menjadi lebih kecil dari yang seharusnya didapatkan, sehingga negara dirugikan.

Hasil auditor independen ini berbeda dengan hasil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang  sudah melakukan audit kepada Petral sebelumnya. Akan tetapi, audit tersebut tidak menyeluruh dan hasilnya pun wajar dalam pengadaan minyak serta Bahan Bakar Minyak (BBM).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengungkapkan, perbedaan hasil audit BPK yang notabene dari negara dengan auditor independen, Kordamentha menimbulkan keanehan. “Jangan audit hanya untuk motif politik. Jangan sampai ada kesan bahwa Kordamenta independen, tapi kan yang bayar Pertamina juga. Jangan mentang-mentang Pertamina bayar hasilnya beda,” ucap Satya di gedung Dewan Pers, Jakarta, Ahad (15/11).

Pengamat energi Marwan Batubara memberikan catatan dari hasil audit forensik anak usaha PT Pertamina (Persero) itu. Menurut Marwan, permasalahan Petral yang disebut-sebut sebagai sarangnya mafia minyak dan gas bumi (migas) adalah isu publik yang sekian lama sudah terdengar hingga ke kuping masyarakat sejak tahun 2000. Ia meminta Pertamina mau transparan terhadap seluruh proses yang ada. [LM]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*