Saat ini banyak orang yang sudah tidak peduli lagi dengan rasa malu, kehormatan dan harga dirinya. Banyak Muslim yang sudah tidak lagi memiliki muru’ah. Apa saja yang dia suka, dia makan. Apa saja yang dia inginkan, dia lakukan. Apa saja yang dia maui, dia sikat. Tak peduli halal-haram, dosa-pahala, atau surga-neraka. Yang penting dia senang dan bahagia, tentu berdasarkan kriteria hawa nafsunya.
Zina tak lagi dianggap nista. Perkawinan sejenis tak lagi dianggap miris. Mengumbar aurat tak lagi dinilai maksiat. Pornografi-pornoaksi tak lagi dipandang tindakan jijik. Riba tak lagi diakui sebagai dosa. Korupsi sudah menjadi tradisi. Suap-menyuap telah menjadi ‘adat-istiadat’. Memberi penguasa/pejabat hadiah sudah dianggap lumrah. Melayani rakyat dipandang beban berat. Sebaliknya, melayani pengusaha dan konglomerat dianggap tindakan terhormat. Bahkan tunduk kepada pihak penjajah asing yang kafir pun dipandang mulia dan bermartabat. Semua itu akibat penghambaan mereka kepada dunia dan hawa nafsunya belaka. Inilah yang menjadikan mereka sudah lama kehilangan sikap muru’ah; hilang rasa malu, harga diri dan kehormatan mereka sebagai Muslim, bahkan sebagai manusia.
Mereka lupa bahwa hidup di dunia ini sementara. Semua yang disuka bakal sirna. Semua yang dicinta akan musnah. Semua yang dimiliki bakal tak punya arti. Semua yang dilakukan bakal diberi balasan. Demikianlah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jibril as. kepada Rasulullah saw. saat ia berkata, “Muhammad, hiduplah sesukamu karena engkau pasti akan mati; cintailah manusia sesukamu karena pasti kamu akan berpisah dengan dia; dan lakukanlah apa saja sesukamu karena pasti kamu akan mendapatkan balasannya.” (HR Abu Dawud dari Jabir ra.).
Orang yang telah hilang sikap muru’ah-nya dipastikan telah ‘hilang’ akalnya. Dalam arti, dalam menjalani kehidupannya ia tidak lagi menggunakan akalnya yang sehat. Perilakunya lebih banyak dikendalikan oleh hawa nafsu dan syahwatnya. Karena itu, benarlah sabda Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Abdullah bin Umar ra, “Kemuliaan seseorang itu ada dalam ketakwaannya. Kehormataan (muru’ah)-nya ada pada akalnya. Harga dirinya ada pada akhlaknya.” (HR al-Baihaqi dan Ibn Hibban).
Saat manusia ‘hilang’ akalnya, ia tak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan bisa jauh lebih sesat (Lihat: QS al-Furqan [25]: 44). Akibatnya, apa yang mungkin tidak pernah dilakukan oleh binatang ternak sangat mungkin dilakukan oleh manusia yang telah ‘hilang’ akalnya. Contoh: Praktik kehidupan homoseksualitas dan lesbianisme atau perkawinan sesama jenis, misalnya, mungkin amat langka bahkan mungkin tak pernah terjadi dalam dunia binatang yang normal. Kalaupun ada, itu pasti sebuah anomali. Faktanya, gaya hidup yang lebih rendah dari perilaku binatang itu ternyata terjadi bahkan marak dipraktikkan oleh sebagian manusia yang mengaku normal. Begitulah yang terjadi saat muru’ah telah lepas sama sekali dari manusia.
Alhasil, muru’ah wajib senantiasa dijaga oleh setiap Muslim. Tanpa memiliki sikap muru’ah, seorang Muslim sesungguhnya telah kehilangan sebagian harga diri dan kehormatannya. Sikap muru’ah, menurut Iman al-Mawardi, tidak lain adalah menjaga kepribadian atau akhlak yang paling utama sehingga tidak kelihatan pada diri seseorang sesuatu yang buruk atau hina. Menurut Abdullah al-Anshari al-Harawi, seorang tokoh mazhab Hambali, orang dikatakan memiliki sikap muru’ah jika akalnya dapat mengendalikan syahwatnya, yang dengan itu ia bisa mempraktikkan akhlak yang terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela.
Ibnu Qayim al-Jauziah membagi sikap muru’ah menjadi tiga. Pertama: muru’ah terhadap diri sendiri, yaitu mempraktikkan akhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela kendati tidak dilihat oleh orang lain. Misalnya, orang yang tetap menutup auratnya saat ke luar rumah sekalipun jauh dari keramaian atau tidak ada orang yang melihat dia. Kedua: muru’ah terhadap sesama manusia, yaitu senantiasa berakhlak luhur dan menjauhi akhlak tercela saat bergaul dengan sesama manusia. Ketiga: muru’ah terhadap Allah SWT, yaitu merasa malu terhadap Allah SWT sehingga membuat seseorang senantiasa berupaya melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Imam al-Mawardi memandang sikap muru’ah merupakan perhiasan pribadi seorang Muslim sekaligus menjadi bukti keutamaan budi dan menjadi tanda kemuliaannya. Lebih dari itu, sikap muru’ah adalah benteng yang bisa mencegah kita dari jalan hidup yang hina dan segala bentuk perilaku yang tercela. WalLahu a’lam. [] abi