Memburu Para Pemburu ‘Rente’

Al-Islam edisi 782, 15 Shafar 1437 H – 27 November 2015 M

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan meminta saham dari PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres JK. Dalam laporannya ke MKD menggunakan kop surat Kementerian ESDM, Sudirman menyebut Novanto bersama seorang pengusaha menemui Bos PT Freeport sebanyak tiga kali. Pada pertemuan ketiga, Novanto meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport. Sudirman mengaku mendapat informasi itu dari pimpinan Freeport.

Setya Novanto mengakui memang beberapa kali bertemu petinggi Freeport. Namun, Novanto membantah tuduhan dirinya mencatut nama Presiden dan Wapres. Ia mengatakan, Presiden dan Wapres adalah simbol negara yang harus dihormati dan dilindungi.

Meski kegaduhan itu terjadi, Pemerintah tidak berkeinginan membawa kasus ini ke ranah hukum. Sikap ini dirasa “aneh”. Pasalnya, jika memang tujuannya untuk mewujudkan Pemerintahan yang bersih, maka langkah hukum harus dilakukan. Setidaknya Jokowi dan JK bisa melaporkan Novanto dengan delik pencatutan, pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan. Kepolisian pun, seperti dikatakan oleh Kapolri, siap untuk mengusut dan memproses kasus ini. Hanya saja, untuk itu harus ada laporan dari Jokowi atau JK. Bukannya menempuh jalan itu, Pemerintah justru menyerahkan kasus ini ke jalur politis melalui MKD.

Pertarungan Politis

Kasus itu akhirnya memicu pertarungan politis antara kubu KIH dan KMP. Kubu KMP, setelah mendapat penjelasan dari Novanto, akhirnya mendukung dan membela Novanto. Sebaliknya, kubu KIH terus mendesak agar Novanto segera diproses. Pertarungan politis itu tergambar di MKD.

Pertarungan juga terjadi di dunia maya. Langkah Sudirman itu dikesankan menelanjangi sepak terjang Novanto dan pengusaha migas Reza sebagai pemburu rente. Sebelumnya, melalui audit forensik Petral periode 2012-2015, Sudirman juga menelanjangi praktek kotor di Petral yang diduga melibatkan Reza. Makin kuatlah citra Sudirman sebagai orang yang “bersih” dan “ingin memberantas mafia” pemburu rente di bisnis Migas dan tambang, apalagi ia termasuk pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI).

Seolah merespon hal itu, muncul tulisan tiga seri di Kompasiana dari yang menamakan diri Manusia Transparansi Indonesia (MTI) dengan judul, “Buka Dulu Topengmu, Sudirman Said!” Tulisan itu mengungkap profil Sudirman yang digambarkan tidaklah lebih bersih dari orang yang dia persoalkan.

Mana yang benar, waktu nanti akan mengungkap semuanya.

Jangan Teralihkan

Kegaduhan ini setidaknya mengungkap dua hal. Pertama: Para pemburu ‘rente’ masih berkeliaran. Pemburu rente itu memperdagangkan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk memuluskan pihak tertentu dan memenangkan kontrak demi mendapatkan imbalan materi.

Kasus ini menambah panjang daftar pemburu rente yang sudah terbukti di pengadilan seperti dalam kasus penguasaan hutan, konsesi lahan perkebunan, pembangunan pelabuhan, kontrak pembangunan pembangkit dan berbagai pengadaan lainnya. Makin lengkaplah daftar “mafia” yang ada: mafia peradilan, mafia jabatan, mafia tender, mafia kehutanan dan perkebunan serta mafia-mafia lainnya.

Kedua: Kegaduhan ini juga mengungkap betapa Freeport melakukan segala cara untuk segera memastikan perpanjangan kontraknya. Terungkap, rekaman pertemuan itu didapat dari pimpinan Freeport. Seandainya perpanjangan kontrak Freeport berjalan mulus, akankah rekaman itu diungkap? Kemungkinan besar tidak.

Kegaduhan soal pencatutan nama Presiden dan Wapres itu pada tingkat tertentu seolah mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan sebenarnya, yaitu persoalan perpanjangan kontrak Freeport.

Masyarakat hendaknya mencermati kejadian terkait pada rentang saat rekaman itu, 8 Juni 2015 hingga sekarang. Pada 8 Juni itu terjadi pertemuan Novanto dan Reza Chalid dengan Dirut Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, yang dihebohkan itu. Lalu pada 25 Juli 2015 ditandatangai MoU tahap ketiga yang memberikan perpanjangan ijin ekspor konsentrat kepada Freeport. Kemudian 31 Agustus 2015 ada surat Dirjen Minerba kepada Freeport bernomor 1507/30/DJB/2015. Surat itu berisi teguran karena Freeport dinilai tidak beritikad baik dan bermaksud tidak akan menyelesaikan amandemen kontrak karya (KK). Freeport juga dinilai tidak taat pada Pasal 169 huruf (b) UU Nomor 4 Tahun 2009.

Puncaknya, seolah sudah janjian sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said mengirim surat balasan kepada Bos Freeport McMoran Inc, induk PTFI, James R. Moffet. Surat tertanggal 7 Oktober 2015—sama dengan tanggal surat Moffet kepada Menteri ESDM—dengan nomor 7522/13/MEM/2015 tersebut memberikan sinyal kepastian investasi pasca berakhirnya kontrak karya di 2021.

Surat itu pada poin 4 bisa dipahami: Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan keberlanjutan investasi asing di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian peraturan di Indonesia. Ada janji bahwa persetujuan perpanjangan kontrak PTFI akan diberikan segera setelah hasil penataan peraturan dan perundangan di bidang minerba diterapkan.

Adanya janji “kepastian” perpanjangan kontrak Freeport dari Pemerintah dengan akan mengubah dulu peraturan dan UU agar sesuai dengan keinginan asing tentu sangat aneh.

Karena itu wajar jika Freport menagih janji Menteri ESDM Sudirman Said atas rencana perubahan aturan itu. Pasalnya, lewat perubahan aturan itu, Freeport bisa mendapat kepastian perpanjangan kontrak tahun ini serta bisa memberikan kepastian atas mekanisme penawaran divestasi (penjualan) 10,64 persen sahamnya. Karena itu Juru Bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, pihaknya belum akan melakukan divestasi sebelum Pemerintah menunaikan janjinya memberikan perpanjangan kontrak menjadi 2041. (Kompas.com, 24/11)

Jadi, persoalan besarnya adalah masalah perpanjangan kontrak Freeport. Kegaduhan yang terjadi belakangan tidak boleh mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan besar itu. Jika masyarakat lengah, janji Pemerintah, khsususnya Menteri ESDM Sudirman Said, untuk memperpanjang kontrak Freeport bisa dengan mulus terjadi.

Berantas Pemburu Rente, Hentikan Penyerahan SDA kepada Asing

Maraknya pemburu rente dalam bisnis migas dan tambang serta penyerahan kekayaan alam kepada asing adalah akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sesuai dengan doktrin kapitalisme, negara berwenang menentukan kontrak pemberian konsesi kekayaan alam kepada swasta dan asing. Wewenang itu dilegalkan melalui pembuatan peraturan dan UU. Hal itu sangat dimungkinkan karena penerapan sistem demokrasi memberikan wewenang membuat hukum kepada manusia, yakni Pemerintah dan Wakil Rakyat. Karena itu, jika sudah terlanjur ada peraturan dan UU yang menghambat, maka peraturan dan UU itu tinggal diubah saja. Itulah yang terjadi selama ini.

Hal itu tidak akan terjadi jika syariah Islam diterapkan secara total dan menyeluruh. Dalam sistem Islam, kekayaan alam Allah SWT tetapkan sebagai milik seluruh rakyat. Pemerintah tidak punya wewenang untuk menyerahkan kekayaan milik rakyat itu kepada swasta apalagi asing. Pemerintah justru diharuskan oleh Islam untuk mengelola langsung kekayaan alam itu. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara langsung atau dalam bentuk pelayanan dan fasilitas.

Siapapun tidak bisa mengubah ketentuan hukum itu. Sebab, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah. Manusia sama sekali tak punya wewenang untuk membuat hukum.

Pemerintah justru berkewajiban menerapkan hukum syariah. Dengan penerapan syariah, janji seperti yang diberikan Pemerintah melalui Menteri ESDM itu tidak akan bisa terjadi.

Dengan ketentuan hukum seperti itu, maka para pemburu rente tidak akan berkeliaran. Penguasa, pejabat dan politisi tidak bisa memperdagangkan kekuasaan dan pengaruhnya. Jika pun masih ada yang bisa menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruh untuk memperkaya diri atau orang lain maka mekanisme syariah bisa memberantasnya.

Di antaranya dengan mekanisme yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khathab, yaitu melalui pencatatan kekayaan para penguasa dan pejabat serta melakukan audit secara berkala. Jika didapati kekayaan yang tidak sewajarnya, pemiliknya harus membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh secara sah. Jika tidak, maka kekayaan itu bisa disita dan dimasukkan ke kas negara.

Wahai Kaum Muslim:

Apakah semua kebobrokan di atas layak untuk dipertahankan dan dilanjutkan? Tentu tidak. Semua kebobrokan itu harus diakhiri dengan menyudahi penerapan sistem dan hukum jahiliah itu, lalu diganti dengan penerapan sistem dan syariah Islam secara total serta menyeluruh.

[أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ]

Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50)

WalLâh a’lam wa ahkam. []

Komentar al-Islam:

Penyerahan hasil audit investigatif Kordamentha terhadap Petral oleh Menteri ESDM kepada KPK menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam mengambil langkah penyelesaian kasus Pertamina Energy Trading Limited secara obyektif dan terukur. Penerusan hasil audit ke KPK juga menunjukkan bahwa Pemerintah menilai masalah Petral adalah masalah hukum yang harus diselesaikan melalui saluran hukum (Kompas.com, 24/11). Jika benar, audit harus dilakukan bukan hanya 2012-2015, tetapi sejak awal Petral. Persoalan hukum yang lebih besar adalah penyerahan migas dan SDA kepada swasta apalagi asing. Itu yang lebih mendesak untuk dihentikan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*