Pandangan Ulama : Hukum Non Muslim Menjadi Penguasa Bagi Kaum Muslim

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Pada zaman sekarang, umat Islam banyak mendapatkan ujian. Diuji dengan orang-orang yang tampangnya bertampang ulama’, ustadz dan mufti, tetapi celakanya mereka mengeluarkan fatwa yang menyalahi al-Qur’an, as-Sunnah dan apa yang disepakati oleh para ulama’ Muktabar. Mereka memaksakan diri untuk beragumentasi dengan argumen yang janggal, aneh dan jauh dari Islam. Bahkan, tidak segan membajak nash-nash syariat untuk mendukung pandangan mereka.

Di antaranya, fatwa tentang kebolehan memberikan mereka kewenangan yang besar kepada orang Kafir, agar mereka menjadi penguasa kaum Muslim di negeri Islam. Mengurus dan mengelola urusan mereka. Dia juga berhak untuk ditaati.[1] Alasan mereka, antara lain, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam, telah diangkat menjadi penguasa dalam sistem pemerintahan Kafir.

Yang benar adalah, bahwa pendapat tersebut jauh dari kebenaran. Bahkan, jelas-jelas menyalahi kebenaran itu sendiri. Alasannya, antara lain:

Pertama, bahwa tugas utama penguasa kaum Muslim adalah menegakkan syariat Allah, menjunjung tinggi kalimah-Nya, mengurus dunia dengan agama, menjaga ketentuan hukum Allah, agama-Nya serta hak-hak hamba-Nya. Dalam hal ini, Khilafah merupakan wakil Nabi dalam menjaga agama, mengurus dunia dengan agama, dan bukan sekedar biasa. Imam al-Mawardi berkata, “Imamah itu dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama, mengurus politik, serta memberikan akad kepadanya bagi siapa saja sanggup memikulnya di tengah-tengah umat, hukumnya wajib.”[2]

Ibn Tamiyyah mengatakan, “Yang menjadi maksud yang wajib dalam kekuasaan itu adalah memperbaiki agama makhluk. Sebab, ketika agama itu hilang dari mereka, maka mereka pasti rugi serugi-ruginya. Dunia yang menjadi nikmat mereka pun tak ada gunanya. Untuk memperbaiki urusan duia mereka yang hanya bisa ditegakkan dengannya.”[3]

Logikanya, bagaimana mungkin orang Kafir yang tidak mengimani Islam bisa mengerjakan tugas ini? Bagaimana mungkin kita bisa meletakkan amanah untuk menjaga agama di depan orang yang jelas-jelas mengingkarinya?

Kedua, nash-nash syara’ telah menjelaskan, bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang Kafir yang memang asli Kafir, meski boleh jadi dia murtad setelah diangkat, namun begitu murtad, dia harus diberhentikan, dan kepemimpinannya pun gugur. Allah SWT. berfirman:

 

﴿ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا ﴾ [النساء: 141]

 “Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum Kafir untuk menguasai orang Mukmin.” [Q.s. an-Nisa’: 141]

Al-Qadhi Ibn al-‘Arabi menyatakan: “Allah SWT secara syar’i tidak memberikan jalan kepada orang Kafir untuk menguasai orang Mukmin. Jika pun ada, maka itu jelas menyalahi syara’.” [4] 

Allah SWT berfirman:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ﴾ [النساء: 59]

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta pemimpin di antara kalian.” [Q.s. an-Nisa’: 59]

Dengan frasa, “Minkum” [di antara kalian], menunjukkan bahwa pemimpin tersebut wajib dari kalangan umat Islam yang beriman. Karena seruannya dari permulaan ayat tersebut diarahkan kepada mereka.

Allah SWT juga berfirman:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ ﴾ [آل عمران: 118]

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” [Q.s. Ali ‘Imran: 118]

Imam al-Qurthubi mengatakan, “Melalui ayat ini, Allah telah melarang orang Mukmin untuk menjadikan kaum Kafir, Yahudi dan pemuja hawa nafsu untuk dijadikan sebagai teman kepercayaan yang keluar masuk [tempat kita] untuk bertukar pandangan, dan mereka menyerhkan urusan mereka kepadanya.” [5]

Jadi, bagaimana mungkin menjadikan mereka sebagai penguasa dan pemimpin untuk mengurusi berbagai urusan kita?

Allah SWT juga berfirman:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ﴾ [النساء: 144]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai pelindung [pemimpin] selain orang Mukmin.” [Q.s. an-Nisa’: 144]

 Ibn Katsir berkata, “Allah SWT. melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang Kafir sebagai pelindung [pemimpin], selain orang Mukmin. Artinya, Allah melarang mereka untuk dijadikan sahabat, teman, penasehat, dicintai serta tempat menyampaikan rahasia orang Mukmin.” [6]

Imam al-Qurthubi menambahkan, “Artinya, janganlah menjadikan mereka sebagai orang istimewa kalian dan kepercayaan kalian.” [7] 

Jika menjadikan mereka sebagai teman, membeberkan rahasia orang Mukmin kepada mereka, dan menjadikan mereka sebagai kepercayaan merupakan bentuk ber-muwalah yang dilarang ayat tersebut, maka tidak diragukan lagi, bahwa mengangkat mereka sebagai pemimpin urusan kaum Muslim, dan penguasa mereka jelas-jelas merupakan bentuk  muwalah yang lebih nyata dan sangat diharamkan.

Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiya-Llahu ‘anhu, berkata, “Kami diundang Rasulullah saw. Kami membai’at baginda, maka di antara yang baginda minta dari kami, hendaknya kami membai’at [baginda] untuk mendengar dan taat, baik ketika kami lapang maupun sempit, susah maupun senang.. dan hendaknya kami tidak merebut urusan tersebut dari yang berhak.” Baginda saw. bersabda, “Kecuali, jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, dimana kalian mempunyai bukti di hadapan Allah SWT.” [8]

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Kalau tampak kekufuran, mengubah syariat atau melakukan bid’ah, maka dia telah keluar dari hukum sahnya kepemimpinan. Ketaatan kepadanya pun gugur. Wajib bagi kaum Muslim untuk menentangnya, dan memberhentikannya. Lalu, mengangkat imam yang adil, jika memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya. Jika itu hanya bisa dilakukan sekelompok orang, maka mereka wajib memberhentikan orang Kafir tersebut.”[9]

Kedua, Ijmak kaum Muslim menyepakati, bahwa syarat Muslim bagi orang yang memegang tampuk pemerintahan, yang memerintah dan mengurus kaum Muslim. Orang Kafir tidak mempunyai hak memerintah dan mengurus urusan kaum Muslim, apapun alasan dan kondisinya.

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Ulama’ kaum Muslim sepakat, bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang Kafir. Jika kemudian tampak kekufuran padanya, maka dengan sendirinya diberhentikan. Begitu juga kalau meninggalkan kewajiban mendirikan shalat dan mengajak untuk mendirikan shalat.”[10]

Ibn al-Mundzir berkata, “Bahwa telah disepakati oleh Ahli Ilmu yang dihapal riwayatnya dari mereka, bahwa orang Kafir tidak berhak mempunyai kekuasaan terhadap seorang Muslim, apapun alasannya.” [11]

Ibn Hazm berkata, “Mereka sepakat, bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada seorang wanita, orang Kafir dan anak kecil.” [12]

Ibn Hajar al-Asqalani berkata, “Sesungguhnya seorang imam [kepala negara] akan terhenti dengan sendirinya, berdasarkan Ijmak, begitu dia kufur. Maka, kaum Muslim wajib untuk melakukannya [menghentikannya]. Siapa yang sanggup untuk melakukannya, maka dia akan mendapatkan pahala. Dia yang tidak serius melakukannya, maka dia berhak mendapatkan dosa. Siapa saja yang tidak mampu, maka dia wajib hijrah dari negeri tersebut.” [13]

Keempat, Jumhur ulama’ menguatkan, bahwa kefasikan seorang penguasa secara nyata, dan diketahui, bisa menyebabkan gugurnya haknya untuk memimpin dan mengurus [urusan kaum Muslim], menjadi alasan yang membenarkan untuk meninggalkannya, ketika aman dari pertumpahan darah dan terjadinya fitnah. Itu karena kefasikannya boleh jadi akan membuatnya berdiam diri dari kewajiban syar’inya, baik menegakkan hudud, mengurus hak-hak [rakyat], menjaga agama dan kehidupan rakyatnya.

Imam al-Qurthubi berkata, “Seorang imam, jika dia diangkat, kemudian menjadi fasik setelah berlangsungnya akad, maka Jumhur ulama’ berpendapat, bahwa kepemimpinannya batal, dan dia harus diberhentikan karena kefasikan yang nyata dan diketahui. Sebab, telah ditetapkan [dengan nash syariah], bahwa seorang imam diangkat hanya untuk menegakkan hudud, menunaikan hak, menjaga harta anak-anak yatim dan mujanin, memperhatikan urusan mereka dan sebagainya.. Kefasikannya juga akan membuatnya berdiam diri dari menunaikan urusan ini, dan bangkit untuk mengerjakannnya.

Kalau kami membenarkan orang fasik menjadi imam, tentu itu akan menyebabkan dibatalkannya apa yang seharusnya dia ditegakkan, dimana dia ada untuk itu. Tidakkah Anda melihat, jika sejak awal tidak boleh kekuasaan diberikan kepada orang fasik, itu tak lain agar dia tidak membatalkan apa yang justru seharusnya dia tegakkan. Begitu juga orang yang seperti dia.” [14]

Jika pandangan mereka tentang seorang penguasa yang berhak memimpin dan mengurus [urusan umat Islam], serta dibaiat, kemudian tampak kefasikan pada dirinya saja seperti ini, lalu bagaimana dengan orang yang aslinya memang Kafir, yang tidak berhak dibaiat, dan tidak berhak mempimpin dan mengurus urusan kaum Muslim? Bagaimana mungkin, bisa dibenarkan syara’ maupun nalar, bahkan kekuasaan dan pemerintahan kaum Muslim itu diberikan kepada orang yang memang aslinya sudah Kafir?

Kelima, mengenai apa yang dijadikan argumentasi para ulama’ itu, yaitu kasus Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam, maka sesungguhnya argumentasi mereka tidak ada nilainya sama sekali. Argumentasi ini selain batil, tentu saja harus ditolak, dengan beberapa alasan:

  • Sesungguhnya syariat Nabi atau umat sebelum kita [Syar’u man qablana] telah dinyatakan dalam Ushul Fiqih bukan merupakan syariat bagi kita, juga tidak bisa digunakan sebagai hujah. Terlebih, jika bertentangan dengan syariat Islam.[15]
  • Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam juga tidak ada bukti yang bisa digunakan untuk menyatakan, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam mengakui kepemimpinan orang Kafir. Tindakan Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam hanya untuk menegakkan keadilan, menjaga hak, mencegah kezaliman, disia-siakannya harta bukan kepada yang berhak, karena itu beliau memberi alasan, “Hafidz[un] ‘alim[un].” [yang menjaga dan mengetahui].

Al-Qadhi Ibn al-‘Arabi memberikan catatan, “Bagaimana mungkin, bisa diterima [dengan nalar] beliau menerima pengangkatan orang Kafir sebagai penguasa, sementara beliau orang Mukmin dan Nabi?”  Ibn ‘Arabi menjawab, “Kami tegaskan, beliau tidak pernah meminta jabatan. Tetapi, minta ditinggalkan dan dibiarkan.. Jika Allah mau, Allah bisa menjadikannya berkuasa.. Tetapi, Allah menjalankan sunah-Nya sebagaimana yang berlaku untuk para Nabi dan umatnya.. itulah yang ditunjukkan oleh firman-Nya:

﴿ وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [يوسف: 56]

 “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [Q.s. Yusuf: 56]

 Kesimpulan

Berdasarkan paparan dalil-dalil syara’ di atas, baik al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat, serta pandangan para ulama’ tentang kepemimpinan orang Kafir dan Fasik, bisa disimpulkan, bahwa:

  • Jelas Islam merupakan syarat mutlak dan merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
  • Jika ada penguasa yang asalnya Muslim, kemudian setelah berkuasa menjadi murtad, maka dengan sendirinya kekuasaan lepas. Dia diberhentikan secara outomatis, begitu syarat Islam-nya hilang. Jika tidak mau berhenti, maka para ulama’ sepakat, orang seperti harus diberhentikan dengan paksa.
  • Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa orang Kafir boleh berkuasa, pendapat seperti ini tidak pernah dinyatakan oleh ulama’ di masa lalu. Argumentasi yang mereka gunakan pun lemah, dan tidak mempunyai nilai sedikit dalam pengambilan hukum syara’.
  • Jika saat ini yang berpendapat tentang kebolehan non-Muslim menjadi penguasa kaum Muslim, maka orang seperti ini ada dua kemungkinan: Pertama, jahil tentang hukum Islam. Kedua, menjual diri dan agamanya untuk kepentingan dunia.

Wallahu a’lam.

[1]     Selain kasus di Indonesia, di Suriah, naiknya Hafiz Assad, yang jelas-jelas bukan orang Islam, karena menganut Syiah Nusairiyyah, yang menuhankan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, dan bertahan hingga 43 tahun, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Bashar Assad, yang juga penganut Nusairiyyah yang sama, bisa terjadi karena dukungan Amerika dan ulama’. Ulama’ Syiah Ja’fariyyah bahkan mengeluarkan fatwa, bahwa Nusairiyyah bagian dari Itsna ‘Asyariyah, dan tidak bisa dianggap murtad. Ulama’ Sunni juga mendukung kekuasaan Bashar, seperti yang ditunjukkan oleh mendiang Dr. Said Ramadhan al-Buthi, dan beberapa ulama’ Sunni yang lainnya.

[2]     Al-Allamah al-Qadhi al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 5.

[3]     Ibn Tamiyyah, al-Siyasah as-Syar’iyyah, hal. 13.

[4]     Al-Qadhi Ibn al-‘Arabi , Ahkam al-Qur’an, Juz I/641; al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz V/421.

[5]     Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz IV/189.

[6]     Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz I/867.

[7]     Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz V/425.

[8]     Hr. Muslim

[9]     Al-Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VI/314.

[10]    Al-Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VI/315.

[11]    Lihat, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahlu ad-Dzimmah, Juz II/787.

[12]    Al-Imam Ibn al-Mundzir, Maratib al-Ijma’, hal. 208.

[13]    Al-Hafidz Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz XIII/123.

[14]    Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I/271.

[15]    Al-Imam al-Ghazali, al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh, Juz I/ 133.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*