Freeport dan Mafia dalam Pandangan Islam

Freeport adalah sebuah perusahaan terbatas (PT Freeport Indonesia) di bidang tambang, mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS). Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg, Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.[1]

Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.[2]

Mafia Freeport Pertarungan Politis

Mafia merupakan suatu istilah dari orang Sicilia untuk segala organisasi rahasia yang mengendalikan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Pada abad ke-19, para pemilik tanah feodal dan di Sicilia membentuk kelompok para pengikut yang harus menjaga tanah mereka dari ancaman pemberontakan petani. Organisasi-organisasi ini, yang disebut Mafia, menjadi suatu organisasi yang sejajar dengan dengan badan-badan pemerintah resmi. Pada masa itu, organisasi mafia bertujuan untuk mengendalikan segala kegiatan politik dan ekonomi di daerah pedesaan dengan segala cara[3]. Di tanah air tidak asing lagi istilah Mafia, seperti Mafia Pajak, Mafia Narkoba, Mafia Migas dan sebagainya termasuk mafia Freeport.

Dari aspek penghasilan, Freeport memang menjanjikan sehingga diburu oleh para Mafia. Apa yang terjadi antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus dugaan Setya Novanto meminta saham dari PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres JK.

Meski kegaduhan itu terjadi, pemerintah tidak berkeinginan membawa kasus ini ke ranah hukum. Sikap ini dirasa “aneh”. Pasalnya, jika memang tujuannya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari para Koruptor dan Mafia, maka langkah hukum harus dilakukan. Setidaknya Jokowi dan JK bisa melaporkan Novanto dengan delik pencatutan, pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan. Kepolisian pun, seperti dikatakan oleh Kapolri, siap untuk mengusut dan memproses kasus ini. Hanya saja, harus ada laporan dari Jokowi atau JK. Tetapi pemerintah justru menyerahkan kasus ini ke jalur politis melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)[4].

Kasus itu akhirnya memicu pertarungan politis antara kubu KIH dan KMP. Kubu KMP, setelah mendapat penjelasan dari Novanto, akhirnya mendukung dan membela Novanto. Sebaliknya, kubu KIH terus mendesak agar Novanto segera diproses. Pertarungan politis itu tergambar di MKD, Pertarungan juga terjadi di dunia maya. Langkah Sudirman itu dikesankan menelanjangi sepak terjang Novanto dan pengusaha migas Reza sebagai pemburu rente.

Sebelumnya, melalui audit forensik Petral periode 2012-2015, Sudirman juga menelanjangi praktek kotor di Petral yang diduga melibatkan Reza. Makin kuatlah citra Sudirman sebagai orang yang “bersih” dan “ingin memberantas mafia” pemburu rente di bisnis Migas dan tambang, apalagi ia termasuk pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Seolah merespon hal itu, muncul tulisan tiga seri di Kompasiana dari yang menamakan diri Manusia Transparansi Indonesia (MTI) dengan judul, “Buka Dulu Topengmu, Sudirman Said!” Tulisan itu mengungkap profil Sudirman yang digambarkan tidaklah lebih bersih dari orang yang dia persoalkan. Mana yang benar, waktu nanti akan mengungkap semuanya.

Tambang Freeport; Milik Rakyat Harus Dikelola Negara

Kekayaan alam termasuk tambang emas Freeport, Migas, dan sebagainya merupakan pemberian Allah I kepada hamba-Nya sebagai sarana memenuhi kebutuhannya agar dapat hidup sejahtera dan makmur serta jauh dari kemiskinan. Allah I berfirman:

] هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا … (٢٩) [

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:29)

Dengan demikian, Freeport bagian dari Sumber Daya Alam (SDA) yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan semua manusia dan penunjang kehidupan mereka di dunia ini sebagai kabaikan, rahmat dan sara hidup untuk dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka mengabdi dan menjalankan perintah Allah I.[5]

Kekayaan tambang emas Freeport ini, sebenarnya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat bahkan dapat mengatasi kemiskinan, jika dapat dikelola maksimal oleh negara secara profesionalitas dan tidak menyerahkan kepihak asing. Tapi faktanya, sampai saat ini masih dikelola asing (AS), bahkan belum habis kontraknya sudah ingin memperpanjangnya, akhirnya tambang emas tersebut tidak dapat dinikmati manfaatnya oleh kebanyakan penduduk setempat apalagi seluruh Indonesia. Karenanya, Indonesia sejatinya seperti halnya dengan Bangladesh, Turki dan Saudi Arabia, adalah negeri-negeri Islam yang menghadapi suatu masalah yang oleh ahli ekonomi Barat  disebut sebagai “kutukan Sumber Daya Alam” (natural resource curse).[6] Yakni paradoks negara kaya sumber daya alam tetapi penduduknya miskin, hal ini disebabkan karena negeri-negeri tersebut tidak mengelola kekayaannya sendiri secara professional oleh negara.

Lalu siapakah yang seharusnya mengelola tambang Freeport di Papua yang merupakan SDA Indonesia yang melimpah ruah? Dalam pandangan kapitalis, kekayaan alam termasuk tambang Freeport harus dikelola oleh individu atau perusahaan swasta karena ini merupakan ciri utama sistem ekonomi kapitalis dimana kepemilikan privat (individu) atas alat-alat produksi dan ditribusi dalam rangka mencapai keuntungan yang besar dalam kondisi-kondisi yang sangat konpetatif sehingga perusahaan milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalis[7].

Sementara dalam pandangan Islam, kekayaan alam seperti tambang Freeport dan Migas merupakan harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat harus dikelola oleh negara. Negaralah mewakili rakyat melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport ini serta mengelola hasilnya, Negara bukanlah sebagai pemilik atau yang menguasai kekayaan itu.[8] Semua hasil bersihnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang lain, bisa berupa; pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, listrik, air, transportasi, dan sebagainya[9].

Keharusan pengelolaan tambang Freeport tersebut, statusnya sama seperti tambang garam yang pernah diberikan kepada kepada sahabat Abyadh bin Hammal. Rasulullah r pada waktu itu sebagai hâkim (kepala negara) mengambil kebijakan untuk memberikan tambang kepada Abyadh bin Hammal al-Muzani. Namun kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah r setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir terus menerus.[10]

Pada kebijakan Rasulullah r tersebut, berarti negaralah sebagai pengelola terhadap kekayaan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup masyarakat, pada sisi lain, individu diperbolehkan menguasai kekayaan sumber daya alam (area tambang) jika luas dan depositnya sedikit, dan hasil eksploitasinya  dikenakan khumus atau seperlimanya untuk kas Bait al-Mâl sebagai bagian pemasukan dari harta fai.[11]

Sementara kekayaan alam atau barang tambang seperti Freeport yang jumlahnya melimpa ruah dan tidak terbatas laksana air mengalir, maka individu dilarang menguasainya sebab tambang tersebut termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat, harus dikelola oleh Negara sebagai wakil rakyat bukanlah sebagai pemilik atau yang menguasai kekayaan tersebut sedangkan hasil pengelolaannya dimasukkan dalam kas Bait al-Mâl, selanjutnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sarana lain untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka, tentu setelah Negara mengeluarkan semua biaya operasional pengelolaannya.[12]

Rasulullah r bersabda :

« الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ : فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ» (رواه أحمد)[13]

Rasûlullâh r bersabda :“Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (H.R. Ahmad).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah r bersabda:

« النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَأِ وَالنَّارِ » (رواه أبو عبيد)[14]

Rasûlullâh r bersabda: “Orang-orang (Masyarakat) bersekutu dalam hal; air, padang gembalaan dan api” (H.R. Abû ‘Ubaid).

Hadits ini juga menegaskan bahwa yang termasuk harta milik umum yang menguasai hajat hidup masyarakat adalah semua kekayaan alam yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk mengeksploitasinya.[15]

Berantas Mafia, Kembalikan Freeport dan SDA lainnya dari Asing

Maraknya mafia dalam bisnis tambang dan migas serta penyerahan kekayaan alam kepada asing adalah akibat penerapan sistem Kapitalisme di negeri ini. Sesuai dengan doktrin Kapitalisme, negara berwenang menentukan kontrak pemberian konsesi kekayaan alam kepada swasta dan asing. Wewenang itu dilegalkan melalui pembuatan peraturan dan UU. Hal itu sangat dimungkinkan karena penerapan sistem demokrasi memberikan wewenang membuat hukum kepada manusia, yakni pemerintah dan Wakil Rakyat. Karena itu, jika sudah terlanjur ada peraturan dan UU yang menghambat, maka peraturan dan UU itu tinggal diubah saja. Itulah yang terjadi selama ini.

Hal itu tidak akan terjadi jika syariat Islam diterapkan secara total dan menyeluruh. Dalam sistem Islam, Allah I tetapkan kekayaan alam sebagai milik seluruh rakyat. pemerintah tidak punya wewenang untuk menyerahkan kekayaan milik rakyat itu kepada swasta apalagi asing. Pemerintah justru diharuskan oleh Islam untuk mengelola langsung kekayaan alam itu. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara langsung atau dalam bentuk pelayanan dan fasilitas.

Siapapun tidak bisa mengubah ketentuan hukum itu. Sebab, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah. Manusia sama sekali tak punya wewenang untuk membuat aturan dan hukum. Pemerintah justru berkewajiban menerapkan hukum syariah. Dengan penerapan syariah secara kaffah, janji seperti yang diberikan pemerintah melalui Menteri ESDM itu tidak akan bisa terjadi.

Dengan ketentuan hukum seperti itu, maka para mafia tidak akan berkeliaran. Penguasa, pejabat dan politisi tidak bisa memperdagangkan kekuasaan, dan pengaruhnya. Jika pun masih ada yang bisa menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruh untuk memperkaya diri atau orang lain maka mekanisme syariah bisa memberantasnya.

Di antaranya dengan mekanisme yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khathab, yaitu melalui pencatatan kekayaan para penguasa dan pejabat serta melakukan audit secara berkala. Jika didapati kekayaan yang tidak sewajarnya, pemiliknya harus membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh secara sah. Jika tidak, maka kekayaan itu bisa disita dan dimasukkan ke kas negara.

Semua maslah kebobrokan di atas adalah berakar dari diterapkannya sistem dan hukum Jahiliyah Kapitalisme. Jika inigin keluar dari dunia mafia Freeport dan mafia lainnya, maka tidak ada jalan lain kecuali harus diakhiri dengan menyudahi penerapan sistem dan hukum jahiliyah itu, lalu diganti dengan penerapan sistem dan syariah Islam secara total serta menyeluruh.

 ]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ [

“Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S. Al-Mâidah [5]: 50)

WalLâh a’lam wa ahkam. [AH/Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI ]

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia, diakses tanggal 30 November 2015.

[2] https://saripedia.wordpress.com/tag/kontrak-karya-pt-freeport-indonesia-oleh-soeharto-rezim-orba/, diakses tanggal 30 November 2015.

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Mafia, dan http://www.untukku.com/artikel-untukku/pengertian-mafia-untukku.html, diakses tanggal 30 November 2015.

[4] http://hizb-indonesia.info/, 30 November 2015.

[5] ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’dî, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm alMannân, Juz 1, (t.tp.: Muassasah ar-risâlah, 2000), Cet. ke-1, h. 48.

[6] Joseph E. Stiglitz, Making Globalisation Work : Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, terj. Edrijani Azwaldi, (Bandung; Mizan, 2007), Cet. ke-1, h. 213

[7] Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), Cet. ke-1, h. 261.

[8] ‘Abd as-Sâmi’ al-Mishrî, Pilar-pilar Ekonomi Islam, terj. Muqawwimât al-Iqtishâd fî al-Islâm, oleh Dimyauddin Djuwaini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), Cet. ke-1, h. 66.

[9] Arif. B. Iskandar, Tetralogi Dasar Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, Bantarjati, 2009), Cet. ke-1, h. 141.

[10] Abu ‘Ubaid al-Qâsim al-Harawî al-Azdî al-Khazâ’î, al-Amwâl, (al-Qâhirah: Dâr as-Salâm, 2009), Cet. ke-1, h. 321.

[11] ‘Abd al-Qadîm Zallûm, al-Amwâl fî Daulah al-Khilâfah, (Bairût : Dâr al-Ummah, 2004), Cet. Ke-3, edisi mu’tamadah, h. 78.

[12] Abd al-Sâmi’ al-Mishrî, Pilar-pilar Ekonomi Islam, terj. Muqawwimât al-Iqtishâd fî al-Islam, oleh Dimyauddin Djuwaini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), Cet. ke-1, h. 66., Rivai, dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi Syariah bukan opsi tapi solusi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. ke-1, h. 370.

[13] Abû Abdullâh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl bin Asad asy-Syaibânî, Musnad Imâm Ahmad,  Juz 38, Nomor 23082, (t.tp.: Muassasah ar-Risâlah, 2001), Cet. ke-1, h. 174.

[14] Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm, al-Amwâl, (Bairût: Dâr asy-Syurûq, 1989), Cet. ke-1, h. 386-387.

[15] An-Nabhânî, an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, edisi Mu’tamadah, (Bairut: Dâr al-Ummah, 2004), Cet. ke-4, h. 218.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*