Soal:
Mengingat kurma termasuk 6 jenis barang yang terkena riba, bolehkah menjual kurma dibayar mundur? Hal yang sama, bolehkah membeli emas dengan dibayar mundur, ataukah harus kas? Lalu apa bedanya dengan hutang (qardh) yang dibolehkan, sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan riba dan sharf dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdi?
Jawab:
Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, jawabannya sebagai berikut:
Pertama: Rasulullah saw. bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالبُرُّ بِالبُرِّ، وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالِمْلحِ مَثَلاً بِمَثَلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ. فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ
Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, gandung [Sya’ir] dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sepadan, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sesuka kalian, dengan syarat, tunai (HR al-Bukhari dan Muslim melalui jalur ‘Ubadah bin Shamit, ra.).
Nash ini dengan jelas menyatakan, jika jenis barang riba tersebut berbeda, maka “kalian bisa menjual sesuka kalian”. Artinya, tidak ada syarat harus sepadan, tetapi tetap disyaratkan ada serah terima [taqâbudh]. Kata “al-ashnâf” dinyatakan secara umum untuk semua jenis barang riba, yaitu keenam-enamnya, tanpa ada satu pun yang dikecualikan, kecuali dengan nash. Karena tidak ada satu nash pun, maka hukum kebolehan menjual burr 1 dengan gandung, burr dengan emas, gandung dengan perak, kurma dengan garam, kurma dengan emas, garam dengan perak dan sebagainya, betapapun nilai tukar dan harganya beda, tetap harus cash, atau tidak dihutang. Ketentuan yang berlaku untuk emas dan perak juga berlaku untuk uang kertas, karena adanya ‘illat naqdiyyah [uang]; karena ia digunakan untuk menentukan harga dan upah.
Kedua: Ada pengecualian dari kewajiban serah terima [taqâbudh] ketika melakukan jual beli terhadap jenis-jenis barang riba, yaitu ketika mengagunkan [rahn], saat membeli empat jenis barang riba, burr, gandum, garam dan kurma dengan uang. Dasarnya adalah hadis riwayat Imam Muslim dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan membayar mundur [hutang], dan Baginda menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut. Dengan kata lain, Rasulullah saw. pernah membeli makanan dengan hutang, disertai agunan [rahn]. Makanan mereka ketika itu adalah barang jenis riba, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis di atas, “Makanan dengan makanan, dengan sepadan. Makanan kami ketika itu adalah gandum.” (HR Ahmad dan Muslim melalui jalur Ma’mar bin ‘Abdillah). Karena itu boleh membeli keempat jenis barang riba tersebut dengan bayar mundur [dihutang] ketika sesuatu dijadikan agunan pada pembeli hingga harga yang harus dibayar telah diberikan.
Ketiga: Jika orang yang memberi pinjaman (dâ’in) dengan orang yang berhutang [madîn] satu sama lain saling percaya, maka tidak dibutuhkan agunan (rahn). Dalilnya adalah firman Allah SWT:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
Jika kalian dalam perjalanan [dan bermuamalah tidak secara tunai], sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang yang diagunkan yang dipegang (oleh yang menghutangi). Namun, jika sebagian di antara kalian saling percaya satu sama lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanah (hutang)-nya. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya (QS al-Baqarah [2]: 283).
Ayat yang mulia ini memberikan pengertian, bahwa agunan hutang selama perjalanan tidak diperlukan jika orang yang memberikan hutang dengan yang berhutang saling percaya satu sama lain. Ayat ini diberlakukan untuk agunan ketika membeli dengan bayar mundur terhadap keempat jenis barang riba yaitu burr, gandung, garam dan kurma.
Penunjukan ayat ini dengan jelas menyatakan, bahwa agunan dalam kondisi seperti ini tidak diperlukan.
Keempat: Karena itu, boleh membeli keempat jenis barang riba, “Burr, gandum, kurma dan garam” dengan uang dibayar mundur, baik disertai agunan atau tidak untuk membayar hutang tersebut, dengan syarat, jika masing-masing penjual dan pembeli saling percaya satu sama lain.. Dalam kedua kondisi seperti ini, maka membeli jenis barang riba ini dengan pembayaran mundur diperbolehkan. Dengan kata lain, kurma yang ditanyakan boleh-tidaknya dibeli dengan bayar mundur, jawabannya jelas boleh jika memenuhi syarat yang disebutkan dalam ayat di atas:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Namun, jika sebagian di antara kalian saling percaya satu sama lain (QS al-Baqarah [2]: 28).
Inilah yang kami kuatkan dalam masalah ini. Allah Mahatahu dan Mahabijak.
Kelima: Sekadar informasi, telah dinyatakan dalam Syarh Shahîh al-Bukhâri, karya Ibn Batthal, Bab Syira’ at-Tha’am ila Ajal [Bab Membeli Makanan dengan Bayar Mundur], tidak ada perselisihan di kalangan ahli ilmu bahwa membeli makanan dengan harga tertentu pembayarannya boleh ditangguhkan hingga tenggat waktu tertentu.2
Dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, karya al-Jazairi, tentang membeli jenis barang riba dinyatakan, “Adapun kalau salah satu pertukarannya kas, sedangkan yang lain berupa makanan, maka boleh ditangguhkan (dibayar mundur).” 3
Dalam kitab I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-‘Alamîn, karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ketika beliau membahas hikmah pengharaman riba nasi’ah dalam makanan, beliau mengatakan, “Berbeda jika dijual dengan dirham atau yang lain dari barang-barang yang ditimbang dengan dilebihkan, maka kebutuhan menuntut hal itu dilakukan.” 4
Kesimpulan
Pertama: Boleh menjual kurma, burr, gandum dan garam dengan uang dibayar mundur, disertai agunan (rahn) untuk membayar hutangnya, atau tanpa disertai agunan jika pembeli dan penjual saling percaya satu sama lain.. Di luar kedua kondisi ini tidak dibolehkan.
Kedua: Membeli emas dengan uang dibayar mundur secara mutlak tidak dibolehkan, baik uangnya sama-sama berupa emas, atau uang kertas; baik semua hutangnya dibayar mundur, atau dicicil, misalnya sebagian dibayar kas, sedangkan sisanya dicicil. Dalam kondisi yang terakhir, yaitu dicicil, sebagian harganya dibayar di depan (sisanya dibayar mundur), maka jual beli emas yang sah adalah yang harganya dibayar di depan dengan kas, atau pembayaran pertama. Adapun yang dibayar dengan cicilan selanjutnya, jual-belinya dianggap tidak sah. Jika semuanya dicicil, atau tidak dibayar kas sedikit pun, maka semua jual belinya dianggap tidak sah. Ini karena dalil-dalil pertukaran barang riba tersebut bisa diberlakukan padanya.
Keempat: Hutang-piutang emas, perak, uang dan semua jenis barang riba hukumnya boleh, dengan syarat tidak ada riba. Fakta ini berbeda dengan jual-beli dan sharf (pertukaran uang) sekalipun bentuknya hampir mirip. Di dalam jual-beli dan sharf memang terjadi pertukaran harta dengan harta, dengan jenis yang sama atau berbeda.
Adapun hutang-piutang [qardh] adalah memberikan harta kepada pihak lain untuk dikembalikan seperti apa adanya. Hutang-piutang itu bagian dari kasih-sayang. Dalilnya jelas berbeda dengan dalil jual-beli. Dalil jual-beli jenis barang riba tidak bisa digunakan untuknya. Sebaliknya, dalil-dalil tersebut menyatakan kebolehannya.
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Rasulullah saw. pernah berhutang unta muda [bakar] kepada seorang pria. Nabi saw. kemudian mendapatkan seekor unta sedekah, lalu memerintahkan kepada Abu Rafi’ untuk membayarkan [hutang] unta muda kepada orang tersebut. Abu Rafi’ pun kembali kepada Nabi saw. seraya berkata, “Aku tidak mendapatinya, kecuali lebih baik [lebih tua] memasuki usia 7 tahun.” Nabi bersabda, “Berikanlah kepada dia karena orang yang terbaik adalah mereka yang paling baik membayar hutangnya.”
Ibn Hibban telah meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِماً قَرْضاً مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً
Tak seorang Muslim pun yang memberi hutang kepada seorang Muslim dua kali, kecuali seperti satu kali sedekah.
Nabi saw. pun pernah berhutang. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Burr dengan sya’ir sebenarnya sama-sama gandum, tetapi berbeda jenisnya. Karena itu para fuqaha’ juga membedakan keduanya, sebagaimana hadis Nabi saw. di atas juga membedakan keduanya.
2 Ibn Battal, Abu al-Hasan ‘Ali bin Khalaf bin ‘Abdul Malik, Syarh Shahîh al-Bukhâri, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, t.t., Juz VI/321.
3 ‘Abdurrahman bin Muhammad ‘Awadh al-Jazairi, Al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, t.t., II/213.
4 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-‘Alamîn, Dar Ibn al-Jauzi, Riyadh, cet. I, 1423 H, III/403.