Freeport: Simbol Penjajahan Kapitalisme Di Indonesia

PT Freeport Indonesia kembali mengundang kontraversi. Perusahaan tambang asal AS itu ngotot untuk memperpanjang kontraknya yang akan berakhir tahun 2021. Padahal sejak hadir tahun 1967 lalu, besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaan itu baik dari aspek ekonomi, kemanusiaan dan lingkungan sudah sangat nyata. Sayang, Pemerintah yang semestinya membela kepentingan negara dan rakyat justru lebih ‘membela’ kepentingan perusahaan itu.

Gunung Emas

Berdasarkan Laporan Tahunan 2014 Freeport McMoran, cadangan bijih terbukti Freeport Indonesia sebesar 2,5 miliar dengan potensi kandungan emas sebesar 800 ton dan kandungan tembaga sebanyak 13,2 juta ton. Besarnya cadangan itu menempatkan Grasberg sebagai lokasi dengan cadangan emas terbesar dunia dan cadangan tembaga yang masuk dalam 10 besar dunia. Pada tahun 2014, perusahaan itu menghasilkan 288 ribu ton tembaga dan 32 ton emas dari rata-rata produksi bijih (ore) perhari sebanyak 120,500 ton. Jika produksi itu diasumsikan tetap, perusahaan itu butuh 57 tahun lagi atau hingga tahun 2072 untuk menghabiskan cadangan terbukti saat ini. Namun, Freeport McMoran, dalam presentasinya kepada para investor mengklaim, memang perusahaan itu memiliki bahan mineral (material mineralized) yang cukup besar, tetapi belum dikonversi menjadi cadangan terbukti. Artinya, cadangan mineral terbukti yang dikuasai perusahaan itu berpotensi untuk terus bertambah.

Sayang, besarnya cadangan dan pendapatan perusahaan itu tidak banyak dinikmati oleh penduduk Indonesia. Selain pajak, royalti yang dibayarkan perusahaan itu kepada Pemerintah sangat kecil. Pada tahun 2014, nilainya hanya Rp 1,5 triliun atau 3,3% dari total pendapatan-nya yang mencapai Rp 47 triliun. Cadangan yang melimpah dan biaya yang murah tersebut menjadi alasan mengapa Freeport sangat beram-bisi untuk terus memperpanjang kontraknya.

Biang Kerok

Kerugian yang ditimbulkan oleh kehadiran Freeport sejatinya bukan hanya masalah ekonomi, namun juga aspek kemanusian dan lingkungan. Suku Amugme dan Kamoro yang merupakan penduduk asli Papua yang dulunya mendiami lokasi pertambangan Freeport telah merasakan bagaimana getirnya hidup mereka sejak adanya Freeport. 1 Pada tahun 1977, misalnya, ketika suku Amungme meledakkan pipa tambang akibat kemarahan mereka atas Freeport, militer dikerahkan untuk menumpas mereka sehingga menyebabkan 900 warga tewas. Pada tahun 1995, Pemerintah menggusur 2.000 penduduk yang telah tinggal turun-temurun di sekitar lokasi tambang dan direlokasi ke lokasi lain dengan fasilitas pemukiman yang memprihatikan. Penduduk juga kerap diintimidasi bahkan disiksa hingga tewas dengan alasan mereka terlibat dalam Organisasi Pengacau Keamanan (OPM). 2 Sebagian kalangan bahkan menilai berkembangnya OPM merupakan ekses dari ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua yang hidup miskin, sementara kekayaan alam mereka justru dinikmati oleh Freeport dan segelintir elit di Jakarta.

Demi menjaga keamanan investasinya, Freeport menetapkan standar keamanan yang cukup ketat. Meski tidak pernah mengakui secara terbuka, berbagai temuan di lapangan menunjukan bahwa Freeport telah membayar aparat militer Indonesia untuk mengamankan perusahaan itu. Sejumlah mantan militer, polisi serta intelijen dari Indonesia dan AS dipekerjakan untuk menjaga keamanan perusahaan itu.3

Freeport juga dikenal sebagai perusahaan yang tidak ramah lingkungan. Limbah tailing yang merupakan residu pertambangan perusahaan itu dibuang tanpa melalui pengolahan yang sesuai standar. Dampaknya, sumberdaya alam di sekitar wilayah pertambangan seperti Sungai Ajkwa, muara, hutan mangrove dan hutan tropis di sekitarnya ikut tercemar. Kadar pencemaran lingkungan yang tinggi tidak hanya mengganggu kesehatan penduduk, namun juga membatasi mereka untuk memanfaatkan sumberdaya alam itu.4 Ironis memang, di satu sisi Freeport mampu mengirim miliaran dolar ke AS, sementara penduduk Indonesia, khususnya penduduk Papua, sebagian besar hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Pelanggar Aturan

Freeport juga kerap membangkang terhadap regulasi Pemerintah di sektor pertambangan. UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur pembatasan luas lahan pertambangan, kewajiban divestasi saham hingga keharusan melakukan pemurnian produk dalam negeri. Meski telah diundangkan sejak tahun 2009, implementasi UU itu hingga saat ini belum bisa diterapkan secara utuh. Freeport bahkan berpandangan UU itu tidak berlaku untuk dirinya yang izinnya dalam bentuk Kontrak Karya (KK). Bahkan berdasarkan surat teguran Dirjen Minerba kepada Freeport terungkap bahwa meskipun Pemerintah dan Freeport telah membahas amandemen naskah KK sejak Oktober 2014 sampai Maret 2015, Freport baru menyetujui 2 pasal secara utuh dari 20 pasal yang dibahas.5

Meskipun demikian, Pemerintah tetap bersikap lunak kepada Freeport. Sejumlah peraturan turunan dari UU Minerba, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri (Permen) berkali-kali direvesi hanya untuk mengakomodasi kepentingan Freeport dan perusahaan pertambangan raksasa lainnya seperti Newmont. Pada Permen ESDM No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral disebutkan bahwa perusaahaan pertambangan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian selambat-lambatnya 6 Mei 2012. Aturan ini kemudian dicabut atas keputusan MA. Selanjutnya, Pemerintah menerbitkan Permen ESDM No. 11 yang memperpanjang batas waktu kewajiban pengolahan dan pemurnian hingga Januari 2014. Setelah itu Pemerintah kembali merevisi aturannya dengan menerbitkan Permen ESDM No.1/2014 yang mengizinkan ekspor tembaga dengan kadar konsentrat 15%, berubah dari aturan sebelumnya yang mensyaratkan minimal 99% kadar pemurnian-nya. Permen itu juga memberikan kelonggaran kepada perusahaan tambang untuk mengekspor konsentrat hingga 2017. Perubahan demi perubahan dilakukan untuk mengakomodasi Freeport dan Newmont yang kadar konsentrat-nya baru 30-40% serta belum memiliki progres dalam pembangunan smelter. Meski selalu mengancam melakukan penghentian ekspor karena tidak dianggap tidak serius membangun smelter, setiap kali izin ekspor perusahaan itu habis, Pemerintah tetap melakukan perpanjangan izin ekspor.

Dalam pembayaran royalti, PP No. 9/2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak telah menetapkan bahwa royalti tembaga sebesar 4%, emas 3,75%, dan perak 3,25%. Namun, Freeport hanya bersedia membayar royalti 1% untuk emas dan 3,5% untuk tembaga. Baru pada Juli 2014, setelah negosiasi yang cukup alot, Freeport bersedia mematuhi aturan itu.

Saat ini, Freeport juga sedang berusaha untuk memperpanjang kontraknya yang akan berakhir tahun 2021. Padahal jika mengacu pada PP Nomor 77/ 2014, Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan tahun 2019. Namun, bagi Freeport, tenggang waktu itu tidak memberikan investasi. Berbagai lobi dilakukan perusahaan itu. James R. Moffett, Chairman Freeport-McMoran, bahkan secara diam-diam menemui Jokowi. Akhirnya, Menteri ESDM mengeluarkan surat yang memberikan ‘lampu hijau’ perpanjangan kontrak dengan PT Freeport Indonesia.

Disponsori Amerika

Berdasarkan dokumen-dokumen diplomatik Pemerintah Amerika Serikat, Bradley R Simpson, dalam bukunya, Economist With Guns, mengungkapkan bagaimana peran Pemerintah AS dalam memfasilitasi masuknya investor-investor AS termasuk Freeport ke Indonesia. Freeport sebenarnya telah berusaha menjalin kesepakatan dengan Pemerintah Soekarno, namun tidak mendapatkan respon. Dua bulan setelah direktur informasi dan iklan Freeport, James Moyer, menjadi staf Gedung Putih. Peluang itu kembali terbuka. Saat berlangsungnya pembersihan PKI oleh militer, Freeport melakukan negosiasi dengan sejumlah jenderal di Indonesia.

Pada April 1966, petinggi Freeport Forbes Wilson dan Robert Duke menemui pejabat Departemen Luar Negeri AS untuk mendapatkan jaminan investasi di Indonesia. Mereka juga menginginkan agar kontrak investasi mereka dalam bentuk konsesi, bukan dalam bentuk bagi hasil (production sharing contract) yang memberikan Pemerintah kontrol lebih besar atas perusahaan pertambangan.

Soeharto yang saat itu telah menerima mandat menjalankan pemerintahan dari Presiden Soekarno melalui Supersemar 1966, menindaklanjuti proposal Freeport dengan meminta Menteri Pertambangan, Bratanata, dan Menteri Luar Negeri, Adam Malik, meninjau Papua. Hasilnya, kedua pejabat itu merekomendasikan agar investasi itu segera ditindaklanjuti.

Masalahnya, regulasi yang akan menjadi payung hukum investasi itu belum ada. Dr. Jusuf Ismael, Direktur Kerjasama Ekonomi Multilateral kala itu, meminta bantuan kepada Kedutaan AS untuk memformulasikan undang-undang investasi. Pemerintah AS kemudian memfasilitasi proses tersebut. Konsultan Van Sickle Associate yang berbasis di Denver AS ditunjuk untuk membantu ekonom Widjojo Nitisastro dalam menyusun rancangan UU tersebut. Setelah itu, Pemerintah Indonesia kembali meminta masukan dari Kedutaan AS agar rancangan itu sesuai dengan sudut pandang investor AS. Sesuai dengan arahan para pengacara Departemen Luar Negeri AS, Widjojo merevisi draf itu sehingga memberikan jaminan ‘liberalisasi maksimal’ bagi investasi asing.6 Akhirnya, pada April 1967, Freeport secara resmi mendapat kontrak dari Menteri Pertambangan sekaligus menjadi perusahaan asing pertama yang berinvestasi pada masa Soeharto.7

Peran Pemerintah AS untuk memuluskan investasi Freeport tidak berhenti sampai di situ. Denise Leith dalam bukunya, The Politics of Power: Freeport’s in Suharto Indonesia, mengungkapkan bahwa Pemerintah AS juga telah memberikan jaminan atas pinjaman senilai US$ 60 juta yang diberikan oleh lembaga kreditur negara itu kepada Freeport untuk memulai pembangunan proyek di Papua. Bechtel, perusahaan konstruksi raksasa asal AS, ditunjuk untuk membangun infrastrukturnya.

Kuatnya peran Pemerintah AS dalam investasi Freeport diakui oleh Muhammad Sadli, Ketua Komite Penanaman Modal Asing pada awal pemerintahan Soeharto. Ia mengakui bahwa kontrak Freeport dilakukan bukan hanya karena pertimbangan ekonomi, namun juga pertimbangan politik, yakni untuk mendapatkan dukungan militer dan jaminan politik dari AS yang memiliki ekonomi terbesar dan kekuatan paling berpengaruh di dunia.8 Kehadiran Freeport di Indonesia menjadi penting bagi AS. Semakin besar keuntungan Freeport McMoran, pajak yang didapatkan Pemerintah AS akan semakin besar.

Kuatnya pengaruh Freeport di mata Pemerintah AS dan Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari latar belakang direktur dan komisaris yang duduk di perusahaan itu. Henry Kissinger, misalnya, mantan menteri Luar Negeri AS (1973-1977), memiliki peran penting di Freeport. Pada tahun 2000, misalnya, ketika Presiden Abdurrahman Wahid hendak merenegosiasi investasi PT Freeport Indonesia, Kissinger terbang ke Indonesia membantu Dirut Freeport, Jim Bob Moffett, menekan Pemerintah. Hasilnya, bukan hanya renegosiasi itu gagal, Gus Dur malah mengangkat Kissinger sebagai penasihat politiknya.

Dalam Laporan Tahunan 2014 Freeport McMoran, induk perusahaan PT Freeport Indonesia, nama Kissinger masih tercantum sebagai direktur emiritus, mantan direktur yang secara aktif menjadi penasihat. 9 J. Stapleton Roy, mantan Dubes AS di Indonesia (1996-1999), saat ini masih menjabat sebagai komisaris Freeport McMoran bersama dengan John Bennett Johnston, mantan senator AS dari Louisiana (1972-1997) yang kini berprofesi sebagai pelobi Pemerintah. Adapula Gabrielle McDonald, mantan hakim yang pernah menangani sengketa AS-Iran.10

Penutup

Freeport merupakan simbol bagaimana kuatnya penjajahan kapitalisme dalam bentuk investasi di negara ini. Eksistensi Freeport juga menjadi cermin betapa lemahnya Pemerintah dan kuatnya konspirasi mereka untuk melanggengkan eksistensi perusahaan-perusahaan asing dalam mengeruk kekayaan alam negeri ini. Walhasil, ketamakan Freeport dan perusahaan asing lainnya tidak hanya bisa dihentikan oleh keberanian dan ketegasan, namun juga oleh negara yang kuat yang mampu untuk menghadapi negara, institusi dan regulasi global yang menjadi pelindung eksistensi Freeport dan perusahaan asing lainnya. WalLâhu ‘alam bi ash-shawab. [M. Ishak; Lajnah Maslahiyyah DPP HTI]

Catatan kaki:

1         Australian Council for Overseas Aid. http://www.utwatch.org/corporations/freeportfiles/acfoa.html

2         Australian Council for Overseas Aid. http://www.utwatch.org/corporations/freeportfiles/acfoa.html

3         Denise Leith (2003), op. cit. Hlm. 234

4         Australian Council for Overseas Aid. http://www.utwatch.org/corporations/freeportfiles/acfoa.html

5         http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151013193120-85-84799/pemerintah-dinilai-lunak-terhadap-freeport/

6         Bradley R. Simpson (2008), Economist With Guns, California: Stanford University Press, hlm.231-234

7         Bradley R. Simpson (2008), ibid, hlm.243

8         Denise Leith (2003), The Politics of Power: Freeport’s in Suharto Indonesia, Honolulu: University of Hawai Press, hlm. 60

9         Freeport-McMoran, 2014 Annual Report, hlm 24

10        http://www.fcx.com/company/advisory.htm

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*