Hipokrit

Beberapa saat setelah terjadi penyerangan di sejumlah tempat di Paris, Prancis, tengah bulan November lalu, yang mengakibatkan lebih dari 150 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka, saya mendapatkan BC berjudul, “Hanya Paris yang Biasa Membuat Menangis”. Tulisan itu pada intinya ingin menunjukkan betapa hipokritnya dunia. Disebutkan, bagaimana para pemimpin dunia, mulai dari Presiden AS Obama, PM Inggris Cameron sampai Presiden RI Jokowi serempak mengecam penyerangan itu. Begitu pula Presiden Rusia, Vladimir Putin. Atas nama kemanusiaan, dengan tegas ia menyatakan Rusia sangat mengecam pembunuhan tak berperikemanusiaan ini, dan siap memberikan semua bantuan untuk menginvestigasinya. Dalam forum KTT G-20 di Antalya, Turki, yang diselenggarakan beberapa hari setelah penyerangan itu terjadi, lagi Putin menyerukan agar dunia harus bersatu untuk mengalahkan terorisme.

Apakah Putin, juga para pemimpin negara-negara Barat, telah berubah menjadi manusia berhati lembut sehingga begitu keras mengecam penyerangan dan menyebut itu sebagai tindakan tak berperikemanusiaan? Apakah mereka juga telah berubah menjadi manusia yang welas asih sehingga hati mereka begitu terluka melihat korban berjatuhan dan darah berceceran?

O, tunggu dulu. Kita tidak sedang melihat orang-orang yang telah berubah menjadi manusia yang baik hati, lemah lembut dan penyayang. Yang sedang kita lihat justru sebaliknya. Mereka sedang menunjukkan sebentuk kejahatan lain. Itulah hipokrisme. Pada diri orang hipokrit semacam Putin, ucapan “bijak” seperti itu dengan mudah keluar dari mulutnya, semudah ia memerintahkan ribuan roket menyasar penduduk sipil di Suriah. Itulah yang terjadi. Pada hari yang hampir bersamaan dengan penyerangan Paris, roket-roket Rusia yang ditembakkan dari pesawat tempur menggempur pemukiman warga sipil di kawasan Abu Kamal, Suriah, dan menewaskan 84 orang.

Peragaan sok bijak juga dilakukan oleh NATO dan AS. Untuk insiden Paris, sejuta karangan bunga mereka kirimkan, berlapis janji dan kecaman dikumandangkan. Saat yang sama di Suriah mesin perang mereka terus menyalak, mencabut nyawa-nyawa warga sipil atas nama perang melawan terorisme. Padahal justru rakyat Suriah itu adalah korban terorisme hasil persekongkolan Bashar Assad dengan negara-negara pendukungnya.

Rasa kemanusiaan memang tercabik seketika mendengar ratusan jiwa meregang nyawa dengan cara horor. Berduka tentu boleh. Sayang, dalih kemanusiaan manusia-manusia hipokrit itu telah menjadi topeng untuk menutupi sikap buas dan haus darah di tempat lain. Kemanusiaan itu juga dijadikan tabir menutupi sikap masa bodoh, acuh tak acuh dan tak peduli terhadap kejadian horor serupa—puluhan bahkan mungkin ratusan kali lebih dahsyat—yang terjadi tidak hanya seketika itu saja. Tengoklah Palestina, juga Irak dan Afganistan, serta Pakistan. Angka 150 itu menjadi langganan pekanan untuk menghitung jumlah korban atas tindakan brutal dan haus darah yang terjadi di sana.

Lihatlah, apa yang dikatakan para pemimpin dunia yang katanya terhormat itu ketika AS membombardir Irak yang mengakibatkan lebih dari 1,5 juta warga sipil di sana tewas? Apa pula yang dikatakan mereka ketika tentara Israel dengan mudah mengobral rentetan peluru kepada warga Palestina, di antaranya perempuan dan anak-anak? Adakah secuil komentar duka ketika jet-jet tempur Rusia, tentara Bashar Assad dan milisi Syiah Iran dan Hizbullah dengan sadis mencabut nyawa penduduk sipil Suriah, atau ketika Aung San Suu Kyi, yang disebut tokoh demokrasi, membiarkan ribuan Muslim Rohingya terombang-ambing di lautan terusir dari Birma?

Akal sehat dan rasa welas asih itu mestinya juga membuat para pemimpin dunia itu mudah mengutuk tragedi kemanusiaan di Suriah dan Palestina, juga di Burma, Kashmir, Moro dan lainnya, semudah mereka mengecam serangan Paris. Namun entah mengapa lidah mereka kelu untuk mengucapkannya, seolah di mata mereka di Palestina, Suriah, dan Irak, Birma, Moro serta lainnya, tidak pernah terjadi apa-apa. Lantas di mana rasa welas asih itu mereka sembunyikan?

++++

Hipokrisme yang sama juga dilakukan oleh pemimpin negeri-negeri Islam. Mereka dengan sigap turut mengecam penyerangan itu. Namun, di mana kecaman mereka ketika negara-negara Barat menyerang negeri-negari Muslim seperti Irak, Afganistan, Suriah dan Palestina. Di mana kegagahan mereka seperti saat pidato mengecam penyerangan di Prancis? Ketika negara-negara Arab mengibarkan bendera Prancis sebagai simbol solidaritas atas serangan di Paris, mengapa kita tidak melihat solidaritas yang sama ditunjukkan untuk Suriah dan warga Palestina? Apakah darah warga Prancis lebih penting bagi mereka daripada darah saudara-saudara Muslim atau saudara-saudara Arab mereka sendiri?

Seolah tak ingin dianggap lambat tanggap seperti dalam musibah asap beberapa minggu lalu, Presiden Jokowi pun turut segera menyatakan duka. Jokowi juga menjamin tak ada sejengkal tanah pun di Indonesia bagi tindak terorisme seperti yang terjadi di Paris. Singkat kata, seluruh dunia kompak menangis untuk Paris dan mengutuknya sebagai tindakan teroris keji. Padahal siapa teroris sebenarnya?

Benarlah apa yang dipertanyakan oleh Pierre Vogel, ulama muda Jerman. Katanya: Siapakah yang menyulut Perang Dunia I? Siapakah yang menyulut Perang Dunia II? Siapakah yang selalu menjajah sebuah negara damai, aman, tenteram hanya untuk kepentingan ekspansi? Siapa yang selalu menyiarkan sebuah ajaran agama dengan cara menjajah terlebih dulu? Siapakah yang menjatuhkan bom atom atas Hiroshima dengan keji, yang mengakibatkan kematian jutaan rakyat sipil? Siapakah yang membantai 20 juta suku Aborigin di Australia? Siapakah yang membantai lebih dari 150 juta suku Indian Merah di Benua Utara dan Selatan Amerika? Siapakah yang menjadikan lebih dari 150 juta manusia dari Afrika sebagai budak, dan 77 % di antaranya mati di perjalanan dan dikubur di Lautan Atlantik? Siapa yang selalu tertarik untuk menguasai serta “merampas” minyak suatu negara baik dengan cara mengadu domba negara tersebut, mendanai oposisinya, menyebar fitnah, bom serta membuat negara tersebut tak kunjung ada kedamaian? Siapa pula rentenir dunia (IMF) yang justru membuat negara pasiennya jadi tambah sengsara dengan sistem busuknya? Siapa pelaku adu domba, pembuat skenario besar yang membuat suatu negara, agama, kelompok, ras dan lainnya berperang satu sama lain? Siapa pelaku dan pendukung penjajahan, perampasan lahan, dan pembantaian warga Palestina dari tahun 1948 hingga sekarang? Siapa pelaku dan pendukung krisis di beberapa negara dengan cara licik membuat nilai dolar menjadi tinggi hingga negara tersebut tidak sanggup membayar utang dolar dan harus menjual berbagai asetnya? Siapa pelaku yang selalu menghina dan melecehkan sebuah ajaran agama, baik dengan menghina tokoh agamanya atau membakar kitabnya? Jadi siapa sebenarnya yang penjahat, pelaku teror, wahai kaum hipokrit?

Sungguh, serangan Prancis ini telah dengan telak membongkar tabir-tabir manusia hipokrit. Benarlah apa yang dikatakan Syaikh At-Thuraifi, ulama Timur Tengah, “Di antara tanda nifak adalah sikap bangga dan peduli terhadap permasalahan non-Muslim dan tidak peduli terkait permasalahan kaum Muslim.” [HM Ismail Yusanto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*