M. Ismail Yusanto: Tambang Freeport Milik Rakyat!

Beberapa waktu lalu ramai isu perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI). Pemerintah memberi sinyal perpanjangan kontrak itu “pasti” diberikan pada saatnya nanti. Di sisi lain, banyak pihak mendesak agar kontrak PTFI dihentikan. Salah satu pihak yang keras mendesak hal adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Untuk membahas seputar PTFI dan pengistimewaan oleh Pemerintah, juga mengapa PTFI harus distop, Redaksi mewawancarai Juru Bicara HTI Ustadz M. Ismail Yusanto, Berikut petikannya.

Freeport mengajukan perpanjangan kontrak hingga 2041. Padahal kontrak yang sekarang baru akan habis 2021.

Semua tahu, di wilayah konsesi Freeport di Grasberg tersimpan potensi tembaga, emas dan perak serta 12 jenis mineral lain dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan laporan tahunan (annual report) Freeport McMoran tahun 2014, per 31 Desember 2014, total cadangan PTFI untuk tembaga sebesar 29 miliar pound dan emas 28,2 juta ounce. Jika diasumsikan harga jualnya sesuai harga realisasi 2014, yaitu tembaga US$ 3,01 per pound dan emas US$ 1.229 per ounce maka potensi total pendapatan tembaga PTFI adalah (29 miliar pound x US$ 3,01) = US$ 87,290 miliar, sementara total pendapatan emas adalah (28,2 juta ounce x US$ 1.229) = US$ 34,6578 miliar. Total pendapatan tembaga dan emas itu adalah sekitar US$ 121,9478 miliar. Jika diasumsikan kurs Rp 13.500 per 1 US$ maka total pendapatan tembaga dan emas itu sekitar Rp 1.646,295 triliun.

Ini jika diasumsikan mineral yang ditambang hanya emas dan tembaga. Namun, karena adanya kandungan perak dan berbagai unsur mineral lainnya, total potensi pendapatan tambang Freeport bisa mendekati Rp 2.000 triliun!

Dalam kontrak karya generasi kedua yang dimulai pada tahun 1991, batas kontrak eksploitasi adalah 2021. Freeport punya hak mendapatkan perpanjangan 2 kali 10 tahun atau totalnya hingga tahun 2041. Nah, sebelum habis kontrak itu, mereka ingin memperpanjang lagi karena mereka tahu persis besarnya kandungan mineral di sana.

Beberapa tahun lalu saya pernah berjumpa dengan salah satu VP (Vice President) Freeport Indonesia. Saat itu ia menceritakan, Freeport baru saja menginvestasikan 125 Juta USD (hampir Rp 1,5 triliun) untuk pengembangan eksplorasi yang dilakukan jauh keluar area kerja mereka sekarang ini hingga mencapai Puncak Soekarno. Hasilnya, sangat mengejutkan. Di sana ditemukan emas yang kandungannya jauh lebih besar dari apa yang mereka dapatkan selama ini, yaitu 200.000 ounce emas/hari. Tentu mereka tidak mau kehilangan peluang yang sangat menggiurkan itu. Rencananya, mereka akan menggeruk emas yang sangat melimpah itu dengan metode penambangan bawah permukaan, alias tambang tertutup. Bila itu dilakukan, tidak akan ada orang yang tahu, kecuali mereka yang ikut masuk ke dalam terowongan-terowongan itu. Karena itulah mereka bergegas mengajukan perpanjangan kontrak.

Pada Juli lalu, Pemerintah melalui menteri ESDM malah mencari terobosan agar perpanjangan ijin PT Freeport Indonesia (PTFI) bisa dipercepat. Di antara opsinya dengan mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Terlihat PTFI begitu diistimewakan oleh Pemerintah. Bagaimana pandangan Ustadz?

Betul, Freeport memang sangat diistimewakan oleh Pemerintah. Lihatlah, dalam UU No 4/2009 tentang Minerba disebutkan, paling lambat 5 tahun sejak UU tersebut diundangkan, semua perusahaan tambang harus membangun smelter dan dilarang mengekspor tambang mentah ataupun konsentrat. Lima tahun itu sudah lewat, tetapi Freeport tak kunjung membangun smelter. Itu artinya mereka telah melanggar undang-undang. Pada galibnya, siapa pun yang melanggar UU harus dihukum. Ini alih-alih kena sanksi, Freeport malah mendapatkan ijin untuk mengeksor konsentrat. Mereka juga dibiarkan saja terus beroperasi meski jelas-jelas tidak menjalankan perintah UU untuk membangun smelter. Pada saat yang sama, puluhan perusahaan tambang domestik dipaksa atau terpaksa tutup karena tidak mungkin lagi beroperasi setelah mereka dilarang mengekspor tambang mentah. Membangun smelter juga tidak mampu karena sangat mahal. Ini sungguh aneh.

Usaha Pemerintah untuk mencari jalan agar Freeport bisa segera mendapat kepastian untuk melanjutkan operasinya di Papua, meski jelas tersebut dalam UU perpanjangan itu paling cepat baru bisa dilakukan 2 tahun sebelum kontrak berakhir, lagi-lagi menunjukkan perlakuan istimewa Pemerintah terhadap Freeport. Dengan sikap itu, Pemerintah telah nyata-nyata tunduk pada kemauan Freeport.

Sepertinya perpanjangan kontrak PTFI bagi Pemerintah RI menjadi harga mati?

Bila kita baca secara cermat surat jawaban Menteri ESDM terhadap surat Bos Freeport, McMoran James R Moffet beberapa waktu lalu, terlihat jelas bagaimana posisi dasar Pemerintah terhadap Freeport: perpanjangan, bukan terminate (penghentian). Hanya karena kendala UU-lah yang membuat keputusan perpanjangan itu tidak bisa segera dilakukan sekarang. Nah, dengan posisi dasar seperti itu, bisa diduga langkah lanjutan apa yang bakal diambil. Ya, tentu saja akan selaras atau diselaraskan dengan posisi dasar itu. Alhasil, bukan Freeport yang harus tunduk pada peraturan perundangan, tetapi peraturan perundangan itulah yang akan diubah guna memenuhi keinginan Freeport. Dengan kata lain, memang tidak ada political will dari Pemerintah untuk mengambil alih tambang di Papua itu dari tangan Freeport. Padahal inilah saatnya karena kontrak bakal habis 2021.

HTI terus bersuara keras tentang kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI). Apa sebenarnya masalah mendasar terkait PTFI itu?

Kita tidak boleh lupa, barang tambang di Papua itu milik kita. Itu milik rakyat. Freeport itu hanya ngontrak. Masa kontrak itu bakal habis tahun 2021. Nah, mestinya setelah kontrak habis, itu barang kembali ke kita dong. Wong kita juga butuh.

Apalagi selama masa kontrak itu, kita seperti tidak memiliki itu barang. Lihatlah, tambang emas terbesar di dunia itu ternyata mayoritasnya, yakni 81,28%, dimiliki oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) dan 9,36% dimiliki PT. Indocopper Investama. Pemerintah Indonesia, yang notabene mewakili seluruh rakyat Indonesia, sang pemilik tambang itu, ternyata hanya memiliki saham 9,36%. Royalti yang diterima juga sangat kecil.

Namun, saya ingin mengatakan, persoalannya bukan pada berapa persen royalti akan diberikan Freeport kepada kita, atau berapa persen saham Pemerintah setelah program divestasi nanti dilakukan, tetapi pada kenyataan bahwa barang tambang di sana, yang sangat banyak itu, adalah milik rakyat. Tambang itu wajib dikelola negara demi bagi kesejahteraan rakyat. Karena itu, ini hari harus kita ambil-alih. Kalau itu tidak bisa dilakukan, saat kontrak habis itulah kesempatan untuk ambil-alih. Nah, ini aneh, alih-alih mau ambil alih, yang ada malah bicara tentang perpanjangan kontrak sambil meminta ini dan itu, termasuk royalti yang 7 persen. Itulah mengapa HTI bersuara keras. Kita sering bicara tentang pentingnya dana untuk pembangunan, termasuk soal kemandirian ekonomi, lah ini ada sumber uang yang sangat besar malah diberikan ke pihak asing.

Ada opini yang “menakut-nakuti” tentang akibat jika PTFI distop mulai dari Papua lepas, APBN kolaps, ekonomi Papua mati, PHK massal, investasi anjlok, sanksi dari Badan Arbitrase Internasional dan lainnya. Bagaimana, Ustadz?

Ya, itu cara yang dilakukan oleh Freeport dan para kompradornya di sini untuk menekan Pemerintah dan rakyat Indonesia. Seolah kalau Freeport dihentikan, Indonesia bakal kiamat, Papua lepas, APBN kolaps, ekonomi Papua mati, bakal ada PHK massal, investasi anjlok dan lainnya. Berpulang pada kita, percaya atau tidak dengan semua bualan itu. Bagaimana APBN bakal kolaps sedang kontribusi Freeport ke dalam APBN hanya secuil. Ekonomi turunannya memang besar. Menteri ESDM menyebut sekitar 1,9 miliar USD atau lebih dari Rp 200 triliun saban tahun. Namun, ekonomi turunan itu tetap akan terjaga bila operasi tambang itu terus berjalan, dan karena itu ekonomi Papua tidak akan mati, juga tidak perlu ada PHK massal. Malah setelah tambang itu kita kelola sendiri, hasil yang didapat bisa lebih besar, termasuk alokasi untuk rakyat Papua sehingga mereka lebih sejahtera. Bila demikian keadaannya, bagaimana mereka mau merdeka?

Pendek kata, jika semua hal jauh-jauh hari disiapkan dengan matang, sehingga operasi penambangan di sana tidak terhenti, insya Allah semua kekhawatiran tadi tidak akan terjadi. Mungkin saja ada sedikit gejolak. Itu wajar, karena penghentian kontrak Freeport pasti mengecewakan pihak-pihak tertentu dan sangat mungkin mereka kemudian melakukan berbagai tindakan untuk mengacaukan keadaan. Jadi, selalu ada 1001 alasan untuk takut. Namun, cuma perlu satu alasan saja untuk berani.

Apalagi selain Freeport terus menekan dengan segala cara, Pemerintah kita juga lemah tiap kali berhadapan dengan Freeport. Mungkin karena mereka telah mendapatkan “sesuatu” dari perusahaan. Saya juga pernah jumpa dengan bagian akunting dari PT Freeport. Apa tugas kawan ini? Ternyata tugasnya adalah tiap bulan melakukan transfer dana kepada para pejabat Pemerintah dari paling tinggi hingga level paling rendah.

Sistem politik yang ada juga membuka celah bagi terus berlangsungnya kontrak Freeport itu. Penguasa butuh dana untuk menopang kekuasaannya atau untuk mempertahankan dan memperpanjang kekuasaannya, sedangkan perusahaan-perusahaan seperti Freeport butuh dukungan politik. Jadilah keduanya saling membutuhkan. Inilah persekongkolan jahat yang jelas-jelas telah sangat merugikan rakyat. Persekongkolan semacam ini semestinya tidak boleh dibiarkan terus terjadi.

Jadi apa yang harus ada khususnya di Pemerintah, juga rakyat, untuk menghentikan Freeport?

Pertama harus ada sikap dasar. Pemerintah, demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia, berkehendak untuk mengelola barang tambang yang ada di Papua. Sikap dasar ini harus disampaikan secara tegas dan terbuka, disertai dengan seruan kepada seluruh rakyat, khususnya rakyat di Papua, polisi dan tentara, anggota Parlemen, dunia usaha, tokoh masyarakat dan birokrat untuk mendukung keputusan ini.

Kepada rakyat juga harus dijelaskan bahwa barang tambang yang jumlah kandungannya sangat melimpah seperti yang saat ini dikelola Freeport adalah milik rakyat. Dengan penjelasan itu, insya Allah rakyat pasti mendukung perjuangan untuk mewujudkan pengelolaan barang tambang itu dan kekayaan alam lain secara benar. Dengan dikelola secara benar, kekayaan alam negeri ini yang begitu melimpah akan mampu menyejahterakan rakyatnya.

Selanjutnya, dilakukan persiapan-persiapan secara teknis, ekonomi, yuridis dan politis untuk pengambilalihan itu agar operasi di sana tetap bisa berjalan meski di awal pengambilalihan agak tersendat. Secara yuridis harus dikaji agar tidak mudah bagi siapapun untuk mempersoalkan secara hukum. Secara ekonomis harus diperhitungkan biaya yang diperlukan dan berapa lama keadaan bisa normal kembali. Lalu secara politis harus siap menghadapi setiap tekanan baik dari dalam maupun luar negeri atas keputusan ini. Saya kok sangat yakin, keputusan Pemerintah untuk menghentikan kontrak karya ini akan mendapat dukungan luas dari masyarakat, kecuali dari segelintir orang yang merasa bakal dirugikan dengan keputusan ini. Kalau dari segi teknis dan ekonomi saya yakin kita mampu. Secara politik kita juga bisa menghadapi.

Sayang, sikap dasar seperti ini tidak ada. Karena itu kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus terus menekan Pemerintah untuk memutus kontrak itu. Bila tekanan itu dengan keras terus-menerus dilakukan, seperti dalam kasus Blok Mahakam, insya Allah hasilnya akan seperti yang kita harapkan.

Lebih jauh lagi, usaha untuk tegaknya syariah harus makin digencarkan. Pasalnya, hanya melalui penerapan syariah secara kâffah dalam institusi Khilafah, pengelolaan sumberdaya alam seperti tambang emas dan tambang lainnya secara benar—yang hasilnya untuk kesejahteraan rakyat itu—akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Rakyat harus diajak untuk tidak lagi percaya pada sistem kapitalis-sekular karena telah terbukti hanya menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan rakyat banyak seperti yang selama ini terjadi. WalLâhu a’lam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*