Peran Amerika—Perancis di Suriah

Setelah Perang Dunia I, Sekutu (yang dipimpin oleh Inggris dan Perancis) membentuk kerangka kerja politik internasional yang akan melayani kepentingan mereka dalam jangka panjang. Dalam Perang Dunia II kita menyaksikan pengaruh Amerika dan kemudian menyaksikan penghapusan kekuatan Eropa dari sebagian besar bekas koloni mereka.

Suriah, yang sebelumnya merupakan koloni Perancis (“yang diberikan mandat”) dan dalam lingkup langsung pengaruhnya, digantikan oleh hegemoni Amerika saat Hafez Assad mencapai tampuk kekuasaan pada tahun 1971.

Rezim Assad telah menjadi landasan untuk kepentingan strategis Amerika di kawasan itu selama 4 dekade terakhir [1]. Rezim tersebut memberi kemudahan untuk mencapai tujuan-tujuan Amerika selama Perang Teluk Pertama pada tahun 1991. Rezim ini meruntuhkan pengaruh Eropa di Libanon selama perang saudara melalui pendudukan militer yang dilindungi oleh Amerika. Secara konsisten, rezim ini juga telah berperan aktif dalam “Perang Melawan Teror” Amerika pasca 11/9.

Arab Spring membawa risiko dan peluang bagi banyak kekuatan dunia, dan kesempatan untuk mengguncang keseimbangan kekuasaan di wilayah penting ini setelah beberapa dekade “stabilitas” pemerintahan otokratis, yang selalu mengancam dan mendidihkan kemarahan rakyat dengan status quo mereka. Beberapa negara, seperti Perancis, melihat hal ini sebagai kesempatan untuk menantang dominasi Amerika di wilayah tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, Perancis dengan lancang telah menentang pengaruh Amerika dan pada gilirannya berusaha melaksanakan kebijakan luar negerinya, menolak kebijakan luar negeri Amerika, dan bekerja di luar kepemimpinan Amerika, serta menandakan aspirasi untuk terus melanjutkan statusnya sebagai “kekuatan besar”.[2] Operasi Serval Perancis di Mali, Pantai Gading, Libya, dan Suriah hanyalah beberapa contoh dari hal ini.

Saat rezim Assad mulai menggunakan tindakan militer keras untuk membatalkan revolusi Suriah, para anggota tentara Suriah membelot dan membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Saat oposisi mulai mendapatkan momentum dan mampu membebaskan beberapa wilayah Suriah, hal itu merupakan kesempatan emas untuk bersaing dengan kekuatan global — termasuk Amerika dan Perancis — untuk memastikan bahwa apapun hasil dari konflik ini, akan menghasilkan pengaruh politik untuk mereka.

Pada saat itu, di bulan Agustus 2011, Dewan Nasional Suriah (SNC) dibentuk untuk menjadi “perwakilan politik” revolusi dan alternatif yang potensial bagi Assad.

Perancis terlibat dalam menciptakan dewan itu, dan merupakan institusi yang pertama dan tercepat, untuk mengakui oposisi SNC sebagai “wakil unik” dari rakyat Suriah [3]. SNC dipimpin oleh Burhan Ghalyoun, seorang akademisi dan tokoh oposisi Suriah terkenal yang tinggal di pengasingan di Perancis.

Pada awal tahun 2012, Perancis jugalah yang memprakarsai kelompok internasional “Sahabat Suriah”, yang tujuannya adalah memberikan pihak oposisi Suriah bantuan politik dan militer untuk memerangi rezim Assad. Perancis berusaha mengerahkan pengaruh atas konflik ini melalui platform yang dibuat di luar Dewan Keamanan PBB, sebab Prancis tidak bisa melakukannya melalui Dewan Keamanan PBB karena Rusia dan China memveto proposal Perancis.

Ketika Dewan Nasional Suriah kehilangan relevansinya, Prancis dengan cepat membentuk Koalisi Nasional Suriah baru yang dibuat pada bulan November 2012 untuk mempertahankan pengaruh para tokoh oposisi Suriah yang telah beralih ke lembaga yang baru dibentuk.

Amerika secara terbuka dan sengaja mempertahankan kebijakan ambigu terhadap Assad, tetapi berusaha memperpanjang konflik dengan tidak memberikan alternatif. Meskipun dikritik secara terbuka, AS hanya sedikit melemahkan pemerintahan Assad secara politik. Duta Besar Amerika untuk Suriah Robert Ford memperjelas bahwa menjatuhkan Assad “bukan tujuan kami sebelumnya dan tidak harus sekarang”. [4]

“Satu-satunya alat kebijakan yang kami bersedia terlibat adalah memberikan sanksi yang lebih besar. Dan semua orang tahu bahwa Assad tidak akan mundur karena diterapkannya sanksi yang lebih besar,” kata Ford. “Hal ini bisa dipahami.” [5]

Persaingan Amerika-Perancis yang lama ini menunjukkan tanda-tanda menguat. Sudah jelas bahwa Perancis memimpin posisi Eropa yang kuat yang menyerukan dilengserkannya Assad [6].

Robert Ford mencatat para diplomat Amerika ingin mengulur waktu dan “mencoba mempertahankan Perancis”, tetapi tekanan kemudian meningkat. Seperti yang ditekankan oleh Hannah Alam [7]: “Saat pemerintah Perancis mengumumkan bahwa Mendagri Alain Juppe akan mengunjungi Washington di bulan Juni, dalam rangka bertemu Menlu AS saat itu, Hillary Clinton, Ford khawatir kesempatan itu akan digunakan untuk menyerukan penggulingan Assad.

Dia mengatakan dia menekan bosnya, Feltman, “untuk memastikan agar dia tidak mengatakan hal itu.” ”

Pada tahun 2012, Perancis  mendapatkan momentum untuk melakukan intervensi militer di Suriah dan menyatakan bahwa negara itu akan mencari resolusi di bawah Bab 7 Piagam PBB – suatu langkah yang bertujuan untuk memimpin intervensi militer [8]

Pada bulan Agustus tahun 2013 dan saat Assad melancarkan serangan senjata kimia yang mematikan di Damaskus yang menewaskan lebih dari 1.400 anak-anak, Perancis mendapat kesempatan lagi dan dengan cepat memobilisasi pesawat tempur sambil terus menyerukan intervensi militer secara langsung. Serangan militer dalam waktu dekat tampak nyata dan Perancis telah mengajak Barat untuk mendukungnya hingga saat akhir, sehingga Rusia telah menarik semua warganya dari Suriah. Namun, deklarasi ini terbukti terlalu dini karena eskalasi internasional krisis ini dapat dihindari oleh perjanjian Amerika-Rusia pada tanggal 14 September 2013 [9], yang membatalkan upaya ambisius Perancis.

Dari sini, berdasarkan Selin Guler dari The Wise Men Center for Strategic Strategis, “Hal ini dibuktikan dengan perjanjian Kerry-Lavrov mengenai senjata kimia yang dimiliki oleh rezim Suriah, saat Rusia dan Amerika Serikat tidak akan meninggalkan ‘tempat bermain di Timur Tengah’ kepada Perancis”. [10]

Akibatnya, Perancis terisolasi setelah Presiden AS Barack Obama menolak untuk bertindak meskipun terjadi pelanggaran (oleh Assad) atas apa yang sebelumnya dia nyatakan sebagai “garis merah”, dan adanya suara parlemen Inggris terhadap aksi militer. Dengan demikian, kesempatan untuk memberikan respon yang cepat tenggelam, dan Perancis merasa dikhianati.

Menurut Didier Miliar, Wakil Direktur International and Strategic Relations Institute, salah satu pertimbangan utama yang berdampak pada keputusan intervensi Hollande adalah “perdebatan yang berlangsung antara kelompok Gaullist dan kelompok Atlanticist mengenai keputusan kebijakan luar negeri Perancis. Kelompok Atlanticists, yang membela kebijakan luar negeri Perancis untuk dekat dengan AS daripada berusaha melakukan kebijakan luar negeri Perancis yang independen, lebih berpengaruh dalam kasus Suriah” [11].

Tuntutan terus menerus dari Perancis untuk menyingkirkan Assad disebabkan Perancis menderita beberapa kemunduran dan terisolasi secara politik, seperti yang dijelaskan oleh Menlu Perancis Laurent Fabius [12].

Meskipun terdapat waktu dan upaya yang luar biasa yang dilakukan Perancis melalui kelompok Sahabat Suriah dan Dewan Nasional Suriah, Perancis tidak mencapai apa-apa kecuali kecemasan dan reaksi di dalam negeri yang, menurut laporan buletin yang dikeluarkan oleh Institute of International Affairs Polandia, [13] “menuduh para diplomat Perancis sebagai tidak realistis dan memfasilitasi marginalisasi negara dalam upaya internasional untuk mengakhiri konflik itu, terutama setelah pertemuan Rusia-Amerika pada bulan Juni 2012 di Jenewa dan pengumuman pembicaraan lebih lanjut tentang konferensi Jenewa II, yang juga diikuti Prancis.”

Akan tetapi, meskipun ada kemunduran ini, Perancis dengan teguh tetap menuntut mundurnya Assad, sementara Amerika, Inggris, dan Rusia mengisyaratkan bahwa Assad bisa tetap berada dalam pemerintahan transisi selama beberapa bulan.

Beberapa saat ketika revolusi Suriah, Perancis mendapat posisi yang baik untuk memimpin invasi militer Eropa di Suriah. Dari segi politik, Eropa, dan Perancis khususnya, memiliki pengaruh atas arah Dewan Nasional Suriah yang dipimpin oleh Burhan Ghalyoun. Pada saat yang sama, sejumlah brigade pemberontak yang aktif di medan tempur selaras dengan tujuan Eropa untuk secara tidak langsung menjalin hubungan dengan negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Qatar, UEA, dan Kuwait.

Namun, upaya tersebut membuat frustasi Perancis karena keengganan yang ditunjukkan oleh Inggris, dan perpecahan Eropa sebagai kekuatan potensial, dan dorongan kuat oleh Amerika, untuk menjadi pemain utama di Suriah, terhadap setiap tindakan militer tersebut, melalui diplomasi dan secara bersamaan melalui badan-badan PBB.

Dalam beberapa saat terakhir, pengaruh Perancis selama konflik di Suriah telah berkurang, dan dengan demikian kemampuannya untuk menargetkan Assad atau melakukan intervensi militer, tidak memiliki rencana yang komprehensif dan memberikan alternatif. Secara politik, pengaruh Perancis dalam tubuh oposisi politik Suriah telah melemah sementara tindakan pejuang bersenjata (pemberontak) tampak semakin mengerikan tidak hanya untuk bagi Perancis, tetapi juga bagi para pemain internasional lainnya, khususnya Amerika.

Situasi ini memaksa mantan Perdana Menteri Perancis, Alain Juppe untuk mengatakan, “Saya pikir telah tiba saatnya bagi kita untuk bersikap rendah hati dan duduk bersama di meja perundingan di Jenewa dengan Bashar al-Assad. Mungkin kita bisa menyelamatkan lebih banyak.” [14]

Melihat kenyataan ini, Perancis masih berusaha membangun sebuah front Eropa yang kuat agar dapat menantang Amerika dan bisa berbagi masa depan Suriah. Dalam upaya ini, Perancis mengambil setiap kesempatan untuk melemahkan Assad, sehingga tercipta ketidakstabilan yang akan memaksa Amerika menerima peran Perancis dalam membentuk masa depan Suriah.

Sebelum upaya sebelumnya untuk bertindak di luar platform internasional ini — seperti halnya kasus dibentuknya kelompok Sahabat Suriah – Perancis pada hari ini bertindak dalam platform internasional sehingga menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan bersama Amerika dan Rusia.

Namun hal ini terbukti sulit, karena Amerika tampaknya mengabaikan Perancis dalam mengembangkan solusi politik bagi Suriah. Pada tanggal 14/11/2015 sebagai bagian dari Konferensi Wina, baik Amerika maupun Rusia menyepakati rencana aksi yang akan menyebabkan “solusi politik yang komprehensif” bagi Suriah, tanpa melibatkan negara Eropa manapun. [15]

Amerika, karena mengetahui dengan baik bahwa Rusia tidak memiliki akar di Suriah maupun pengaruh atas salah satu kelompok oposisi (apakah secara politik atau militer), memungkinkan dirinya  memainkan peran besar dalam (1) mempertahankan rezim Assad secara militer dan memberikan dukungan logistik sehingga mencegah Assad jatuh sebelum siapnya alternatif lain; dan (2) meminggirkan peran Eropa dan mengembangkan peta jalan untuk proses politik di Suriah tanpa Eropa.

Meskipun demikian, Perancis menjadi lawan terkuat Barat dengan gagasan bahwa Assad dapat memainkan peran dalam proses transisi Suriah, sehingga menempatkan Amerika pada posisi yang sulit, membahayakan moralitas dan posisi Amerika mengingat catatan pelanggaran kemanusiaan menghebohkan yang baru-baru ini dilakukan Assad.

Pada bulan September 2015, Perancis bertindak di luar aliansi militer bersama yang dipimpin oleh Amerika dan dieksekusi oleh Rusia dan sekutu-sekutunya. Saat pesawat-pesawat tempur Perancis melakukan serangan udara, tampak seperti Perancis memaksa menunjukkan kehadirannya pada konflik itu. [16]

Dengan demikian, jelas ini merupakan pergumulan antara Perancis yang keras kepala dan ingin memaksakan dirinya masuk dan memainkan peran penting di Timur Tengah dengan Amerika yang hanya akan membiarkan negara-negara lain bekerja di bawah payungnya.

Amerika, seperti halnya Negara-negara barat lainnya, dapat menghukum negara yang menantang hegemoninya dan mengontrol peristiwa tersebut. Negara-negara Barat telah melakukan hal tersebut di masa lalu, melakukannya pada hari ini, dan akan terus melakukannya di masa mendatang jika itu berarti mereka harus mempertahankan posisinya di arena internasional.

Perdebatan telah memanas pasca serangan Paris berkaitan dengan isu, apakah Perancis harus mempertahankan posisi yang menuntut Assad untuk disingkirkan, atau apakah harus masuk ke dalam strategi Amerika yang lebih luas di Suriah. Amerika jelas berusaha memanfaatkan serangan Paris dengan mencoba mengalihkan diskusi sekitar kebijakan dan perlunya Perancis untuk menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan Amerika dalam rangka melawan ISIS dan “terorisme” di Suriah.

Sudah ada banyak ambiguitas  seputar detail serangan Paris. Kegagalan di sekitar dugaan adanya paspor Suriah pada salah satu penyerang sudah banyak diketahui, dan bahkan Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maiziere menyebutkan bahwa paspor itu bisa saja telah sengaja diletakkan di lokasi itu. [17]

Fakta-fakta seputar peristiwa di Paris perlahan tapi pasti akan muncul. Bisa memakan waktu berminggu-minggu atau mungkin bertahun-tahun.  Belum pasti serangan tersebut merupakan tindakan individu, kelompok atau negara, namun satu fakta yang sudah diketahui: bahwa negara-negara seperti Amerika dan Perancis telah, dan terus, bertanggung jawab atas beberapa tindakan kejahatan terburuk yang disaksikan oleh umat manusia. Tanggung jawab ini terletak dari kejahatan ini langsung, dengan mensponsori orang lain untuk melakukan kejahatan ini, atau menciptakan kondisi yang menghasilkan kejahatan ini – manapun dari skenario ini, akhirnya merupakan kebenaran.

Ini adalah perjuangan sengit untuk merebutkan salah satu wilayah yang paling strategis dan penting di dunia. Amerika berusaha untuk menerapkan solusi politik di Suriah yang disponsori oleh PBB, dengan adanya transisi atas pemerintah yang baru terpilih dan akhirnya tanpa Assad, tetapi memastikan “lembaga-lembaga negara akan tetap utuh”. Perancis di sisi lain harus menilai kembali pilihan dan tingkat keterlibatannya dalam konflik ini, mengingat serangan terbaru di Paris. [18]

Apapun skenario yang mungkin terjadi, yang harus membayar harga dari perebutan kekuasaan internasional yang merampas rasa kemanusiaan dan moralitas ini adalah warga sipil yang tidak berdosa, apakah di Suriah atau di Perancis.

 

Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh  Anas Alwahwah

Referensi:

[1] http://www.revolutionobserver.com/…/secrets-of-the-us-syria…

[2] https://www.washingtonpost.com/…/why-france-is-so-deeply-e…/

[3] http://www.theguardian.com/…/paris-attacks-hollande-syria-p…

[4] http://edition.cnn.com/2014/08/26/opinion/ford-isis-syria/

[5] http://www.mcclatchydc.com/…/nat…/world/article31016274.html

[6] http://www.mcclatchydc.com/…/nat…/world/article31016274.html

[7] http://www.mcclatchydc.com/…/nat…/world/article31016274.html

[8] http://www.theguardian.com/…/syria-france-un-resolution-hama

[9] http://www.telegraph.co.uk/…/The-US-Russia-agreement-on-Syr…

[10] http://www.academia.edu/…/French_Foreign_Policy_in_the_Midd…

[11] http://www.academia.edu/…/French_Foreign_Policy_in_the_Midd…

[12] http://www.theguardian.com/…/paris-attacks-hollande-syria-p…

[13] https://www.pism.pl/files/?id_plik=14805

[14] http://www.theguardian.com/…/france-active-policy-syria-ass…

[15] http://www.theguardian.com/…/g20-barack-obama-and-vladimir-…

[16] http://sputniknews.com/…/10276…/france-airstrikes-syria.html

[17] link: http://www.bloomberg.com/…/syrian-passport-in-paris-may-be-…

[18] http://www.ft.com/…/ee7d5b24-8aa7-11e5-8be4-3506bf20cc2b.ht…

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*