Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang diberlakukan pemerintah pada awal Desember (1/12) yang lalu, mengundang keprihatinan dari Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Rahmat Kurnia. Ia menyampaikan kenaikan harga dasar listrik dengan dalih nilai tukar, inflasi, dan kenaikan BBM hanyalah kedok saja.
“Penyebab utama kenaikan tersebut adalah spirit liberalisasi dalam sektor energi yang terus dipelihara, salah satunya di sektor listrik. Semua itu sesuai dengan amanat UU Kelistrikan No. 30/2009. Jadi, ini memang disengaja dan terencana,” tegasnya.
Lebih lanjut, politisi dari HTI ini menjelaskan bahwa kenaikan listrik ini pasti terjadi karena pemerintah melakukan pengurangan total subsidi pada APBN. Tahun 2016 ini, subsidi hanya sebesar Rp 182,6 triliun. Subsidi energi hanya sebesar Rp 102,1 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan gas sebesar Rp 63,7 triliun serta subsidi listrik sebesar Rp 38,4 triliun.
“Subsidi listrik itu turun 37,6 triliun dari APBN-P 2015 yang Rp 76 triliun. Artinya, subsidi listrik pada APBN 2016 dipangkas 49,47 persen dari APBN-P 2015. Dari subsidi listrik 38,4 triliun itu hanya sekitar Rp 29,39 triliun untuk subsidi berdaya 450 VA-900 VA yang selama ini masih mendapat subsidi. Wajar jika TDL menjadi melmbung,” tukasnya.
Akibat dari pemangkasan subsidi listrik itu, pemerintah hanya akan memberikan subsidi listrik untuk rumah tangga pengguna 450VA dan 900VA yang terkategori miskin. Berdasarkan catatan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), pelanggan listrik yang boleh memakai dua klasifikasi tersebut hanya mencapai 24,7 juta rumah tangga. Dengan begitu, dari 45 juta rumah tangga pengguna 450VA dan 900VA, sebanyak 22,3 juta rumah tangga pada tahun 2016 tidak lagi boleh menerima subsidi. Mereka diberi pilihan untuk naik daya ke 1300VA secara gratis. Jika tidak, mereka harus membayar harga listrik tanpa subsidi. Untuk pengguna 450VA akan mengalami kenaikan tarif 250 persen dan pengguna 900VA akan naik 150 persen!
Oleh karena itu, menurut HTI, dalam Islam, energi itu termasuk milik semua rakyat. Rasulullah SAW menegaskan sebagaimana riwayat Ahmad bahwa manusia itu berserikat dalam 3 hal, yaitu air, padang rumput/hutan, dan api (energi). Makna berserikat disini adalah yang memiliki hak kuasa atas energi adalah rakyat. Bukan Negara. Dengan demikian maka Negara tidak boleh memperjualbelikan. Apalagi kepada asing. Negara hanya berkewajiban untuk mengelolanya dengan baik dan semuanya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Negara menjadikan energy atau listrik sebagai salah satu layanan dasar yang wajib dipenuhi dengan harga murah, bahkan jika memungkinkan adalah gratis. Sekali lagi karena listrik adalah kepunyaan rakyat.
“Faktanya saat ini adalah Negara seolah-oleh yang memiliki listrik. Dan sedang bertransaksi jual beli dengan rakyat. Negara sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli. Negara ambil untung sebanyak-banyaknya. Tanpa memikirkan apakah beban yang ditanggungkan tersebut memberatkan ataukah tidak. Sungguh logika yang tidak masuk di akal. Buat apa ada Negara dan pemerintahan jika fungsinya bukan untuk melayani dan menyejahterakan rakyat,” tegasnya lagi.
Masih menurutnya, liberalisasi listrik ini pasti akan berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok lain, karena listrik termasuk komoditi ‘stimulus’ bagi kebutuhan yang lain. Jika listrik naik maka bisa dipastikan harga-harga akan ikut terkerek naik. Dan kondisi ini akan terus menerus terjadi. Dan ini bertentangan dengan Islam.
Disinggung mengenai solusi apa yang bisa dilakukan saat ini, Rahmat menegaskan, hanya solusi strategis yang diperlukan masyarakat Indonesia. “Yang kita perlukan bukan solusi praktis, tapi solusi strategis. Caranya, negara mem-back up penuh PLN, misalnya. Kita tahu, hingga saat ini PLN kesulitan mendapatkan pasokan gas dan batubara,” jelasnya.
Yang terjadi saat ini, PLN harus membeli mahal dari perusahaan pemegang kuasa tambang. Di sisi lain, gas dan batu bara justru lebih banyak lari ke luar negeri. Semestinya penuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu. “Namun, pemerintah saat ini sepertinya tidak bisa, atau boleh jadi tidak mau atau tidak punya nyali untuk memaksa perusahaan itu untuk memasok gas dan batubara itu ke PLN,” kritiknya.
Rahmat pun mengutarakan, sebab mengapa PLN tidak mendapatkan kemudahan itu semua. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan sumberdaya alam dikuasai swasta, baik lokal maupun asing. Kondisi akan berbalik apabila migas, batubara dan sumber-sumber listrik dikelola langsung oleh Negara. Niscaya negara dapat dengan gampang mengalokasikan semua itu untuk pembangkit listrik.
“Dengan Sumberdaya dikelola oleh negara, kan dampaknya ke harga produksi menjadi murah. Belum lagi, sekarang ini listrik sudah di-unbandling. Mulai dari hulu hingga hilir. Jelas, mata rantai makin panjang. Konsekuensinya, harga makin naik. Coba kalau negara betul-betul menangani langsung dan peduli terhadap rakyat maka listrik akan murah,” ujar politisi senior HTI ini.
Dia juga menambahkan, dengan menaikkan harga listrik maka harga-harga lain akan tergerek naik. Suatu ketika, dengan alasan harga naik, inflasi dan lain-lain, harga listrik pun akan dinaikkan lagi. “Akibatnya, akan terjadi lingkaran setan. Masalah semakin ruwet.
Jadi, kenaikkan harga listrik mestinya tidak terjadi. Oleh karenanya, dengan kenaikan TDL ini menunjukkan kesekiankalinya bahwa Negara abai terhadap rakyatnya,” tutupnya. (uwk)