Tanya :
Bolehkah karyawan muslim di mal atau pusat perbelanjaan memakai atribut Natal (seperti topi sinterklas)?
Jawab :
Haram hukumnya karyawan muslim mengenakan atribut Natal, seperti baju dan topi Sinterklas. Dalil keharamannya ada dua; pertama, karena mengenakan atribut Natal tersebut termasuk perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar). Kedua, karena perbuatan tersebut merupakan bentuk partisipasi (musyarakah) muslim dalam hari raya kaum kafir yang sudah diharamkan dalam Syariah Islam.
Haramnya menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) didasarkan pada banyak dalil syar’i. Di antaranya sabda Rasulullah SAW :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum). (HR Abu Dawud, no 4033; Ahmad, Al Musnad, Juz 3 no. 5114; Tirmidzi, no 2836). Hadits ini menurut Nashiruddin Al Albani adalah hadits hasan shahih.
Yang dimaksud menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), adalah menyerupai kaum kafir dalam hal aqidah, ibadah, adat istiadat, atau gaya hidup (pakaian, kendaraan, perilaku dll) yang memang merupakan bagian dari ciri-ciri khas kekafiran mereka. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/175; Ali Ibrahim Mas’ud ‘Ajiin, Mukhalafah Al Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 14).
Berdasarkan dalil hadits tersebut, haram hukumnya bagi seorang karyawan muslim mengenakan atribut atau asesoris Natal, seperti baju atau topi sinterklas. Karena atribut atau asesoris Natal tersebut merupakan baju atau atribut yang sifatnya khas yang melambangkan syiar atau simbol kekafiran. (‘Isham Mudir, Haqiqah Baba Nuwail wa Al Karismas, hlm.19).
Adapun haramnya muslim berpartisipasi (musyarakah) dalam hari raya kaum kafir (seperti Natal, Waisak, Nyepi, dll), dalilnya adalah firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
”Dan [ciri-ciri hamba Allah adalah] tidak menghadiri /mempersaksikan kedustaan/kepalsuan.” (walladziina laa yasyhaduuna az zuur). (QS Al Furqaan [25] : 72). Imam Ibnul Qayyim meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas, Adh Dhahhak, dan lain-lain, bahwa kata az zuur (kebohongan/kepalsuan) dalam ayat tersebut artinya adalah hari raya orang-orang musyrik (‘iedul musyrikiin). Berdalil ayat ini, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa haram hukumnya muslim turut merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur), atau memberi bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/156).
Berdasarkan dalil ayat tersebut, haram hukumnya bagi seorang karyawan muslim mengenakan atribut atau asesoris Natal. Karena perbuatan tersebut merupakan bentuk partisipasi atau turut serta merayakan hari raya kaum kafir.
Maka dari itu, karyawan muslim tidak boleh diam saja dan bahkan wajib menolak ketentuan dari atasannya untuk mengenakan atribut Natal, baik atasannya muslim maupun non muslim. Karena Islam tidak membolehkan menaati aturan yang melanggar Syariah Islam. Sabda Rasulullah SAW :
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
”Tidak ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah SWT).” (HR Ahmad, Al Musnad, Juz 5 no. 20672 & Al Hakim, Al Mustadrak, no 5870).
Demikian pula para ulama apalagi pemerintah, haram berdiam diri. Ulama wajib memberi nasihat atau fatwa kepada para karyawan muslim, dan juga melakukan kritik (muhasabah) kepada pemerintah. Pemerintah khususnya wajib melarang para pemilik mal atau pusat perbelanjaan untuk memaksa karyawannya yang muslim mengenakan atribut Natal.
Jika pemerintah mendiamkan pemaksaan atribut Natal, dan para pemilik mal tetap mengharuskan karyawannya yang muslim memakai atribut Natal, padahal karyawan tersebut sudah menyampaikan penolakan, maka dalam kondisi seperti ini terdapat udzur syar’i bagi karyawan muslim tersebut, yaitu adanya paksaan (ikraah) yang dapat menghilangkan dosa. Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
تجاوز الله عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
”Sesungguhnya Allah telah mengangkat (dosa) dari umatku; yaitu (dosa karena) tersalah (tidak sengaja), lupa, dan apa-apa yang dipaksakan atas mereka.” (HR Ibnu Majah no 2045 dan Al Hakim, Al Mustadrak, no 2801). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/176, hadits hasan). Wallahu a’lam.[] M.Shiddiq Al-Jawi