[Al-Islam edisi 785, 6 Rabiul Awal 1437 H – 18 Desember 2015 M]
Sangat penting untuk direnungkan kembali bagaimana memaknai Peringatan Maulid Nabi saw. Penting direnungkan kembali makna cinta dan ittibâ` kepada Rasul saw., juga bagaimana mewujudkan dan menerapkan cinta dan ittibâ` kepada beliau itu secara nyata di tengah kehidupan.
Iman Mengharuskan Ittibâ’ ar-Rasûl
Atas dasar keimanan terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad saw., kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk menaati beliau.
)وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(
Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul supaya kalian dirahmati (TQS Ali Imran [3]: 132).
Allah SWT juga berfirman:
)مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ(
Siapa saja yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Allah (TQS an-Nisa’ [4]: 80)
Jadi, Allah SWT menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya sebagai ketaatan kepada-Nya. Allah SWT juga telah mewajibkan untuk mematuhi perintah Rasul saw. dan menjauhi larangan beliau.
Lebih dari itu, Allah SWT mewajibkan kepada kaum Muslim untuk mengikuti (ittibâ`) Rasul saw. Ittibâ` kepada Rasul saw. itu Allah jadikan pembuktian nyata seorang hamba yang mencintai Allah SWT.
)قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ …(
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (TQS Ali Imran [3]: 31).
Dalam ayat ini, Allah SWT menjadikan ittibâ’ kepada Rasul saw. sebagai keniscayaan dari kecintaan kepada Allah SWT. Dengan redaksi syarth, ayat tersebut menjadikan ittibâ’ ar-Rasûl sebagai syarat terbuktinya kecintaan kepada Allah SWT. Jika syarat itu tidak terpenuhi, yaitu ittibâ’ ar-Rasûl, maka kecintaan hamba kepada Allah SWT pun tidak terbukti. Mencintai Allah SWT adalah wajib. Karena itu mengikuti Rasul saw. yang dijadikan syarat pembuktian kecintaan kepada Allah SWT itu juga wajib.
Tanda Cinta kepada Rasul saw.
Mencintai Rasul saw. adalah wajib (QS at-Taubah: 24) dan harus diposisikan sebagai kecintaan tertinggi setelah kecintaan kepada Allah SWT. Sebagaimana kecintaan kepada Allah itu harus tampak pengaruh dan kesannya pada diri seseorang Muslim, demikian juga kecintaan kepada Rasul saw. Kecintaan kepada Rasul saw itu. tak boleh sekadar klaim kosong.
Qadhi al-‘Iyadh dalam kitab beliau, Asy-Syifâ bi Ta’rîfi Huqûq al-Mushthafâ, menyatakan tentang kecintaan kepada Rasul itu. “Ketahuilah bahwa siapa yang mencintai sesuatu maka pengaruh dan kesan kebenaran klaim cinta itu haruslah tampak. Jika tidak maka kecintaan itu hanyalah klaim kosong. Orang yang benar-benar mencintai Nabi saw. adalah orang yang tanda-tanda kecintaannya kepada Nabi saw. itu tampak pada dirinya.”
Pertama: Meneladani beliau, menerapkan sunnah beliau, mengikuti ucapan dan perbuatan beliau, menjalankan segala perintah beliau dan menjauhi segala larangan beliau, serta beradab dengan adab beliau baik dalam keadaan susah atau mudah, yang disukai atau tak disukai.
Kedua: Banyak mengingat Nabi saw. Siapa yang mencintai sesuatu akan memperbanyak mengingatnya, termasuk banyak kerinduannya untuk bertemu dengan yang dicinta. Setiap kekasih suka bertemu dengan kekasihnya.
Ketiga: Banyak mengingat Nabi saw. harus disertai dengan mengagungkan beliau, merendahkan diri saat mengingat atau menyebut beliau, serta menampakkan kekhusyukan dan ketundukan ketika mendengar nama beliau. Termasuk dalam hal ini adalah memperbanyak shalawat kepada beliau.
Keempat: Membenci siapa saja yang dibenci oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, memusuhi siapa saja yang memusuhi beliau, menjauhi siapa saja yang menyalahi sunnah beliau dan membuat-buat perkara baru di dalam agama beliau (Islam) serta menganggap berat semua perkara yang menyalahi syariah Nabi saw.
Kelima: Mencintai al-Quran yang dibawa Nabi saw. dengan menjadikan al-Quran sebagai petunjuk dan berakhlaq dengan al-Quran. Kecintaan kepada al-Quran adalah dengan membaca, memahami dan mengamalkan isinya.
Keenam: Lemah-lembut dan belas-kasih kepada umat Nabi saw.; menasihati umat beliau serta berupaya mewujudkan berbagai kemaslahatan mereka dan menghilangkan hal yang membahayakan dari mereka, sebagaimana Nabi saw. menyayangi kaum Mukmin.
Ketujuh: Di antara tanda kesempurnaan kecintaan kepada Rasul saw. adalah bersikap zuhud di dunia dan tidak mengutamakan dunia, bersabar atas kefakiran dan kekurangan.
Mahabbah dan Ittibâ` Secara Kâffah
Mahabbah (cinta) dan ittibâ` kepada Rasul saw. jelas diwajibkan oleh syariah. Cinta dan ittibâ’ kepada Rasul itu harus diwujudkan sesuai kehendak syariah, bukan berdasarkan kehendak kita. Cinta dan ittibâ` yang mengikuti kehendak kita biasanya hanya diwujudkan pada sebagian perkara dan tidak pada sebagian yang lain. Perkara yang sesuai dengan keinginan kita, kita lakukan; yang tidak sesuai keinginan kita, kita tinggalkan. Akibatnya, mungkin kita hanya mengikuti dan meneladani Nabi saw. pada aspek-aspek personal, moral dan ibadah mahdhah-nya saja; tidak mengikuti dan meneladani Nabi saw. dalam urusan menerapkan hukum syariah, mengelola pemerintahan, berpolitik, mengelola perekonomian, membangun interaksi kemasyarakatan, menyelesaikan berbagai perkara dan perselisihan yang terjadi di masyarakat dengan hukum Islam serta menegakkan kekuasaan dan sistem yang menerapkan syariah Islam.
Padahal yang dituntut dan diperintahkan oleh syariah adalah agar kita mewujudkan cinta dan ittibâ` kepada Nabi saw. sesempurna mungkin. Kita dituntut untuk mewujudkan cinta dan ittibâ` kepda Nabi saw. secara totalitas (kâffah).
Allah SWT memerintahkan agar kita mengambil apa saja yang Nabi saw. bawa dan meninggalkan apa saja yang beliau larang:
] … وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [
Apa saya yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah; dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Maknanya, apapun yang beliau perintahkan, lakukanlah; apapun yang beliau larang, jauhilah (Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Menerima apa saja yang Nabi saw. bawa dan menjauhi apa saja yang beliau larang hakikatnya adalah mengambil seluruh syariah yang beliau bawa dalam segala aspeknya sebagai pedoman. Hal itu bukan hanya Allah SWT perintahkan, namun juga Allah SWT jadikan sebagai bukti kebenaran iman.
] فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا[
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara apapun yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Imam ath-Thabari menjelaskan makna ayat tersebut: Falâ maknanya tidak seperti yang mereka klaim, bahwa mereka beriman kepada kamu, tetapi mereka berhukum kepada thâghût dan berpaling dari kamu saat mereka diseru. ‘Demi Rabb-mu’, ya Muhammad, ‘mereka tidak beriman’, yakni tidak membenarkan Aku, engkau dan apa pun yang Aku turunkan kepada engkau, ‘sampai mereka menjadikan engkau hakim dalam semua perkara yang mereka perselisihkan (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).
Sepeninggal Nabi saw., menjadikan beliau sebagai hakim tidak lain adalah dengan menjadikan syariah yang beliau bawa sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara yang terjadi. Itu berarti menerapkan syariah Islam secara totalitas dalam semua urusan. Untuk itu mutlak memerlukan kekuasaan. Rasul saw. pun telah mencontohkan bagaimana beliau memohon kekuasaan kepada Allah SWT untuk mewujudkan hal itu.
)… وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا(
…dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Imam Qatadah menjelaskan, “Nabi saw. menyadari bahwa tidak ada daya bagi beliau dengan perkara ini kecuali dengan sulthân (kekuasaan). Karena itu beliau memohon kekuasaan yang menolong untuk Kitabullah, untuk hudûd Allah, untuk kewajiban-kewajiban dari Allah dan untuk tegaknya agama Allah (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).
Kekuasaan itu tidak ada artinya jika bukan sulthân[an] nashîr[an] (kekuasaan yang menolong). Kekuasaan yang menolong itu hanyalah kekuasaan yang sedari awal memang ditujukan untuk menolong agama Allah SWT, Kitabullah dan untuk menegakkan syariah-Nya. Kekuasan seperti ini hanyalah kekuasaan yang islami sejak dari asasnya, bentuknya, sistemnya, hukumnya, perangkat-perangkatnya, struktur dan semua penyusunnya. Kekuasaan yang menolong seperti itu adalah Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Karena itu sebagaimana Nabi saw. berjuang untuk mewujudkan Negara Islam di Madinah, kita pun harus berjuang untuk menerapkan syariah secara total dengan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Agenda ini harus menjadi agenda vital umat untuk segera diwujudkankan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengkaji kemungkinan bagi investor asing untuk menanamkan modal di sektor pembangkit listrik skala kecil dengan kepemilikan saham mayoritas (Kompas.com, 15/12).
- Ini menjadi tanda bahwa asing akan makin dalam mencengkeram negeri ini khususnya sektor energi listrik. Semua itu adalah akibat liberalisasi energi listrik dan liberalisasi investasi.
- Selamatkan negeri ini dengan menerapkan sistem ekonomi Islam.