Lembaga Antikorupsi Integritas menilai ada beberapa pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipilih Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, memiliki jejak rekam yang buruk. Sehingga ini bisa menjadi mimpi buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Terutama bagi kelembagaan KPK. Koordinator Lembaga Antikorupsi Integritas Arief Paderi mengatakan, pelemahan KPK itu sudah diprediksi sejak awal, sejak proses di panitia seleksi (Pansel), Sabtu, 19 Desember 2015.
Saat panitia seleksi memiliki orang-orang yang bermasalah, memiliki catatan buruk, dan rekam jejak tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Misalnya, kata Arief, ada pimpinan terpilih yang sejak awal proses seleksi tersebut menyatakan bakal mengarahkan KPK ke pencegahan. Tidak penindakan seperti sekarang ini. Juga ada pimpinan terpilih yang tidak memiliki latar belakang pemberantasan korupsi, dan juga ada yang sering dissenting opinion dalam perkara korupsi dan membebaskan terdakwa korupsi tanpa landasan hukum yang kuat.
Lima nama pimpinan KPK yang baru adalah Alexander Marwata, Saut Situmorang, Basariah Panjaitan, Agus Rahardjo, serta Laode Muhammad Syarief. Mereka terpilih dalam pemilihan suara di Komisi III DPR RI. Sementara itu Johan Budi, salah satu kandidat dari kalangan internal KPK, gugur dengan perolehan 25 suara. Begitu pula dengan Busyro Muqoddas, terpental, hanya mendapatkan 2 suara.
“Ada indikasi berupa grand desain untuk pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi. Ini terbukti sekarang. Selamat jalan KPK…” ujarnya kemarin.
Menurut Arief, sejak awal proses pemilihan pimpinan KPK, Presiden Jokowi sudah membuat kesalahan dalam memilih sembilan orang perempuan yang menjadi panitia seleksi calon pimpinan KPK. Ada kekhawatiran dan keraguan publik terhadap profesionalisme dan komitmen anggota pansel saat itu. Namun, banyak yang enggan untuk mengkritik sembilan perempuan yang dipilih tersebut.
Keraguan tersebut terbukti, saat tim pansel meloloskan sejumlah nama yang sudah menjadi sorotan negatif publik, karena memiliki rekam jejak yang buruk. Ini membuktikan dugaan tim pansel masuk dalam grand desain pelemahan KPK tersebut. “Jika tim pansel sejak awal transparan dan memilih orang-orang yang baik, kita tak perlu menguatirkan proses di DPR,” ujarnya.
Sebab, proses yang terjadi di DPR itu merupakan proses politik. Sehingga, mubazir berharap ke DPR untuk memilih orang-orang yang cocok mengisi kursi pimpinan tersebut. “Mereka tak memperhatikan aspirasi publik. Terpilinya lima orang pimpinan KPK ini merupakan bukti nyata,” ujarnya.
Integritas juga menguatirkan pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi belum akan berhenti setelah terpilihnya pimpinan. Masih ada bentuk pelemahan yang bakal lebih besar, yaitu melalui revisi UU KPK. Apalagi, saat ini revisi UU KPK masuk dalam daftar Prolegnas 2016. “Ini sebetulnya tidak terlepas dari peran Jokowi yang sangat tidak peduli terhadap upaya-upaya pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Makanya, kata Arief, masyarakat mesti menagih janji Presiden Jokowi untuk memperkuat KPK dan pemberantasan Korupsi yang termaktub dalam Nawa Cita yang dicetuskan saat kampanye pemilihan presiden. (tempo.co, 19/12/2015)