Hadir dalam Misa Natal di gereja, jelas itu sudah melanggar syariah Islam, dan bukan seperti ini toleransi yang diajarkan syariah Islam.
Entah apa yang diajarkan di kampus yang berlabel Islam tersebut, sehingga sebanyak 14 mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menghadiri ibadah Malam Natal di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Margoyudan, Solo, Kamis (24/12). Mereka ikut duduk di antara jemaat gereja lain. Di antara mereka ada yang perempuan dan mengenakan kerudung. Bahkan terlihat salah satu dari mereka ikut berdoa.
Usut punya usut ternyata mereka adalah adalah mahasiswa binaan pendeta yang menjadi dosen di Sunan Kalijaga, Wahyu Nugroho namanya. Wahyu yang juga Pendeta GKJ Margoyudan merupakan salah satu dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Hal itu dibenarkan oleh Sekretaris umum GKJ Margoyudan, Winantyo Atmojo DJ.
“Kedatangan mereka ke sini atas keinginan sendiri. Mereka mahasiswa Pendeta Pak Wahyu Nugroho di UIN. Beliau mengajar di sana. Beliau juga menyelesaikan kuliah S3 di sana,” kata Winantyo saat ditemui merdeka.com usai misa Natal, Jumat (25/12) siang.
Menurut Winantyo, saat mengikuti ibadah, para mahasiswa berbaur dengan ribuan jemaat lainnya. Mereka menempati deretan bangku kelima dari depan, dekat mimbar pendeta. Ada sembilan mahasiswi mengenakan kerudung dan enam lainnya mahasiswa.
“Mereka mintanya berbaur dengan jemaat kami. Makanya kami tempatkan di tengah-tengah. Sambutan hangat dari jemaat membuat mereka nyaman,” ujar Winantyo.
Menurut anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Shiddiq Al-Jawi motif mereka melakukan tindak keharaman tersebut untuk mendemonstrasikan apa yang disebut toleransi beragama. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan, “Beginilah toleransi itu.” Menurut pengasuh rubrik Ustadz Menjawab MU ini, tindakan jelas merupakan toleransi yang salah kaprah dan melanggar batas-batas syariah Islam.
Menurutnya, sebenarnya toleransi umat Islam terhadap kaum Nasrani yang merayakan Natal, cukup dengan sikap membiarkan.
“Ya, cukup dengan membiarkan. Membiarkan di sini maksudnya bukan mengakuinya sebagai kebenaran, tetapi dalam arti arti tidak melarang atau tidak menghalang-halangi. Inilah toleransi yang diajarkan dalam Islam, karena Islam mengajarkan bahwa kaum non-Muslim hendaknya dibiarkan untuk beragama dan beribadah menurut keyakinan mereka, mereka tidak diganggu dan tidak juga dipaksa untuk masuk Islam,” ungkapnya mengutip kitab Muqaddimah Al Dustur, 1/32 karya Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir.
Tapi kalau toleransi diartikan sebagai “partisipasi” (musyarakah) yang dilakukan Muslim dalam hari raya Natal, misalnya dengan mengucapkan selamat Natal, atau hadir dalam Natalan bersama, apalagi hadir dalam Misa Natal di gereja, jelas itu sudah melanggar syariah Islam, dan bukan seperti ini toleransi yang diajarkan syariah Islam.
Yang dilakukan para mahasiswa itu, sesungguhnya bukan bentuk toleransi yang diajarkan Islam, melainkan toleransi liberal yang diajarkan Barat, yang memang tidak mengenal syariah Islam sebagai batas-batasnya.
Shiddiq pun mengutip kitab Naqd at Tasaamuh al Libraali (Kritik Terhadap Toleransi Liberal) karya Prof. Muhammad Ahmad Mufti yang menyebutkan toleransi liberal didasarkan pada tiga ide pokok yakni sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan; relativisme, yaitu paham yang memandang kebenaran suatu agama itu relatif (tidak mutlak benar) dan pluralisme, yaitu paham yang memandang kebenaran semua agama yang bermacam-macam.
“Sesungguhnya ketiga ide pokok paham tersebut semuanya batil dan bertentangan dengan Islam!” tegas Shiddiq.
Inilah Dalil Yang Mengharamkan Muslim Ikut Natalan
Meski sudah jelas haram hukumnya Muslim berpartisipasi dalam ibadah Misa Natal di gereja bersama orang-orang Nasrani, tetapi tetap saja ada orang Islam yang melakukannya dengan dalih tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Kepada Media Umat, anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Shiddiq Al-Jawi mengungkapkan dua alasan utama yang mengharamkannya. Pertama, karena perbuatan termasuk termasuk perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), yang sudah diharamkan dalam ajaran Islam. Yang dimaksud menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), adalah menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri-ciri khas kekafiran mereka, seperti akidah, ibadah, adat istiadat, atau gaya hidup (pakaian, kendaraan, perilaku dll) kaum kafir. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/175).
Menghadiri misa Natal jelas-jelas merupakan bagian dari menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) itu. Rasulullah SAW telah melarang menyerupai kaum kafir sesuai sabdanya,”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum). (HR Abu Dawud, no 4033; Ahmad, Al Musnad, Juz 3 no. 5114; Tirmidzi, no 2836).
Kedua, karena kehadian para mahasiswa dalam Misa Natal di gereja tersebut merupakan bentuk partisipasi (musyarakah) Muslim dalam hari raya kaum kafir yang juga sudah diharamkan dalam Islam.
Dalilnya adalah firman Allah SWT (yang artinya),”Dan [ciri-ciri hamba Allah di antaranya adalah] tidak menghadiri/mempersaksikan kedustaan/kepalsuan.” (walladziina laa yasyhaduuna az zuur). (QS Al Furqaan [25] : 72). Imam Ibnul Qayyim meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas, Adh Dhahhak, dan lain-lain, bahwa kata az zuur (kebohongan/kepalsuan) dalam ayat tersebut artinya adalah hari raya orang-orang musyrik (‘iedul musyrikiin).
Berdalil dengan ayat ini, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa haram hukumnya Muslim turut merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur), atau memberi bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/156).
“Berdasarkan dalil ayat tersebut, perbuatan mahasiswa Muslim yang menghadir Misa Natal di gereja tersebut adalah haram,” pungkasnya. (mediaumat.com, 30/12/2015)