Dalam beberapa dekade terakhir, kita melihat Amerika telah memperparah konflik yang terjadi di Timur Tengah dan Asia Selatan. Baik konflik di Afghanistan maupun konflik di Irak, berlangsung lebih lama dari yang direncanakan. Banyak korban tewas dan tinggi biaya yang telah dikeluarkan. Timur Tengah memiliki beberapa problem paling rumit di dunia, yang di dalamnya Amerika telah turut campur sejak negara itu muncul sebagai negara kuat selepas PD 2.
Amerika tidak berbagi perbatasan wilayah darat maupun laut dengan Timur Tengah, survei juga menunjukkan bahwa dukungan terhadap kehadiran Amerika di kawasan itu sangat rendah dan negatif. Akan tetapi, Amerika terus saja melibatkan diri dalam berbagai problem di wilayah itu. Hal ini telah menyebabkan banyak orang di Amerika yang memperdebatkan agar Amerika mengurangi kehadirannya di Timur Tengah, namun para politisi Amerika tidak dapat meninggalkan Timur Tengah karena mereka mengetahui betapa penting dan strategisnya wilayah itu. Nilai strategis dan pentingnya Timur Tengah dapat dilihat dari beberapa perspektif.
Pertama, secara geografis, Timur Tengah terletak di antara persimpangan tiga benua—Asia, Afrika dan Eropa. Beberapa peradaban yang paling awal di dunia berasal dari wilayah itu. Wilayah tersebut juga merupakan tempat terjadinya sabuk perang ideologis antara Rusia dan Kapitalis Barat. Wilayah itu adalah garis pertahanan pertama dalam melawan Komunisme yang mencoba untuk memperluas pengaruhnya ke Afrika. Timur Tengah dikelilingi oleh lautan dan perairan serta rute darat, yang di sepanjang sejarah memainkan peran yang sangat penting. Terusan Suez tetap merupakan rute terpendek dari Barat ke Timur, yang tanpanya, kapal-kapal di dunia ini akan membutuhkan biaya bahan bakar ekstra, serta perjalanan yang jauh lebih lama di laut karena mereka harus mengelilingi benua Afrika. Selat Hormuz (selat paling penting untuk lalu lintas minyak di dunia), Bab el-Mandab, dan Terusan Suez adalah rute bagi lebih dari 40% minyak dunia.
Kedua, Timur Tengah telah diberkahi dengan kekayaan mineral; negara-negara ekonomi dunia banyak tergantung kepadanya. Wilayah ini adalah wilayah yang paling awal dikenal oleh AS dan menyebabkan pertemuan terkenal tahun 1945 antara Presiden AS Franklin D. Roosevelt dengan Raja Saudi Abdul Aziz bin Saud di Kapal USS Quincy.
Pada tahun 1944, Kementrian Luar Negeri Amerika menggambarkan Timur Tengah sebagai, “Sumber minyak yang merupakan sumber kekuatan strategis yang menakjubkan, dan salah satu material terpenting dalam sejarah dunia.” [1]
Sejak PD 2, Timur Tengah telah muncul sebagai sumber energi dunia paling penting dan kunci kestabilan ekonomi global. Pada hari ini, Timur Tengah tidak hanya memiliki ladang-ladang minyak dan gas terbesar di dunia, tetapi juga memproduksi 30% minyak dunia dan 16% gas dunia. Timur Tengah memproses lebih dari 65% cadangan minyak dunia dan 45% gas alam yang anggap layak di seluruh dunia. Timur Tengah juga merupakan pilihan minyak global yang disukai karena ekstrak minyaknya relatif mudah dan penyulingannya lebih murah karena menjadi minyak mentah jenis ‘light sweet’.
Ketiga, Timur Tengah mengontrol sebagian besar hidrokarbon yang belum ditemukan. Menurut Survey Geologi Amerika, lebih dari 50% cadangan minyak yang belum ditemukan dan 30% gas terkonsentrasi terutama di wilayah Saudi Arabia, Iran, Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Libya. [2] Konsentrasi dari begitu banyak hidrokarbon dunia di wilayah tersebut dan ditambah ekonomi global yang tergantung padanya, maka siapapun yang menontrol Timur Tengah akan menguasai tuas ekonomi dunia. Meskipun terdapat ketergantungan AS pada minyak, negara itu telah mengurangi ketergantungan minyaknya pada Timur Tengah dan hari ini hanya mengimpor 13% dari kebutuhan yang berasal dari fosil itu dari wilayah tersebut. [3] Akan tetapi, dengan begitu besarnya kekayaan mineral di Timur Tengah, Amerika tidak memperbolehkan siapapun untuk mendominasi wilayah tersebut, sebab hal ini bisa menantang keunggulan Amerika.
Keempat, Islam, sebagai alternatif peradaban tampil sebagai ancaman eksistensial bagi AS dan wilayah Barat lainnya.
“Aliansi telah menempatkan Islam sebagai target karena permusuhannya kepada Uni Soviet.” (Willy Claes, Sekjen NATO, 1995)
Islam berasal dari Timur Tengah dan selama beberapa abad, Agama Kristen telah terlibat dalam pertempuran dengan dunia Muslim. Sementara, kekalahan dunia Muslim dalam Perang Salib, merosotnya Imperium Ottoman pada abad ke 19, memberikan orang-orang Eropa kesempatan untuk mengakhiri ancaman dari Timur. Negara-negara buatan dibentuk untuk memecah belah Timur Tengah menjadi kelompok-kelompok palsu, dengan harapan bahwa Islam akan lenyap dan tidak pernah menjadi ancaman bagi Barat. Eropa menempatkan monarki-monarki dan otokrat-otokrat untuk mempertahankan arsitektur palsu ini dan Israel juga diciptakan untuk bertindak sebagai garis pertahanan kedua jika kesatuan politik muncul dari kaum Muslimin di wilayah tersebut. Setelah PD 2 dan dengan runtuhnya Inggris dan Perancis, AS mewarisi wilayah itu dan mempertahankan arsitektur ini. Kematian Komunisme pada tahun 1991 membawa kembali bentrokan langsung dan terbuka antara peradaban.
Willy Claes, yang kemudian menjadi Sekjen NATO, menegaskan bahwa “Fundamentalisme Islam setidaknya sama bahayanya dengan Komunisme.”
Dia juga menegaskan, “Aliansi telah menempatkan Islam sebagai target karena permusuhannya terhadap Uni Soviet” [4] Sementara pada tahun 1996, surat kabar The New York Times menegaskan, “Ancaman Merah sudah hilang. Yang berikutnya adalah Islam.”[5]
National Intelligence Estimates (NIE) telah menganggap Islam sebagai ancaman jangka panjang tidak hanya bagi dominasi AS, tapi juga bagi peradaban Barat itu sendiri. [6] Kaum Muslim yang bersatu dalam Islam sebagai sistem pemerintahan adalah kasus skenario terburuk bagi AS dan akan menjadi mantra bencana bagi supremasi global AS.
Timur Tengah memiliki sumber-sumber alam dunia yang paling strategis dan itu didominasi oleh Muslim yang percaya pada cara hidup politis secara alami, sehingga setiap kesatuan pada keyakinan ini akan membuat AS kehilangan wilayah strategis ini. Inilah sebabnya mengapa AS, sejak PD 2, mendukung para otokrat dan diktator untuk memastikan agar kesatuan (politik) di antara penduduk tidak pernah terjadi. Karena rakyat di wilayah ini, secara budaya berbeda-beda terhadap Barat, Amerika Serikat dan Barat tidak pernah mengambil kesempatan untuk membiarkan pemilu yang sebebas-bebasnya. Sebab, selalu ada kemungkinan bahwa rakyat akan memilih suatu rezim yang sejalan dengan nilai-nilainya, tetapi tidak sejalan dengan kepentingan Amerika. Arab Spring menegaskan kepada Amerika, bahwa setelah 100 tahun, Islam tetap hidup bersama dengan rakyat dan bahwa rezim-rezim, yang lama didukung oleh Amerika, tidak lagi dapat diandalkan untuk menekan rakyat. Kepentingan stratgis Timur Tengah tetap menjadi kunci pertimbangan bagi rezim-rezim penerus yang didukun AS untuk alasan ini. (riza/akmal)
REFERENSI
[1] U.S. Department of State. Foreign Relations of the United States. 1945, viii, 45, dikutip oleh Joyce dan Gabriel Kolko, The limits of power, Harper & Row, 1972, yang memberikan analisa mendalam mengenai kebijakan AS pada masa itu. [2] http://pubs.usgs.gov/fs/2012/3042/ [3] http://www.eia.gov/tools/faqs/faq.cfm?id=727&t=6 [4] http://www.nytimes.com/1996/01/21/weekinreview/seeing-green-the-red-menace-is-gone-but-here-s-islam.html [5] http://www.nytimes.com/1996/01/21/weekinreview/seeing-green-the-red-menace-is-gone-but-here-s-islam.html [6] http://www.foia.cia.gov/2020/2020.pdf
Sumber:
http://www.revolutionobserver.com/2015/12/why-the-us-cannot-leave-the-middle-east.html