Ketua Komisi VI: Ini Rezim Antisubsidi Sekaligus Rezim Minta Subsidi

132440_152346_spbuLangkah pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memungut dana ketahanan energi dari harga premium dan solar bersubsidi terus menuai kritik.

Dengan kebijakan baru ini, setiap konsumen akan dibebankan pungutan Rp 200 untuk setiap pembelian satu liter premium dan Rp 300 untuk satu liter solar.

“Ini rezim antisubsidi sekaligus rezim minta disubsidi,” kata Ketua Komisi VI DPR Hafizs Tohir dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/12/2015).

Sebelumnya, pemerintah menurunkan harga premium dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter, dan solar dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950 per liter.

Harga baru itu mulai berlaku pada 5 Januari mendatang.

Namun, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya ada di level Rp 6.950 per liter, dan solar Rp 5.650 per liter, menyusul turunnya harga minyak dunia.

Pemerintah kemudian menambah Rp 200 untuk premium dan Rp 300 untuk solar pada nilai keekonomian itu untuk dibebankan kepada rakyat.

Tambahan biaya ini merupakan dana untuk program energi terbarukan yang sedang dikembangkan pemerintah.

“Kata pemerintah, (harga BBM) mengikuti mekanisme pasar. Saat harga minyak dunia naik, cepat pula menaikkan harga BBM. Saat turun, rakyat masih disuruh menanggung,” kritik politisi Partai Amanat Nasional ini.

Selain tak berpihak kepada rakyat kecil, Hafizs pun mempertanyakan dasar hukum pemerintah untuk memungut dana ketahanan energi dari rakyat.

Menurut dia, pungutan ini adalah pelanggaran terhadap undang-undang. Kebijakan ini liar karena sama sekali tidak ada dasar hukumnya, baik itu UU tentang energi maupun peraturan turunannya, seperti peraturan pemerintah (PP).

Tafsir terhadap Pasal 30 UU Energi tentang ketahanan energi yang dijadikan rujukan oleh Menteri ESDM pun, menurut dia, keliru besar.

Maksud dari ketahanan energi dalam pasal ini, pemerintah wajib menjaga ketersediaan energi yang cukup bagi rakyat dan kesiapan cadangan energi dalam kurun waktu tertentu jika situasi yang tidak normal terjadi.

Tafsir berikutnya, pemerintah mengusahakan dan mengembangkan energi alternatif selain minyak dan gas, seperti potensi panas bumi, tenaga surya, dan bio energi.

“Jadi, bukan tafsirnya, kemudian memungut dana ketahanan energi (DKE) dari rakyat. Ini logika pedagang namanya. Saat subsidi BBM dicabut, ngakunya untuk pembiayaan sektor produktif. Nah, sekarang, kenapa malah rakyat disuruh menanggung DKE. Negara-negara dengan ekonomi kapitalis lberalis saja logikanya tidak seperti pemerintah sekarang ini,” ujar Hafisz.(kompas.com, 30/12/2015)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*