Mengenaskan!

Ironis! Atribut Natal dipaksakan dipakai oleh para karyawan Muslim di berbagai tempat perbelanjaan. Jabatan penting pun dikendalikan oleh non-Muslim. Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia dicengkeram oleh kekuatan asing.

Sekadar contoh, Dewan Perwakilan Rakyat (17/12/2015) telah menetapkan 5 orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka dipilih berdasarkan pemilihan suara alias voting. Ternyata, 3 di antaranya non-Muslim. “Oh, mungkin, sumberdaya manusia Muslim tidak unggul berkompetisi atau tim seleksi tidak obyektif alias penuh konflik kepentingan. Fakta ini membuktikan, Muslim yang mayoritas dimarjinalkan atau by designed dikucilkan,” tanggap Jawahir Thontowi.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Majelis Mujahidin Indonesia. “Umat Islam tidak perlu galau, harap disadari bahwa eksistensi mayoritas tidak diperhitungkan dalam urusan negara, kecuali dimanfaatkan untuk raih suara Pilkada,” ungkap Irfan S. Awwas. “Tingkatkan kualitas generasi Muslim. Marginalisasi ini gunakan untuk koreksi, kontrol kerja penguasa,” tambahnya.

Namun, hal ini merupakan hal yang tidak mengherankan bagi Rokhmat S. Labib. Bagi Rokhmat, kemunculan pemimpin non-Muslim tidak mengherankan dalam sistem saat ini. “Demokrasi merupakan biang lahirnya pemimpin-pemimpin kafir di Indonesia. Mereka naik ke tampuk kekuasaan melalui jalan demokrasi tersebut!” tegas Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia tersebut penuh semangat.

Karena itu wajar bila seruan agar umat Islam segera mencampakkan demokrasi terus mendapatkan sambutan.

Contoh lain, Jakarta yang mayoritas Muslim dipimpin oleh non-Muslim. “Haram hukumnya memilih pemimpin kafir,” ujar Sekjen Miumi, Bachtiar Nasir.

Keprihatinan tersebut ternyata milik banyak orang. Salah satunya, Prof. Ryaas Rasyid. Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden era SBY ini menegaskan, “Pemilihan langsung dan keterpilihan ditetapkan berdasarkan rumus 50% + 1 maka resmilah demokrasi liberal yang berbasis individualisme di Indonesia.”

Beliau segera menambahkan, “Jelas, ini tidak sejalan dengan azas musyawarah, kekeluargaan dan gotong-royong. Pemilihan langsung menyebabkan popularitas, uang politik dan manipulasi emosi rakyat menjadi faktor penentu keterpilihan. Akibatnya, faktor integritas pribadi, komitmen kepemimpinan, dan kompetensi manajerial yang seharusnya dikedepankan tidak menjadi pertimbangan utama.”

Oleh sebab itu, simpulnya, “Dalam situasi seperti ini harapan untuk percepatan kesejahteraan rakyat bisa-bisa hanya menjadi ilusi belaka.”

Tak sekadar itu. Kekayaan sumberdaya alam negeri zamrud khatulistiwa ini dikuasai kafir asing imperialis. Sebut saja, tambang emas di Papua hingga kini dikuasai oleh perusahaan Amerika Freeport. Kasus perseteruan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dengan Ketua DPR Setya Novanto hingga berakhir pada sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menunjukkan betapa legislatif maupun eksekutif bermain untuk memuluskan perpanjangan kontrak karya Freeport hingga tahun 2041 yang semestinya segera berakhir pada tahun 2021. Mengabdi kepada asing!

Untuk menyikapi hal ini, beberapa tokoh Islam yang peduli akan negeri ini mendatangi DPR (14/12/2015). Saat itu, saya yang diamanahi memimpin delegasi. Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, menerima dengan hangat delegasi tokoh umat tersebut. Muhammad Ismail Yusanto mengawali pembicaraan. Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia tersebut menyampaikan, “Pak Fahri, kami hendak menyampaikan bahwa dalam Islam, barang tambang seperti emas merupakan milkiyah ‘ammah (pemilikan umum). Tidak boleh diserahkan kepada swasta, baik domestik maupun asing. Dulu Rasulullah saw. pernah memberikan tambang garam kepada seorang sahabat. Namun, setelah mengetahui bahwa tambang tersebut demikian melimpah, beliau menarik kembali apa yang sudah diberikannya. Ini menunjukkan bahwa barang tambang yang jumlahnya banyak harus dikuasai oleh negara. Hal ini berlaku bagi Freeport. Tidak boleh tambang emas diserahkan kepada swasta, apalagi asing.”

Dengan tegas Ismail menambahkan, “Jadi, Pak Fahri, hanya ada satu kata: ‘Stop kontrak karya Freeport!’”

Turut hadir Mayjen Kivlan Zein. Ketua organisasi Bela Negara ini mengatakan, “Indonesia saat ini telah dikuasai oleh asing, aseng dan antek. Termasuk dalam kasus Freeport. Kita harus menyelamatkannya.”

Mantan Kepala Staf Kostrad tersebut menambahkan, “Antek itu ada di eksekutif dan ada juga di legislatif. Kita harus lawan!”

Sekjen Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 Hasbi Ibrahim menyampaikan pandangannya, “Korupsi kini di mana-mana. Permainan untuk mengegolkan perpanjangan kontrak karya Freeport juga tidak lepas dari bau korupsi. Oleh sebab itu, jangan sampai kasus sidang MKD menjauhkan dari inti persoalan. Masalah yang justru harus dilakukan adalah hentikan kontrak karya Freeport.”

Ketua Islamic Brotherhood, Prof. Musjbi sangat geram menyaksikan kenyataan ini. Aktivis Dewan Dakwah ini menasihatkan, “Para anggota DPR Muslim harusnya berpegang kepada syariat Islam. Termasuk dalam masalah Freeport. Jangan serahkan kepada asing! Jangan jual tanah dan air kepada asing! Jangan biarkan asing bercokol di negeri ini!”

Nasihat serupa disampaikan oleh Rokhmat S Labib, “Jabatan ini hanya sebentar. Para pejabat termasuk DPR dan pimpinannya harusnya menggunakan kekuasaannya untuk membela Islam dan kaum Muslimin. Salah satunya: stop Freeport! Jangan sampai menyesal kelak saat dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat.”

Saya turut menyampaikan pendapat. “Tidakkah sebaiknya yang dilakukan oleh DPR adalah membongkar semua hal ihwal Freeport? Apakah DPR tidak terpikir untuk membentuk Pansus Freeport sehingga terlihat dengan jelas persekongkolan antara eksekutif, legislatif, pengusaha dan asing dalam melanggengkan kekuasaan Freeport?”

Menanggapi pandangan para tokoh tersebut, Fahri Hamzah mengatakan bahwa apa yang disampaikan itu sejalan. “Kami sudah menyadari apa yang sedang terjadi. Karena itu kami tengah berupaya mendorong terbentuknya Pansus investigasi Freeport.”

Namun, setelah Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR, sidang MKD tak menghasilkan keputusan apa-apa selain menerima pengunduran diri tersebut. Upaya membongkar kasus Freeport ini pun nyaris tak terdengar. Benar kata kawan saya, “Sandiwara dengan apik sudah disuguhkan.”

Perusahaan asing Freeport tetap melenggang. Mengenaskan! [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*