Oleh-Oleh Jokowi dari Negeri Paman Sam: Ketidakberpihakan atas Nasib Rakyat

tppOleh: Pratma Julia Sunjandari (Ketua Lajnah Siyasi DPP MHTI)

Tak berlebihan jika kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat tanggal 25-26 Oktober 2015 lalu dimaknai sebagai kemenangan korporasi atas negara. Tepatnya kemenangan Trans National Corporation (TNC) kakap AS -seperti General Electric, Chevron, Phillip Morris, Coca Cola, Cargill, Swift Energy dan lainnya-lah yang akan mendapatkan keuntungan besar atas proyek-proyek yang segera berjalan di Indonesia.  Belum lagi jika Indonesia jadi bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP)  sebagaimana dijanjikan Jokowi. Lantas, apakah yang didapat rakyat Indonesia?

Bisnis dan Paket Kebijakan Ekonomi 

Kemenangan korporasi itu terealisir dalam 18 kesepakatan bisnis bernilai 20,075 miliar dollar AS atau kurang lebih Rp 273 triliun! Nilai itu setara 2,5 kali lipat dari total investasi AS di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir.  Kesepakatan-kesepakatan tersebut bernilai strategis karena mayoritas berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.  Seperti kesepakatan jual beli gas alam cair (LNG) antara Pertamina dan Corpus Christie Liquefaction, PLN Gorontalo dengan General Electric,  PT PLN (Persero) dengan Caterpillar untuk proyek pembangkit tenaga hibrid dan  microgrid di 500 pulau,  Universitas Udayana dengan Skychaser Energy untuk konservasi air, PT Kereta Api Indonesia dengan General Electric untuk perawatan 50 lokomotif selama 8 tahun, antara Perum Peruri dengan Crane Currency untuk pembangunan pabrik pengaman uang kertas dan sebagainya.  Begitu banyak kesepakatan itu hingga perlu dibagi menjadi beberapa grup. [1]

Tidak hanya kesepakatan tentang pelayanan kepentingan umum, bahkan perusahaan gaya hidup juga melancarkan ekspansi bisnis. Phillip Morris menerbitkan saham baru Sampoerna untuk perluasan pabrik, perkantoran dan investasi;  Coca Cola melakukan perluasan, penambahan produksi, pergudangan, distribusi, dan infrastruktur minuman ringan, juga Master card yang bekerja sama dengan BNI syariah  untuk peluncuran kartu debit haji dan umroh.

Semua kesepakatan itu searah dengan reformasi ekonomi dalam negeri yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Paket-paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan sejak awal September memang  dimaksudkan untuk mendorong investasi.  Suntikan modal dari PMA (Penanaman Modal Asing) diyakini Kapitalisme akan menggerakkan perekonomian nasional.  Rezim ini menunjukkan keseriusannya untuk menjalani peran neoliberalismenya dengan memberikan banyak kemudahan bagi korporasi.

Sebagai stimulus awal, pemerintah berupaya menyingkirkan beban regulasi dan birokrasi yang menjadi beban tambahan bagi investasi sektor industri.  Semua itu tertuang dalam paket kebijakan ekonomi I dan II. Setelah itu pengurangan beban biaya industri yang tertuang pada  paket kebijakan ekonomi III.  Disusul paket kebijakan ekonomi IV yang terfokus pada pengupahan ketenagakerjaan.  Paket kebijakan ekonomi V fokus pada sektor perpajakan, terutama Pajak Penghasilan (PPh) yakni re-evaluasi aset dan penghilangan pajak berganda.  Dan paket Kebijakan Ekonomi VI mengatur Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), penyediaan air dan kemudahan perizinan di Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Sadar bahwa potensi daerah belum tergarap maksimal, pemerintah juga menyiapkan perangkat untuk ekspansi bisnis korporasi asing di daerah.  Di hadapan para Gubernur, Wali Kota, Jokowi mengingatkan harus ada transformasi fundamental ekonomi dari  bertumpu pada konsumsi dan ekspor bahan mentah, menjadi negara produsen. Perubahan itu dimulai dengan mendorong peningkatan investasi. Oleh sebab itu daerah-daerah harus menyiapkan diri menangkap investasi industri.[2]

Karena itu dalam APBN 2016, pemerintah akan menggelontorkan dana transfer ke daerah sebesar Rp 735,2 triliun.  Dan direncanakan setiap desa rata-rata akan mendapatkan Rp 1 miliar setahun. Bersamaan dengan itu, Jokowi mewajibkan tiap daerah menyiapkan diri terhadap investasi industri di bidang apapun, sebagaimana  BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) sudah berupaya untuk mengurus perizinan investor yang terdiri dari NPWP, PT, dan pendirian perusahaan, dalam waktu tiga jam saja.

Sekalipun pemerintah mengklaim, semua upaya itu demi menyelamatkan daerah tertinggal, amat naif jika semua itu bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di daerah marginal: desa, Indonesia Timur dan daerah perbatasan.  Memang investasi akan menggerakkan ekonomi masyarakat daerah. Namun  sebagaimana visi pembangunan kapitalistik, pemerataan hanya ada dalam angan-angan.  Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB hanya menjadi angka mati yang tak ada korelasi terhadap realisasi.

Kesejahteraan dan kemakmuran hanya menjadi milik korporasi penanam modal.  Kapitalisme hanya melahirkan kesenjangan ekonomi dan sosial antara pebisnis dan rakyat jelata, karena pekerjaan kapitalis hanya menguras SDA dan SDM.  Di lain pihak, negara tidak memberikan akses yang memadai, hingga rakyat tidak pernah mampu berkompetisi dengan SDM impor.  Walhasil, mayoritas rakyat hanya bisa menjadi buruh atau mengais keuntungan dari pekerjaan informal yang tumbuh bersamaan dengan proses industrialisasi.  Kesejahteraan?  Makin jauh dari harapan.

TPP:  Jebakan Perdagangan Bebas (Lagi)

Belum tuntas kekuatiran akan ekspansi bisnis korporasi, Jokowi dengan enteng menjanjikan akan bergabung dengan kesepakatan pasar bebas lagi : TPP (Trans Pacific Patnership).  Begitu besar efek kesepakatan tersebut , hingga The Guardian menyatakan Barack Obama telah memenangkan dukungan Indonesia untuk kesepakatan kontroversial TPP, dan  presiden negara itu (Jokowi) menjanjikan untuk bergabung.[3]    Bagaimana tidak, TPP memang kontroversial.   Banyak pihak menilai bahwa kesepakatan antar TPP tidak transparan.  Bahkan publik Amerika pun terbelah karena TPP dianggap memihak pemodal besar belaka. Sekalipun Sofyan Wanandi -penasihat ekonomi Wapres- menyatakan  pemerintah membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk mengkaji untung rugi TPP, namun pernyataan Jokowi tentang Indonesia dengan 250 juta penduduk sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, secara tidak langsung menjaminkan akses pasar terbuka bagi TNC AS.  Bahkan secara lugas Menlu Retno LP Marsudi mengatakan, “Kalau ada campur tangan pemerintah diproyeksikan pada 2020, Indonesia akan menjadi the biggest (digital) market di Asia Tenggara.” [4]

TPP (Trans Pacific Patnership) adalah wujud blok perdagangan bebas yang baru diteken 5 Oktober lalu sesudah perundingan alot selama lima tahun.  TPP akan nyaris menghapuskan tarif perdagangan di 12 negara – Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Chili, Peru, Malaysia, Singapura, Brunei dan Vietnam-.  Kelak, kemitraan ini menyediakan pasar raksasa yang mencakup  40 persen perekonomian dunia namun dengan persyaratan sangat ketat.

Sebagaimana perjanjian perdagangan bebas, TPP tak akan memberikan sedikitpun keuntungan bagi Indonesia, sekalipun banyak praktisi ekonomi menyatakan pasar yang teramat besar sangat menguntungkan bagi produk Indonesia.  Pakar perdagangan internasional Fithra Faisal mengatakan,  “TPP sudah jadi, maka ketika kita baru masuk sekarang, kita sudah tidak bisa lagi terlalu merundingkan kepentingan-kepentingan khusus kita..”  Gusmardi Bustami  -bekas dubes RI di WTO -menyatakan bahwa  lebih dari itu, urusannya bukan sekadar persyaratan dagang  (namun juga) seperti swastanisasi BUMN, yang banyak ditentang secara politik.[5]

Perwakilan perdagangan AS, Michael Froman, mengatakan Indonesia harus meniadakan tarif impor barang-barang para anggota TPP jika ingin bergabung dengan blok perdagangan bebas tersebut, termasuk persyaratan keberadaan konten lokal pada produk-produk asing harus dihilangkan. Jika TPP berlaku maka Indonesia harus membuka sejumlah sektor industri bagi investasi asing, seperti farmasi, tekstil, otomotif, pertanian dan sebagainya.  Jika diterapkan, secara khusus industri tekstil dan pertanian bisa terancam, dan harga obat bisa jadi tak terjangkau, walau ada produk obat generik. Pada sektor pertanian, misalnya, produk Selandia Baru mesti mendapat akses di semua negara anggota TPP. Begitu pun sebaliknya, produk susu dan unggas negara-negara anggota TPP harus bisa mendapat akses di pasar Selandia Baru.[6]  Itu jika produk antar negara cukup kompetitif.  Jika tidak, siap-siaplah hanya menjadi pembeli alias konsumen.  Artinya, niat untuk meningkatkan level menjadi negara produsen hanya tinggal mimpi, karena produsen dalam negeri akan terdepak produk luar yang lebih unggul.

Sekali lagi, TPP memang amat kontroversial.  Bahkan kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat, Hillary Clinton tidak setuju dengan kebijakan Obama itu. TPP dianggap akan mengancam pekerja di industri manufaktur AS. Tunjangan, upah dan daya tawar pekerja AS akan terkikis, beberapa jenis pekerjaan akan menghilang bahkan korporasi akan lebih memilih melakukan ekspansi bisnis ke negara lain yang upah buruhnya lebih rendah.  [7]

Jean-Pierre Lehmann -Profesor Ekonomi Politik Internasional dari IMD, Swiss– menyebut TPP bertujuan mencapai standar perdagangan bebas yang sangat tinggi sehingga belum tentu semua anggota TPP saat ini mampu memenuhinya.   Tak berlebihan jika mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad menyatakan TPP adalah  kesepakatan yang mengikat negara anggotanya dengan aturan main yang hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha besar Amerika Serikat.”[8]

TPP jelas lebih memihak pemodal besar daripada kedaulatan sebuah Negara.  Hal itu secara gamblang terpapar pada beberapa poin penting pada klausul Investor-State Dispute Settlement /ISDS (Penyelesaian Sengketa antara Investor – Negara).  Pemerintahan Obama memang akan memberikan kekuatan besar bagi sebuah perusahaan untuk menggugat sebuah negara ke pengadilan karena dianggap menggangu kepentingan perusahaan. Terutama jika menyangkut kepentingan perusahaan terganggu akibat perubahan hukum, kebijakan atau pergantian rezim.  Negara tidak punya kekuatan apapun untuk mengubah kesepakatan itu.

Penderitaan Rakyat Membayang

Perdagangan bebas tidak akan pernah menguntungkan negara ‘berkembang’ seperti Indonesia.  Sudah banyak bukti yang menunjukkan kondisi itu.  Baru sekitar 15 bulan berjalan sejak diberlakukan tanggal 1 Januari 2010, perjanjian perdagangan bebas China-ASEAN (CAFTA) banyak merugikan ekonomi Indonesia. Setidaknya sembilan sektor industri di dalam negeri terkena dampaknya.  Industri tekstil dan produk tekstil, elektronik, mebel kayu dan rotan,  mainan anak, permesinan, besi dan baja, makanan dan minuman serta industri jamu dan kosmetik bersama-sama mengalami penurunan produksi, penjualan, dan keuntungan hingga pengurangan tenaga kerja.

Namun situasi buruk yang terjadi tidak cukup membuat pemerintah jera untuk mengakhiri kesepakatan perdagangan bebas.  Pemerintahan Jokowi memilih untuk melanjutkan delapan kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) dengan Australia, Korea, Chili, EFTA (European Free Trade Area), India, Uni Eropa, Turki, Iran, serta Generral Review of Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA)  . “Kemendag diminta dalam waktu dua bulan sudah dapat menyelesaikan beberapa hal yang terkait perundingan ini, yang belum menguntungkan Indonesia,” ujar Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi (17/3/2015). Indonesia juga  tidak bisa mundur dari komitmen MEA yang akan efektif Januari 2016, kendati banyak pekerjaan rumah yang masih belum rampung. Misalnya saja di sektor jasa, Indonesia harus menyelesaikan harmonisasi 70 subsektor dengan tenggat waktu Desember 2015. [9]

Bagaimana Indonesia mampu melakukan transformasi menjadi negara industri jika perdagangan bebas justru mengancam eksistensi industri dalam negeri?  Perdagangan bebas pasti akan membuat pasar dalam negeri dipenuhi barang-barang impor tanpa pajak dan bea masuk.  Jelas hal ini akan memaksa penurunan volume produksi karena pengusaha lokal tidak mampu bersaing.  Yang paling mudah dilakukan pengusaha untuk menekan biaya produksi adalah mengurangi jumlah pekerja.

Tak hanya itu, bahkan pengangguran juga disebabkan perebutan lapangan kerja oleh pekerja asing.   Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah, mengungkapkan perjanjian TPP mengharuskan pemerintah membebaskan investor asing dari regulasi yang ada. Salah satunya perusahaan asing bebas memilih SDM untuk bekerja di tempatnya.  Firmanzah meramalkan tingkat pengangguran Indonesia akan bertambah pasca bergabung ke dalam TPP. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini saja tingkat pengangguran bertambah 320 ribu jiwa, sehingga Tingkat pengangguran terbuka (TPT) akan menjadi 7,56 juta jiwa.[10]

Begitulah pemerintahan yang dijalankan oleh Jokowi.  Waktu membuktikan, hanya setahun publik sudah melihat bahwa janji Nawacita, terutama Tricita – membangun dari pinggiran, peningkatan produktivitas ekonomi rakyat, dan kemandirian ekonomi- hanya slogan semata. Sekalipun secara program dan  fisik pemerintah berusaha membuktikan visi itu, namun penelahaan aspek politik ekonomi terhadap program-program tersebut membuktikan bahwa pemerintah lebih berpihak pada kepentingan asing, terutama korporasi, bukan pada nasib rakyat.

Keberpihakan pada korporasi nyata-nyata juga ditunjukkan pemerintah dalam menghadapi kasus kabut asap. Sekalipun sejak 2013 Walhi mencatat ada 117 perusahaan yang dilaporkan tetapi hanya satu dipidana. Polda Jambi maupun KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) juga sudah merilis dengan mengindentifikasi 15 perusahaan pembakar lahan sengaja, termasuk di antarnya grup Sinar Mas,[11] namun pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas.  Bahkan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan mengakui bahwa “pertimbangan ekonomi” membuat pemerintah belum ingin mengumumkan perusahaan-perusahaan besar yang menjadi tersangka pembakar hutan. Padahal, kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan sejauh ini sudah mencapai Rp200 triliun.[12]  Tidak hanya itu.  Penderitaan masyarakat hingga berujung pada kematian, tidak juga membuat pemerintah tergugah untuk ‘lebih memilih rakyat’ daripada korporasi.

Jika untuk urusan nyawa rakyat saja pemerintah tega mengabaikannya, apalagi hanya sekedar ‘mengorbankan’ harapan kesejahteraan rakyat.  Karena itu dalam jangka setahun pemerintahan Jokowi – JK,  Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data peningkatan jumlah orang miskin di Indonesia sebesar 860 ribu orang.  Menurut Ichsanuddin Noorsy, hal itu menunjukkan pencabutan subsidi BBM dan ditukar dengan kartu-kartu “sakti” -Kartu Indonesia pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera -sesuai pasal 13 ayat (3) APBNP 2015 terbukti tidak mengatasi kemiskinan. Justru ratusan ribu orang jatuh miskin. “Artinya, proteksi sosial, bantuan sosial itu, tidak mampu mengatasi kebijakan pemerintah yang salah,” demikian Noorsy.[13]

Belum lagi, gelombang PHK yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar milik pemodal asing. Di sisi lain, UMKM yang dimiliki orang Indonesia banyak yang gulung tikar lantaran naiknya harga bahan-bahan baku.[14]  Inilah bentuk kebijakan yang salah.  Kebijakan salah yang tidak pernah berpihak pada rakyat.  Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah neolib, yang mengabdi pada kepentingan pemodal, bukan pada rakyat. Maka, sekali lagi, pupus sudah harapan rakyat akan kesejahteraan.  Tujuh puluh tahun hidup ‘merdeka’, ternyata tak jauh beda dengan kehidupan pendahulu mereka yang terjajah secara fisik.  Kinipun mereka masih mengalami penjajahan.  Penjajahan jenis baru yang dilakukan oleh aktor yang lebih pintar dan ‘beradab’, namun lebih kejam dan rakus.

Khatimah  

Sebagai hamba Allah yang dianugerahi segenap potensi dan akal, sudah sepantasnya jika kaum muslimin mulai bergegas untuk melakukan perubahan.  Hizbut Tahrir tak akan jera untuk mengingatkan bahwa kapitalisme hanyalah sistem bobrok yang hanya menghasilkan penguasa yang kerap berselingkuh dengan pemodal dan mengabaikan rakyat yang seharusnya dijaga dan dijamin kebutuhannya.

Hizbut Tahrir juga tak akan jemu mengajak semua kaum muslimin untuk memperjuangkan kembalinya penguasa hakiki, penguasa yang segenap jiwanya dicurahkan untuk kepentingan rakyat.  Penguasa yang tercermin pada sosok Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khoththob, Umar bin Abdul Aziz, Mu’tashim Billah, Sulaiman Al Qanuni, Sultan Abdul Hamid, dan para khalifah generasi mendatang.  Karena hanya pada sosok penguasa yang takut mendzolimi rakyatnyalah harapan akan kesejahteraan itu bisa terealisir.  Penguasa yang tak rela takluk pada rencana kafir penjajah, penguasa yang tak mau taat pada skenario imperialisme yang dirancang AS dan sekutu-sekutunya.  Penguasa yang hanya rela tunduk pada perintah Allah, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.    “Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan kaum kafir dan kaum munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka kelak adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal” (QS. at-Taubah, 9: 73). Penguasa yang berdaulat dan mandiri itu hanya direpresentasikan oleh seorang khalifah pelaksana risalah Muhammad SAW dalam tampuk keuasaan Khilafah Islamiyyah.

Semua itu tidak mustahil akan terwujud, karena semua itu telah dijanjikan Allah.  Janji Allah memang akan tertunaikan pada masanya.  Namun, apakah yang akan Kita perbuat untuk memperjuangkan Khilafah?  Jangan sampai hidup Kita tersia-siakan karena mengabaikan seruan ini.

Para rasul menyampaikan kabar gembira dan ancaman kepada umat­nya agar kelak di akhirat tidak ada alasan bagi umat-umat para nabi itu untuk membantah Allah dengan me­ngatakan bahwa Allah tidak mengutus rasul-rasulNya kepada hamba-hambaNya. Allah Mahaperkasa menghukum kaum yang durhaka dan Mahabijak­sana dalam memilih hamba-hamba-Nya yang dijadikan rasul” (QS. an-Nisa’:165). []

[1]http://setkab.go.id/inilah-kesepakatan-bisnis-indonesia-as-senilai-20-miliar-dollar-as/

[2] http://finance.detik.com/read/2015/10/21/164242/3049876/4/jokowi-ke-kepala-daerah-fundamental-ekonomi-ri-harus-dibalik-total

[3] http://www.theguardian.com/world/2015/oct/27/indonesia-will-join-trans-pacific-partnership-jokowi-tells-obama

[4] http://www.antaranews.com/berita/525764/presiden-jokowi-tiba-di-gedung-putih

[5] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151027_indonesia_tpp

[6] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151027_indonesia_jokowi_obama_tpp

[7] http://www.cwa-union.org/pages/10_ways_the_tpp_would_hurt_cwa_represented_workers

[8] http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/15/10/19/nwgmcl17-kontroversi-tpp

[9] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/18/094230026/Pemerintah.Jokowi.Lanjutkan.Semua.Perjanjian.Perdagangan.Bebas

[10] http://economy.okezone.com/read/2015/11/06/320/1245089/ikut-tpp-pengangguran-bakal-makin-banyak

[11] http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/berikut-korporasi-korporasi-di-balik-kebakaran-hutan-dan-lahan-itu/

[12] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151028_indonesia_asap_luhut_ekonomi

[13]http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/09/16/nurtk1349-orang-miskin-bertambah-pengalihan-subsidi-bbm-terbukti-tak-efektif

[14] Ibidem

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*