Tentu saja mereka bukan “Teroris”: Bundy dan para pengikutnya hanyalah kelompok kulit putih para “pejuang kebebasan”, yang menggunakan senjata dan amunisi untuk melindungi konstitusi AS dan nilai-nilai Amerika dari pemerintah dan orang Amerika lainnya yang ingin mematuhi undang-undang federal sebagaimana orang lain.
Namun, jika ada seorang pria berkulit hitam memegang pistol mainan plastik bahkan jika dia sedang berjalan ke arah gedung federal, apalagi bersama dengan 150 orang laki-laki berkulit hitam lainnya yang semua memegang senapan berisi penuh dengan peluru, dia dan teman-temannya pasti akan ditembak mati oleh aparat penegak hukum, dan tidak perlu ada pertanyaan.
Dan jika ada 15 Muslim yang menduduki 7-Eleven dengan senjata mainan dan segelas minuman, para penegak hukum federal mungkin akan “menggulung” mereka dengan senjata MRAP dan segera melakukan tindakan bergaya Waco.
Di sinilah terlihat kemunafikan aparat penegak hukum Amerika dimana meskipun ada sejumlah orang yang terlibat dalam tindakan seperti itu dalam dua tahun terakhir, mereka tidak dikenakan tuduhan pidana setingkat ekstremisme, menurut Southern Poverty Law Center.
Yang benar sekaligus menyedihkan adalah bahwa para ekstremis itu – baik di dalam negeri maupun di luar negeri – sering merasa tidak puas, ketakutan dan juga adalah orang-orang marah yang merasa putus asa dalam mencapai tujuan, dan merasa bahwa dunia tidak pedulu dengan nasib mereka.
Sebelum mengambil alih wilayah perlindungan satwa liar, Ritzheimer – sebagaimana para ekstremis lain – membuat video “Selamat tinggal” untuk keluarganya dan beralasan bahwa tindakannya itu membela kebebasan terhadap “Pemerintah Tirani”.
Mungkin sudah waktunya bagi para politisi dan para penegak hukum untuk mengakui kebenaran yang sesungguhnya dalam menghadapi para ekstremis yang mengatas namakan “Amerika” atau yang mengeluh karena hal lain. (riza/theguardian.com)