Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah resmi dimulai pada 31 Desember 2015. MEA bertujuan utama untuk menjadikan kawasan ASEAN pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang kompetitif (bersaing), kawasan pembangunan ekonomi yang adil dan kawasan yang tergabung ke dalam ekonomi global. Untuk itu, negara-negara ASEAN menyepakati untuk melakukan liberalisasi pada lima aspek ekonomi: barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil.
Liberalisasi Perdagangan Barang
Liberalisasi perdagangan barang ditandai dengan penghapusan berbagai hambatan tarif dan nontarif. Sejak tahun 2015 lalu, 96% dari total barang yang diperdagangkan antar negara ASEAN tarif bea masuk impornya telah nol persen (Sekretariat ASEAN, ASEAN Integration Report 2015, hlm. 10)
Berbagai hambatan nontarif terus dipangkas, baik yang bersifat teknis (seperti kebijakan perlindungan makhluk hidup dari penyakit, hama, atau kontaminasi bahan berbahaya; penetapan standar pada label, kemasan dan bahan) maupun yang bersifat nonteknis (seperti lisensi impor dari instansi tertentu, penetapan kuota, larangan terbatas dsb).
Dampaknya, barang-barang dari luar akan lebih mudah masuk ke negeri ini. Ini akan mengancam produsen dalam negeri, termasuk di sektor pertanian dan manufaktur, terutama yang punya daya saing rendah. Mereka mungkin akan terdorong meningkatkan daya saing. Namun, tak jarang kebijakan Pemerintah berdampak mempengaruhi rendahnya daya saing produk mereka. Harga energi yang mahal, infrastruktur yang buruk, modal yang sulit diakses dan biaya pajak yang tinggi adalah di antara yang menekan daya saing. Sebaliknya, produsen luar punya daya saing tinggi; salah satunya ditopang oleh kuatnya dukungan pemerintah mereka.
Liberalisasi Perdagangan Jasa
MEA juga mencakup liberalisasi perdagangan jasa. Prioritasnya, di awal, adalah pada sektor kesehatan, telekomunikasi dan teknologi informasi, pariwisata dan logistik. Sektor pendidikan dan finansial menyusul berikutnya. Liberalisasi perdagangan jasa itu mempermudah perusahaan luar memperluas pasar di negeri ini. Saat yang sama, penyusupan sekaligus penguasaan informasi, pemikiran dan budaya luar ke negeri ini juga akan makin mudah.
Liberalisasi Tenaga Kerja Profesional
MEA juga mencakup kebebasan tenaga kerja profesional untuk bekerja di negara-negara ASEAN. Hingga saat ini melalui Mutual Recognition Agreement (MRA) delapan profesi akan diliberalisasi: dokter, dokter gigi, perawat, akuntan, insinyur, arsitek, surveyor dan pelaku usaha pariwisata. Jika telah terdaftar dan memenuhi syarat, tenaga delapan profesi itu berhak bekerja secara bebas di negara ASEAN yang dia inginkan.Ke depan, liberalisasi akan diperluas pada profesi lainnya. Liberalisasi tenaga kerja (profesional) itu berpotensi menambah jumlah pasokan tenaga kerja luar di dalam negeri. Padahal di dalam negeri pada Agustus 2015 angka pengangguran terbuka 7,6 juta jiwa dan setengah pengangguran 9,4 juta orang.
Liberalisasi Investasi
Berdasarkan dasar aturan investasi MEA, Asean Comprehensive Investment Agreement (ACIA), seluruh negara ASEAN harus memperlakukan investor domestik dan negara ASEAN lainnya setara dan tanpa ada diskriminasi baik dari sisi perizinan, pendirian, produksi hingga penjualan. Investor asing juga tidak boleh dipaksa untuk memenuhi capaian tertentu yang ditetapkan Pemerintah seperti harus mengekspor dalam jumlah tertentu. Manajer senior dari perusahaan juga tidak boleh dibatasi berdasarkan kewarganegaraan.Konsekuensi MEA akan makin mempercepat liberalisasi yang telah berlangsung secara cepat. Hampir semua sektor telah terbuka untuk investor asing. Hambatan investasi akan terus dikurangi hingga seminimal mungkin.
Liberalisasi Modal
Aliran modal yang lebih bebas dalam MEA akan tercermin pada penggabungan pasar saham, penawaran surat utang, asuransi dan perbankan. Standarisasi aturan dan kualifikasi profesional di sektor keuangan akan menjadi terintegrasi, ditargetkan selesai tahun 2020. Dengan liberalisasi dan integrasi sektor finansial, dana investasi dari negeri ini akan lebih mudah tersedot keluar. Arus keluar-masuk investasi portofolio akan makin besar. Nilai tukar mata uang akan lebih mudah bergejolak. Krisis yang terjadi di suatu negara akan makin mudah merambat ke negara lain.Pengaruh bank luar akan makin dalam dan luas. Transfer modal ke negara asal dalam bentuk laba akan meningkat. Keterkaitan yang makin kuat membuat guncangan perbankan di suatu negara akan dengan cepat menular ke negara lain.
Ancaman Besar
Sebagai konsekuensi adanya pasar bebas, semua pihak akan diberi peluang yang sama; semua diberi kebebasan masuk persaingan. Siapa yang kuat, dialah yang akan menang. Pasar bebas akan benar-benar menguntungkan pihak kuat. Sebaliknya, pihak yang daya saingnya lemah akan tertindas.
Liberalisasi juga menjadi faktor mendasar rusaknya tatanan ekonomi negara yang menjalankan kapitalisme. Liberalisasi ekonomi yang berlangsung di negara ini juga telah terbukti gagal menciptakan ekonomi yang maju, mandiri, stabil dan menyejahterahkan. Kesenjangan makin lebar. Aset-aset penting dikuasai oleh investor asing. Barang-barang impor menggusur produk lokal. Sektor finansial rentan terdampak krisis. Nilai tukar rupiah pun naik-turun.
MEA juga akan mengancam sektor pertanian. Sebabnya, daya saing sektor pertanian negeri ini masih rendah. Dukungan Pemerintah terus dikurangi semisal dengan mencabut dan mengurangi berbagai subsidi pertanian. Dukungan dalam bentuk lain juga terasa minim. Produk impor di pasar dalam negeri akan makin membanjir. Ketergantungan pada impor pun akan terus besar.
Pemberlakuan pasar bebas juga akan menyebabkan komersialisasi sektor publik (seperti pendidikan dan kesehatan). Peran negara dalam mengurus rakyatnya akan makin tak terasa. Negara akan berperan sebatas pembuat aturan dan jadi wasit. Berbagai pelayanan untuk rakyat akan diliberalisasi, diserahkan ke swasta. Rakyat harus membayar untuk mendapat layanan yang menjadi haknya. Jika ingin kualitasnya makin baik, maka rakyat harus bayar makin mahal.
MEA akan membuat arus investasi dan jasa termasuk bidang kesehatan dan pendidikan makin deras membanjiri. Tenaga kesehatan dan pengajar luar akan mudah masuk. Para investor ASEAN akan mudah mendirikan rumah sakit dan sekolah berkelas Internasional.
Negeri ini kaya akan sumber energi, sumberdaya mineral, sumberdaya nabati dan SDA lainnya. Dengan liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, liberalisasi energi dan liberalisasi sektor lainnya, kekayaan itu akan lebih menjadi jarahan, sumber bahan baku, sumber keuntungan untuk pihak luar.
Masih ada ancaman lain yang tak kalah berbahaya, yaitu kehancuran basis kehidupan keluarga. Saat beban hidup makin berat, setiap laki-laki ‘terpaksa’ akan menggadaikan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah keluarga, kemudian bergeser kepada perempuan yang lebih ‘bisa bersaing’ di dunia kerja, termasuk untuk menjadi TKW di luar negeri. Akibatnya, tentu sudah dapat ditebak, yaitu hancurnya sendi-sendi rumah tangga.
Pandangan Islam
MEA hakikatnya adalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi akan makin meminggirkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar. Hal itu jelas menyalahi Islam. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Rasul saw. bersabda:
«فَاْلأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka (HR Muslim).
MEA yang bernafaskan liberalisasi pasar mengharuskan minimalisasi peran negara mengatur perdagangan dan investasi luar negeri. Hal itu menyalahi Islam. Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara. Dalam Islam negara memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain baik dalam bidang ekonomi, perdagangan atau lainnya. Karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.
Selain itu, liberalisasi telah dijadikan sarana efektif bagi penjajahan oleh pihak asing dan perusahaan multinasional. Ini jelas haram. Allah SWT berfirman:
)وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا(
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).
Liberalisasi ekonomi termasuk MEA membawa potensi ancaman dan bahaya yang besar. Dari sisi ini juga haram. Sebabnya, Nabi saw. bersabda:
«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الإسْلاَمِ»
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri di dalam Islam (HR Ibn Majah).
Wahai Kaum Muslim:
Allah SWT menegaskan bahwa Islam dengan syariahnya pasti membawa rahmat. Karena itu, untuk menghilangkan ancaman dan bahaya akibat MEA dan liberalisasi pada umumnya, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerapkan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah sistem Khilafah Rasyidah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Pemerintah akhirnya memutuskan menunda pembentukan Dana Ketahanan Energi (DKE) setelah melakukan Rapat Kabinet Terbatas (Ratas), Senin (4/1/2016). Pembentukan DKE diusulkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said, untuk dana pungutan sebesar Rp 200 perliter premium dan Rp 300 perliter solar merujuk pada UU No. 30/2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (Kompas.com, 5/1/2016).
- Ingat, ini hanya ditunda, bukan dibatalkan.
- Bukti Pemerintah makin kental watak neoliberalnya.
- Sudah menghapus subsidi BBM, kecuali solar, menyerahkan harganya ke pasar, Pemerintah masih juga minta disubsidi oleh rakyat pembeli BBM.