Sudah menjadi sesuatu yang lumrah, tatkala sebuah negeri yang ekonominya berbasis pada kapitalisme termasuk negeri ini akan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) berdasar hutang dan pajak, dalam mekanismenya sebuah negara akan terus memaksimalkan pajak agar belanja negara bisa tercukupi, hal ini menunjukkan negara akan terus memalaki warganya untuk membiayai APBN. Namun negeri yang bercorak liberal ini tidak hanya sekedar cukup memalaki masyarakat dalam bentuk pajak tetapi mengemis kepada pihak asing, investor, ADB, IMF dan negara-negara bilateral lainnya dalam bentuk hutang telah menjadi rutinitas tahunan. Betapa tidak metode penyusunan APBN yang selalu defisit mengharuskan negara menerbitkan SUN (Surat Utang Negara), obligasi dan pinjaman lainnya kepada investor asing untuk mencukupi postur APBN.
Hingga November 2015 saja, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.074,82 triliun. Angka ini naik Rp 53,52 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya, yaitu Rp 3.021,30 triliun. dikutip detikFinance, dari data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Selasa (22/12/2015). Dengan semakin rajinnya penguasa negeri ini melakukan pinjaman kepada asing maka hal ini menunjukkan betapa cengkraman asing begitu kuat, alhasil negara akan semakin mudah dikontrol dan dikendalikan oleh asing baik melalui penyusunan draft undang-undang, kontrak kerja tambang, peguasaan hutan, perkebunan dll. Secara aktual sejatinya negeri ini telah dijual dengan harga murah kepada asing.
Instrumen hutang yang dikucurkan melalui IMF dan lainnya yang sejatinya merupakan alat kapitalisme global akan terus melakukan tekanan sesuai dengan arahan global kepada negara berkembang, betapa tidak sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi program penyesuaian struktural yang didasarkan pada kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) campur-tangan pemerintah harus dihilangkan; (2) penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi) seluas-luasnya; (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi; (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arief, 2001). Hutang luar negeri menjadi sesuatu yang berbahaya hal ini juga seperti apa yang dikatakan oleh Abdurrahaman al-Maliki (1963), dalam Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ/Politik ekonomi Ideal, hlm. 200-207), mengungkap empat bahaya besar utang luar negeri. Pertama: membahayakan eksistensi negara. Pasalnya, utang adalah metode baru negara-negara kapitalis untuk menjajah suatu negara. Kedua: sebelum utang diberikan, negara-negara pemberi utang biasanya mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Ketiga: membuat negara pengutang tetap miskin karena terus-menerus terjerat utang yang makin menumpuk dari waktu ke waktu. Keempat: utang luar negeri pada dasarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis kafir Barat terhadap negara-negara lain, yang kebanyakan merupakan negeri-negeri muslim. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS sendiri. Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, misalnya, disebutkan bahwa lembaga bantuan amerika Serikat ini bersama Bank Dunia aktif dalam proyek privatisasi di Indonesia. Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam News Release yang berjudul, Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, tanggal 4 Desember 2001, juga memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi (penjualan) BUMN di Indonesia.
Sejatinya rezim yang penuh dengan tipuan ini harus diakhiri karena negeri yang begitu kaya raya atau sering disebut Loh Jinawi Tata Tentrem Kertoraharjo tentu tidak layak membiayai negara dengan cara memalak (Pajak) dan mengemis (Hutang) kepada asing.
« مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرعِيهِ اللهُ رَعِيَّة، يَموتُ يَوْمَ يَمُوتُ وهو غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلا حَرَّمَ اللهُ عليه الجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba yang Allah angkat untuk mengurusi urusan rakyat itu mati pada hari dia mati, sementara dia menipu (mengkhianati) rakyat, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari dan muslim).
Muka sudah semestinya negeri ini kembali kepada kedaulatan syara yang menjadikan pembiayaan negara tanpa hutang dan pajak namun bertumpu pada kepemilikan umum berupa tambang, migas, hutan dan sumber daya alam terbarukan yang haram secara syar’i diberikan kepada asing atau dikelola (diprivatisasi) oleh indiviu (Kapitalis). Karena dengan kembalinya kepemilikan umum itu yang akan menggantikan posisi hutang dalam membiayai APBN negeri ini akan sejahtera.[]
*Penulis Adalah Aktivis Gema Pembebasan Komsat Universitas Halu Oleo Kendari.