Kebanyakan Kepala Daerah Hasil Pilkada Perpanjangan Tangan Pemilik Modal

HTI-Press. Banjarmasin Usai sudah pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak gelombang pertama, yang berlangsung di 269 wilayah se-Indonesia. Akankah hasilnya memang memberikan harapan, sesuai yang digadang para penyelenggara Negara?

Sepertinya harapan tersebut akan menguap diudara. Setidaknya hal ini ditegaskan KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, anggota lajnah tsaqofiyah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), saat mengisi dialog keislaman, gelaran Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat II HTI Kota Banjarmasin, di aula Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI, Sabtu (02/01/16).

Dihadapan sekitar dua ratus peserta, yang juga berdatangan dari luar Ibukota Kalimantan Selatan ini, KH. Shiddiq Al-Jawi menyatakan, bahwa di 2016, kondisi perpolitikan Indonesia tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya.

Pasalnya politik transaksional masih marak terjadi di pesta demokrasi 2015 tadi. Hal ini memang sulit dipungkiri, akibat mahalnya proses kampanye dan persaingan perebutan suara rakyat.

“Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, bahwa siapapun yang ingin jadi kepala daerah, harus memiliki modal yang kuat, bahkan tidak cukup ratusan juta, melainkan hingga milyaran rupiah,” tegas KH. Shiddiq Al-Jawi.

Ia menambahkan, bahwa para kepala daerah saat ini, kebanyakan adalah kepanjangan tangan dari para pemilik modal (kapitalis), sehingga sulit berharap dengan kepemimpinan mereka, yang lebih memprioritaskan keuntungan ataupun pengembalian modal ketika berkuasa.

“Sudah banyak kasus terungkap, penyalahgunaan APBN oleh beberapa kepala daerah misalnya, konsekuensi dari pelunasan mahalnya biaya proses pilkada sekarang, yang kemudian dibayarkan ketika berkuasa,” jelas KH. Shiddiq Al-Jawi.

Pihak Hizbut Tahrir Indonesia, juga telah gencar menyampaikan tentang pepesan kosong pilkada. Sebagai perumpaan, terhadap harapan seseorang yang menginginkan adanya ikan dalam sebuah bungkusan pepes. Namun nyatanya, tidak ada ikan yang bisa dimakan didalamnya, dalam artian, tidak ada harapan dan perubahan berarti dari hasil pilkada.

Sehingga harapan satu-satunya adalah kembali kepada Islam, dalam naungan institusi syariah dan khilafah, yang diajak untuk diperjuangkan bersama, guna perubahan Indonesia yang lebih baik. Ahmad Maghfur, MI Kalsel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*