Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq keberatan dengan adanya revisi UU Terorisme. Sebelumnya, Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso meminta perananan lembaganya diperkuat dengan dapat melakukan penangkapan dan penahanan.
Menurut Mahfudz, keinginan tersebut baru disampaikan pada media, belum dalam tahap pembicaraan dengan DPR. Jika memang ingin melakukan perubahan UU Terorisme dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengeluarkan peraturan pemerintah menggantingkan UU No 15 Tahun 2003 atau melakukan usul revisi secara normal.
Mahfudz memandang, usulan yang diajukan BIN belum ada unsur mendesak untuk dilakukan. Sebab, segala kewenangan yang diberikan pada intelijen sudah memadai.
Dalam pengaturan yang sudah ada, BIN hanya bisa melakukan penelusuran informasi tanpa bisa melakukan penahan. Mesti ada kordinasi dengan aparat penegak hukjm jika BIN ingin melakukan penangkapan.
“Semua kegiatan BIN kan tertutup, termasuk nanti dalam hal penangkapan, sedangkan kepolisian jika sudah terjadi penangkapan harus terbuka,” kata Mahfudz dalam diskusi ” Dibalik Teror Jakarta” di Cikini, Jakarta, Sabtu (16/1).
Penangkapan dan penahanan merupakan prosedur dari proyustisia, sedangakan BIN dinilai bukan merupakan lembaga proyustisia. Sehingga di beberapa negara yang menjunjung tinggi HAM, praktik intelijen tidak memberikan kewenangan dan penangkapan terhadap intelijen, tapi diberikan kepada kepolisian.
“BIN dan Kepolisian kan dalam satu lembaga negara, ini kan satu kamar sehingga dalam pandangan saya tidak sulit melakukan koordinasi dalam jalankan kewenangan yang didistribusi,” kata politisi Partai Keadilan Kesejahteraan.
Dikhawatirkan dengan adanya penambahan kewenangan baru untuk BIN, justru akan membawa paraktik kelamnya masa lalu. Mahfudz mencontohkan dengan penghilangan paksa aktivis-aktivis pada zaman orde baru yang dilakukan pemerintah karena belum adanya regulasi yang mengatur. (republika.co.id, 16/1/2016)