Hak Minoritas dalam Khilafah

kaum minoritasIslam adalah satu-satunya agama yang benar, sesuai dengan fitrah dan akal manusia. Islamlah satu-satunya agama yang juga diridhai oleh Allah SWT. Namun, demikian ketika Islam hendak diyakini oleh umat manusia, maka Allah tidak memaksakan keyakinan tersebut kepada mereka. Allah SWT pun berfirman, “La ikrâha fî ad-dîn [tidak ada paksaan dalam memeluk agama].” [TQS al-Baqarah: 256].

Karena itu, wajar ketika Islam diemban ke seluruh penjuru dunia, Islam tidak memberangus agama dan keyakinan masyarakatnya. Agama dan keyakinan mereka tetap diberi tempat di sana. Karenanya, bisa dikatakan, bahwa Islam benar-benar menjaga hak dasar manusia dalam beragama, sesuai dengan keyakinannya. Dalam surat Nabi SAW kepada wali Yaman dinyatakan, “Siapa saja yang masuk Islam dari kalangan Yahudi atau Nasrani, mereka adalah orang-orang Mukmin. Mereka tetap berhak atas harta dan apa saja yang mereka miliki. Sedangkan siapa saja yang tetap memeluk Yahudi atau Nasrani, maka janganlah dihasut [dibujuk] agar meninggalkan agamanya.” [Abu Ubaid, al-Amwal, hal. 24]

Ketika orang Yahudi, Nasrani atau musyrik, tidak bersedia memeluk Islam, asalkan mau tunduk kepada Negara Islam, maka mereka tetap dibiarkan memeluk agamanya. Mereka dibiarkan berpakaian mengikuti kebiasaan agama mereka, seperti baju bagi biarawati, pendeta, paus dan sebagainya. Mereka juga dibiarkan untuk makan dan minum yang dibolehkan oleh agama mereka. Mereka juga dibiarkan menikah dan bercerai menurut agama mereka. Inilah hak-hak mereka yang diberikan, dan dijaga oleh Negara Islam sejak zaman Nabi hingga Khilafah yang terakhir.

Karena itu, harta, darah dan kehormatan [isteri dan anak perempuan] mereka dijaga oleh Islam. Bahkan, ketika harta, darah dan kehormatan itu dilanggar oleh orang Islam sekalipun, maka Negara akan menjaga dan menindak pelakunya. Nabi pernah bersabda, “Siapa saja yang membunuh orang yang terikat dengan perjanjian, maka dia tidak dibenarkan mencium bau surga.” [HR Bukhari]. Dalam riwayat lain, “Siapa saja yang berbuat zalim kepada orang yang terikat perjanjian, mengurangi hak-hak mereka, memberikan beban di luar batas, merampas sesuatu darinya dengan paksaan, maka kelak aku pada Hari Kiamat akan menjadi penuntut baginya.” [HR Abu Dawud]

Dalam Perang Khaibar terjadi peristiwa yang menarik untuk dijadikan pelajaran. Ketika itu, ‘Abdullah bin Sahal al-Anshari terbunuh di wilayah Yahudi. Kemungkinan besar pembunuhnya adalah orang Yahudi. Tetapi, tidak ada bukti yang menguatkan dugaan tersebut. Karena itu, Nabi saw. tidak memberikan sanksi apapun terhadap orang Yahudi. Nabi SAW hanya meminta mereka bersumpah, bahwa mereka tidak membunuhnya. Meski orang-orang Anshar enggan menerima sumpah mereka, tetapi Rasulullah SAW tetap meminta mereka bersumpah.

Setelah itu, Nabi SAW mengeluarkan diyat untuk Sahal bin Abi Haritsah, dengan 100 unta kepada keluarga Sahal. Sedangkan terhadap orang Yahudi, Nabi SAW  pun enggan menumpahkan darah mereka. Padahal, Sahal adalah sahabat Nabi, sedangkan lawannya adalah Yahudi, yang nota bene bukan Muslim. Tetapi, di situlah keadilan Islam.

Inilah tuntunan yang kemudian dijadikan pedoman oleh generasi berikutnya, para Khalifah setelah baginda SAW. Karena itu, orang-orang non-Muslim pun menikmati hidup yang lebih baik di dalam naungan Khilafah Islam, ketimbang hidup mereka di bawah Romawi, Persia maupun emperium yang lainnya.[]har

Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 166

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*