مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ
Siapa yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka maka dia tidak berhak atas tanaman itu sedikitpun dan untuk dia biayanya (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
mam at-Tirmidzi berkata tentang hadis ini: Aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) tentang hadis ini. Ia berkata, “Itu hadis hasan.”
Rafi’ bin Khadij menuturkan, Rasul saw. pernah bersabda:
مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَتُرَدُّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ
Siapa yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka maka dia tidak berhak atas tanaman itu sedikitpun dan biayanya dikembalikan kepada dia (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Jika orang menanam di tanah orang lain maka dia tidak berhak sedikitpun atas tanaman itu dan hasilnya. Tanaman dan hasilnya itu adalah menjadi hak atau milik pemilik tanah. Orang yang menanam itu hanya berhak atas biaya yang dia keluarkan.
Urwah bin az-Zubair menuturkan dari Said bin Zaid bahwa Rasul saw. bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِىَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
Siapa yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu untuk dia dan tidak ada hak untuk orang yang menguasai secara zalim (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i).
Urwah bin az-Zubair menuturkan, “Ada dua orang laki-laki dari Bayadhah bersengketa meminta keputusan kepada Rasul saw. Yang satu menanam pohon kurma di tanah yang lain. Rasul saw. lalu memutuskan, pemilik tanah berhak atas tanahnya dan memerintahkan pemilik kurma untuk mengeluarkan pohon kurma itu dari tanah tersebut.” Urwah berkata, “Orang yang memberitahu aku (Said bin Zaid) berkata, ‘Aku melihat kurma itu digali akarnya dengan kapak, dan itu adalah pohon kurma yang sudah sempurna (sudah besar), sehingga dikeluarkan dari tanah itu.’” (HR al-Baihaqi dan Abu Dawud).
At-Tirmidzi berkata: Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna berkata: Aku bertanya kepada Abu al-Walid ath-Thayalisi tentang sabda Rasul, “wa laysa li’irqin zhâlimin haqqun.” Ia berkata, “Al-‘Irqu azh-zhâlimu adalah orang yang meng-ghashab, yang mengambil apa yang bukan haknya.” Aku (Abu Musa) berkata, “Itu ada laki-laki yang menanam di tanah pihak lain.” Abu al-Walid berkata, “Itu termasuk.”
Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menyatakan: Rabi’ah berkata, “Al-‘Irqu orang yang zalim itu secara lahiriah dan batiniah. Yang batiniah adalah apa yang digali oleh seseorang berupa sumur (galian) dan mineral (tambang) yang dia keluarkan. Yang lahiriah adalah apa yang dia bangun atau dia tanam.” Dikatakan, azh-zhâlim adalah orang yang membangun atau menanami, atau menggali di tanah pihak lain tanpa hak dan tidak ada syubhat.
Ketentuan di atas bukan hanya berlaku atas orang yang menanami tanah pihak lain. Makna gharasa menurut para ulama bisa mencakup menanami tanaman pertanian, menanam pepohonan atau perkebunan, membangun bangunan, menggali sumur atau parit, atau aktivitas apapun terhadap tanah milik pihak lain itu.
Ketentuan di atas juga bisa diberlakukan terhadap siapa saja yang menguasai tambang, hutan dan harta milik umum lainnya. Tanah tempat beradanya tambang yang depositnya besar, hutan, padang gembalan dan fasilitas publik, adalah milik umum seluruh rakyat. Siapa saja yang menguasai, menambang, menebangi hutan, menguasai fasilitas publik semisal lapangan, taman, masjid, dan sebagainya, berarti dia meguasai tanah secara zalim. Pihak yang menguasai itu tidak berhak atas hasilnya. Ia hanya berhak atas pengembalian biaya yang dikeluarkan. Tentu jika tanaman atau yang lainnya itu sudah memberikan hasil maka hasil itu adalah hak pemilik tanah. Ini sesuai mafhûm hadis di atas.
Berdasarkan ketentuan dua hadis di atas, jika ada orang yang menyerobot tanah milik orang lain maka: Pertama, dia tentu tidak berhak atas tanah itu. Kedua, penyerobot tanah itu tidak punya hak atas tanaman, bangunan, atau apapun yang dia tanam atau buat, termasuk hasilnya. Tanaman atau bangunan dan hasilnya adalah hak pemilik tanah, sementara orang yang menguasai hanya berhak atas biaya yang telah dia keluarkan. Ketiga, tanah itu tentu harus dikembalikan kepada pemiliknya. Keempat, pemilik tanah itu bisa saja menginginkan tanaman, bangunan atau apapun yang ada di tanahnya itu; dan bisa saja dia tidak menginginkan itu. Jika dia menginginkan itu maka biaya tanaman, bangunan dan lainnya itu menjadi hak pihak yang menguasai tanah yang telah menanam atau membangunnya. Artinya, pemilik tanah mengganti biaya itu kepada pihak yang menguasai itu. Jika tanaman atau bangunan itu sudah menghasilkan maka bisa diperhitungkan antara hasilnya dan biaya yang harus dibayar pemilik kepada yang menanam atau membangun.
Dalam hal ini, pemilik tanah tentu tidak boleh dipaksa untuk menerima atau mengambil tanaman, bangunan, parit, sumur dan lainnya yang telah ditanam, dibangun, atau dibuat oleh pihak lain yang menguasai tanahnya itu. Sebab, ia sudah dizalimi dengan dikangkangi dan diserobot tanahnya. Jika ia dipaksa menerima tanaman, bangunan, parit, sumur dsb itu dan membayar biayanya kepada pihak yang menanam, membangun, atau menggalinya, maka itu artinya kezaliman di atas kezaliman padanya.
Jika pemilik tanah tidak menginginkan itu maka orang yang menanam, membangun, menggali dan sebagainya itu harus mengeluarkan tanaman, bangunan, parit atau apapun yang dia buat, dia tempatkan, atau dia tanam itu. Semua biaya untuk itu juga menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Jadi pihak lain itu bertanggung jawab untuk mengembalikan keadaan tanah seperti semula. Semua biaya yang dibutuhkan menjadi tanggung jawabnya. Hal itu sesuai hadis Urwah bin az-Zubair di atas.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]