Imam Ja’far ash-Shadiq

Suatu saat Imam Ja’far ash-Shadiq sedang bersama budaknya yang sedang menuangkan air. Tanpa sengaja, air menciprati pakaian Imam Ja’far. Beliau lalu memandang budaknya dengan pandangan kurang suka. Namun, sang budak buru-buru menyitir potongan QS Ali Imran ayat 134, “(Wa al-kâzhîmîn al-ghayzh (Orang-orang yang menahan marah).” Imam Ja’far berkata, “Aku telah menahan amarahku kepada kamu.” Sang budak melanjutkan, “Wa al-âfîna ‘an an-nâs (Orang-orang yang memaafkan manusia).” Imam Ja’far berkata, “Aku pun telah memaafkan kamu.” Sang budak melanjutkan lagi, “(Wa AlLâhu yuhibb al-muhsinîn (Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).” Imam Ja’far kembali berkata, “Pergilah, engkau sekarang merdeka karena Allah, dan untuk kamu, aku beri hartaku sebesar seribu dinar.” (Bahr ad-Dumû’, hlm. 175).

Begitulah keagungan Imam Ja’far. Beliau langsung mengamalkan seluruh isi kandungan ayat tersebut tanpa ditunda-tunda meski itu disampaikan hanya oleh budaknya. Yang lebih menakjubkan, hanya untuk menebus ‘kesalahan’-nya—memandang budaknya dengan perasaan tidak suka—ia rela membebaskan budaknya itu plus memberi budak itu sedekah seribu dinar (lebih dari Rp 2 miliar)!

*****

Nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ja’far lahir di Kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun. Karena nasab kakek-nenek dari pihak ibunya bermuara kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali.” (Siyâr ‘A’lam an-Nubala, hlm. 259).

Ash-Shâdiq merupakan gelar yang selalu tersemat pada beliau karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadis, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum Muslim. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah acapkali menyematkan gelar ini pada beliau (Syaikh Ali asy-Syibl, Al-Mûjiz al-Fâriq min Ma’âlim Tarjamah al-Imâm Ja’far ash-Shâdiq, I/1).

Imam Ja’far ash-Shadiq memang memiliki kerpibadian agung. Di dalam Kitab Tahdzîb at-Tahdzîb (II/104), Imam Malik menceritakan keagungan Imam Ja’far ash-Shadiq ra. “Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui dia kecuali dalam tiga keadaan: shalat, puasa dan membaca al-Quran. Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadis Nabi saw. kecuali dalam keadaan berwudhu’. Beliau adalah seorang yang paling bertakwa, wara’ dan paling berilmu selepas zaman Nabi Muhammad saw.”

Imam Ja’far juga dikenal sifat kedermawa-nan dan kemurahan hatinya. Beliau seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu sering bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia sering memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya. Semuanya beliau bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan dari kalangan orang-orang fakir di Madinah tanpa diketahui jatidirinya.

*****

Imam Ja’far ash-Shadiq berguru kepada para ulama besar. Ia berguru kepada para Sahabat Nabi saw. yang berumur panjang seperti Sahl bin Sa’id as-Sa’idi dan Anas bin Malik ra.; juga berguru kepada sejumlah tâbi’în.

Berkat keilmuan dan kefakihannya, banyak sanjungan para ulama mengarah kepada beliau. Salah seorang muridnya, Abu Hanifah, misalnya, pernah berkata, “Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.”

Abu Hatim ar-Razi di dalam Al-Jarh wa at-Ta’dîl (II/487) berkata, “Dia tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia.”

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah juga memuji beliau dengan ungkapan, “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad adalah imam berdasarkan kesepakatan Ahlus Sunnah.” (Minhâj as-Sunnah, II/245).

*****

Sebagai keturunan Ahlul Bait Nabi saw., Imam Ja’far tentu amat menghormati Sahabat Nabi terkemuka, Abu Bakar dan Umar ra., yang tak lain keduanya adalah mertua Nabi saw. Beliau pernah berkata, “Siapa saja yang mengira aku adalah imam ma’shûm yang wajib ditaati, aku benar-benar tidak ada sangkut-paut dengan dia. Siapa saja yang mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, aku berlepas diri dari orang itu.’’ (Siyâr ‘A’lam an-Nubala, hlm. 259).

Ad-Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair yang berkata, “Aku pernah mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakar dan ‘Umar, ia berkata, ‘Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga.’”

Beliau juga pernah berkata, “Aku tidak akan mendapat syafaat Muhammad saw. pada Hari Kiamat nanti jika aku tidak mencintai Abu Bakar dan Umar serta memusuhi musuh keduanya.” (Târîkh al-lslâm, VI/46).

*****

Berikut adalah beberapa nasihat penting Imam Ja’far ash-Shadiq:

“Tidak ada kekayaan yang lebih bisa menolong selain akal (ilmu) dan tidak ada bencana yang lebih besar selain kebodohan.”(Al-Ghazali, Ihya’ al-‘Ulum ad-Din, III/246).

“Sungguh, saya akan segera memenuhi kebutuhan (permintaan tolong) saudara-saudaraku (kaum Muslim) karena saya takut mereka tak lagi membutuhkan bantuanku jika aku menolak permintaan tolong mereka.” (Ibn Muhammad al-Ghazi al-‘Amiri ad-Dimasyqi, Adâb al-‘Usyrah wa Dzikr ash-Shuhbah wa al-Ikhwah, 1/57).

“Keliru dalam memberi maaf 20 kali lebih aku sukai daripada keliru dalam menghukum meski hanya satu kali.” (Shalih bin Abdillah bin Hamid, Nadhrah an-Na’îm fî Makârim Akhlâq ar-Rasûl al-Karîm, IX/4014).

“Para ulama/ahli fikih adalah para penjaga amanah para rasul selama mereka tidak mendatangi pintu-pintu para penguasa.” (Abu Muhammad Abdul Karim bin Shalih bin Abdul Karim al-Hamid, Bayân al-‘Ilmi al-Ashîl wa al-Mazâhim ad-Dakhîl, 1/21).

“Sesungguhnya Allah SWT merahasiakan tiga perkara dalam tiga perkara lain: Pertama: Allah SWT merahasiakan keridhaan-Nya di antara ragam ketaatan kepada-Nya. Karena itu janganlah kalian meremehkan ketaatan kepada-Nya sedikit pun karena boleh jadi keridhaan-Nya ada pada ketaatan kepada-Nya yang sedikit itu. Kedua: Allah SWT merahasiakan murka-Nya di antara kemaksiatan kepada-Nya. Karena itu janganlah kalian meremehkan kemaksiatan kepada-Nya sedikit pun karena boleh jadi di situlah letak kemurkaan-Nya. Ketiga: Allah SWT merahasiakan perwalian-Nya di antara para hamba-Nya yang taat. Karena itu janganlah kalian meremehkan salah seorang pun dari mereka karena boleh jadi dia adalah wali-Nya.” (Al-Ghazali, Ihya’ al-‘Ulum ad-Din, IV/49).

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*